Translate

BISNIS ONLINE

Tampilkan postingan dengan label Potret Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Potret Pendidikan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 04 September 2014

Peran Masyarakat dalam Dunia Pendidikan

Peran Masyarakat dalam Dunia Pendidikan - Berkembangnya pendidikan di berbagai negara rasanya sangat sakral dengan kemajuan-kemajuan teknologi dan juga cara berfikir dari berbagai pihak, baik dari pemerintah, masyarakat maupun dari siswa yang ada di Negara itu sendiri. Sering kali kita bertemu dengan ungkapan bahwa kemajuan bidang pendidikan didukung oleh kemajuan ekonomi negara itu sendiri. Namun, disisi lain ada pendapat sebaliknya, bahwa kemajuan ekonomi didukung oleh kemajuan pendidikan yang ada di negara itu sendiri. Dan menurut saya, kedua pendapat itu memang tidak salah. Namun, saya mempunyai pendapat lain yang mungkin dapat menengahi kedua pendapat tersebut dengan mengintegrasikan keduanya. Menurut saya, kemajuan ekonomi itu didukung oleh suksesnya tujuan pendidikan, dan suksesnya tujuan pendidikan pun didukung oleh kemajuan ekonomi. Artinya, kemajuan pendidikan berjalan seiring dengan kemajuan ekonomi. Hanya saja, kita harus memfokuskan terhadap hal apa yang dapat disumbangkan bidang ekonomi terhadap pendididikan dan begitu pun sebaliknya.

Berbicara mengenai pendidikan di Indonesia saat ini memang sangat memprihatinkan. Dan harus kita akui, dengan kondisi pendidikan yang sangat memprihatinkan ini, semua pihak menuntut akan kemajuan pendidikan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas pendidikan. Namun, hal itu selalu hanya dititik bebankan pada pemerintah. Mulai dari masyarakat umum, wali murid sampai pada siswa pun selalu menuntut akan sikap responsibility dari pemerintah. Begitu banyak tuntutan-tuntutan masyarakat yang sengaja dilontarkan untuk terus-menerus menyalahkan pemerintah atas kondisi pendidikaan saat ini.

Peran Masyarakat dalam Dunia Pendidikan

Memang betul pendidikan saat ini sangat memprihatinkan, bahkan begitu banyak sekelompok orang yang memfonis bahwa pendidikan di Indonesia saat ini cenderung gagal. Hal ini terlihat dari begitu tingginya tingkat pengangguran di Indonesia. Kini para pengangguran bukan hanya para pengangguran yang tidak berpendidikan tinggi, namun banyak juga para pengangguran yang mengenyam pendidikan tinggi. Melihat kenyataan ini, lagi-lagi masyarakat selalu mengikut sertakan keegoisannya untuk mencari solusi atas permasalahan ini.

Kegagalan!!! Setiap kali kita membicarakan atau bahkan mengalami kegagalan, kita selalu sibuk menyalahkan pihak lain. Seolah-olah kesalahan seutuhnya milik orang lain. Semua itu terbukti dengan kegagalan yang negara kita alami dalam bidang pendidikan. Di saat pendidikan di Indonesia dianggap mengalami kegagalan, sebagian besar masyarakat sibuk menyalahkan pemerintah. Demo terjadi di mana-mana, menuntut tanggung jawab pemerintah atas kegagalan pendidikan Indonesia saat ini tanpa melihat sangat minimnya usaha individu masyarakat itu sendiri. Apakah itu bukan keegoisan masyarakat? Dan dengan sikap sebagian besar masyarakat yang demikian, menimbulkan pertanyaan besar, benarkan kegagalan ini merupakan kesalahan pemerintah seutuhnya???

Menurut saya tidak!!! Jika masyarakat menilai bahwa pemerintah sudah gagal mencapai tujuan pendidikan, mengapa sebagai masyarakat yang baik dan bermoral, tidak berusaha untuk ikut andil dalam memperbaiki kegagalan-kegagalan pendidikan yang telah terjadi??? Jika saja masyarakat juga ikut andil untuk membebaskan Indonesia dari kegagalan pendidikan, saya pikir kegagalan akan mulai berkurang. Sekarang timbul sebuah pertanyaan usaha apa yang dapat dilakukan oleh masyarakat untuk andil dalam hal ini???

Menurut saya ada beberapa peran masyarakat dalam bidang pendidikan demi suksesnya tujuan pendidikan, di antaranya:
  • Masyarakat harus memanfaatkan jasa sekolah yang telah disediakan pemerintah.
  • Masyarakat dapat berpartisifasi untuk perawatan dan pembangunan fisik sekolah.
  • Masyarakat/orang tua harus membimbing anaknya untuk tetap mentaati peraturan sekolah, mulai dari peraturan disiplin, administrasi sampai seragam.
  • Masyarakat dapat membantu dalam pemantauan perkembangan akademik anak dengan berkonsultasi pada pihak sekolah mengenai masalah pembelajaran.
  • Masyarakat/orang tua harus bisa terlibat dalam pembahasan masalah pendidikan.
  • Masyarakat/orang tua harus menyampaikan keganjalan yang dirasakan mengenai pendidikan kepada pihak sekolah untuk menjadi evalusai tersendiri bagi sekolah itu.
  • Masyarakat/orang tua harus sadar bahwa wajib belajar selama 9 tahun dan tetap mengawasi pergaulan anak di luar lingkungan sekolah.
  • Masyarakat/mahasiswa dapat mendirikan lembaga formal/informal bebas dana yang diperuntukkan bagi anak-anak jalanan yang tidak mampu.
  • Masyarakat harus menghindari rasa malas untuk bekerja demi memperbaiki ekonomi pribadi dan keluarga.
  • Masyarakat harus selalu optimis untuk sukses dan menghindari kemiskinan.
Itulah peran masyarakat yang dapat direalisasikan demi kebebasan Indonesia dari kegagalan pendidikan. Dengan begitu, berarti pemerintah dan masyarakat saling bekerja sama untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan di Indonesia. Dan sekarang, perlu berfikir berulang-ulang kali untuk tetap menyalahkan pemerintah atas kegagalan pendidikan di Indonesia ini. Karena pada hakikatnya, kegagalan pendidikan di Indonesia ini bukan sepenuhnya kesalahan dari pemerintah, namun ada juga kesalahan yang tidak disadari dari masyarakat, yang pada kenyataannya masyarakat terlalu sibuk berdemo menuntut hak, tanpa menyadari kewajibannya sebagai masyarakat yang baik.

Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan menjadikan kita dapat berpikir panjang atas apa yang Negara kita alami saat ini.





---------- Mariatul Kiftiah
(Islamic State University Syarif Hidayatullah Jakarta)


Minggu, 15 Juni 2014

Pendidikan sebagai Investasi Masa Depan Anak

Pendidikan sebagai Investasi Masa Depan Anak - Mungkin kita sependapat dengan pernyataan sekolah merupakan investasi yang baik untuk masa depan anak. Anehnya, pernyataan ini menjadi senjata yang digunakan oleh orang tua dalam menentukan pilihan sekolah anak. Sehingga terjadi pemaksaan sepihak yang dilakukan oleh para orang tua. Anak dianggap tidak memahami apapun. Padahal, anaklah yang akan menjalani proses belajar, anaklah yang akan mendapat transfer nilai-nilai dan ilmu bukan para orang tua. Oleh karena itu, selayaknya para orang tua mempertimbangkan kemampuan anak, sekaligus memotret bakat dan minatnya. Mengetahui prestasi apa saja yang telah dicapai oleh sekolah dan kegiatan-kegiatan yang disajikan sekolah sebagai media pengembangan bagi anak. Di samping itu, penting juga bagi para orang tua mencari tahu potret rekam jejak para pendidik, kualifikasi pendidikan serta kualitas atau karakter pendidik di sekolah tersebut. 

Pendidikan sebagai Investasi Masa Depan Anak

Hal ini erat hubungannya dengan makna sekolah menurut Psikolog anak Niken Iriani LNH merupakan wadah bagi anak guna mendapatkan berbagai ilmu pengetahuan untuk menjadi pribadi yang memiliki kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Anak-anak di usia perkembangan memiliki perilaku yang cenderung meniru apa yang dilihatnya, meniru perilaku orang-orang yang ada di sekitarnya. Bahkan dipercaya atau tidak, pembawaan pola mengajar seorang pendidik akan menjadi sebuah penilaian (judgement) bahwa pelajaran ini menyenangkan atau pelajaran itu tidak menyenangkan. Maka dalam sekolah dibutuhkan model ketauladanan sebagai potret kehidupan bagi peserta didik. 

Perlu dipahami bersama, di sekolah anak-anak tidak hanya menjalani proses belajar ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) semata. Namun ada proses pembelajaran etika (transfer of value), emosional, dan spiritual yang menjadi bekal kehidupan peserta didik di dunia dan di akhiratnya kelak. Ketauladanan para pendidik menjadi sarana pembelajaran tersendiri bagi peserta didik dalam beraktivitas keseharian di sekolah maupun di rumah. Tergesernya nilai-nilai budaya sopan santun tidak bisa lepas dari peran pendidik bersama peserta didik dalam proses pembelajaran di sekolah. 

Menurut Niken Iriani terdapat beberapa factor sekolah yang menentukan keberhasilan proses pendidikan, di antaranya adalah kondisi sekolah, yang meliputi kualitas pendidiknya, fasilitas yang diberikan maupun kurikulum yang diterapkan, factor kualitas calon peserta didik dan juga factor para orang tua. Hal ini bisa dijadikan pertimbangan bagi orang tua dalam melihat sekolah sebagai tempat mengembangkan potensi anak menjadi pribadi yang kokoh, terdidik, terampil, cekatan, sopan santun, dan beragama. 

Demikian sedikit uraian tentang pendidikan investasi masa depan. Semoga bisa bermanfaat untuk kita semua.


Sabtu, 14 Juni 2014

Menengok Pendidikan Kita

Menengok Pendidikan Kita - Saudara-saudaraku di berbagai elemen. Mari kita tengok sejenak bagaimana pendidikan kita dewasa ini. Kita ketahui bersama bahwa reformasi membawa perubahan di segala bidang, salah satunya adalah otonomi daerah. Penerapan otonomi daerah dengan dasar desentralisasi ini didasari oleh keinginan menciptakan demokrasi, pemerataan, dan efisiensi. Desentralisasi berimplikasi kebijakan public harus berasala dari masyarakat bawah ke atas, atau dari masyarakat ke pemerintah. Akan tetapi, dalam bidang pendidikan hal tersebut sepertinya belum berjalan sesuai dengan harapan. Kebijakan-kebiajakan yang ada pada saat ini terkesan berasal dan disusun langsung oleh pemerintah tanpa memperhatikan partisipasi dari masyarakat. Pendidikan yang seharusnya berpusat di masyarakat, untuk saat ini pendidikan masih dipegang secara penuh oleh pihak Dinas Pendidikan atau pemerintah.
Menengok Pendidikan Kita
Padahal, pendidikan yang dijadikan isu politik membutuhkan pranata social dan masyarakat yang memiliki partisipasi aktif dengan kemampuan untuk menyampaikan aspirasi. Kondisi yang semacam itu merupakan unsure penting dalam mendukung terwujudnya segala bentuk kebijakan dalam bidang pendidikan yang adil dan demokratis. Keterbukaan dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam bidang pendidikan harus dimanfaatkan dengan baik yakni dengan cara setiap mengambil kebijakan pemerintah harus menerapkan system “bottom up”, yakni kebijakan yang berasal dari kondisi masyarakat. 

Pelaksanaan serta evaluasi kebijakan pendidikan menuntut peran aktif dari para pendidik professional karena dari merekalah dapat disusun hasil-hasil kebijakan yang akan diriset serta mendeseminasikan kebijakan pendidikan yang ternyata didukung oleh fakta-fakta positif. Kegiatan para pendidik dalam mengikuti setiap langkah dari siklus penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan merupakan portofolio dari keprofesionalan pendidik. Dewasa ini menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2004 tentang guru dan dosen menuntut terbinanya guru professional yang ditentukan bukan semata-mata oleh ijazah formal, tetapi terutama oleh partisipasinya dalam proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan. 

Melihat temuan di atas kita bisa menganalisa bahwasanya dalam menentukan kebijakan pendidikan para guru dan birokrasi pendidikan dituntut professional dan juga selalu berperan aktif dalam mengikuti siklus-siklus kebijakan maupun evaluasi kebijakan pendidikan. Karena dari mereka semua kebijakan pendidikan dapat dihasilkan. Maka secara otomatis mereka harus selalu berperan aktif dan professional dalam mengeluarkan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. 

Partisipasi aktif dari para pendidik dalam pembinaan keprofesionalannya telah mulai dicoba di Negara-negara maju seperti Inggris dan Amerika. Sekolah-sekolah yang mengambil peranan aktif dalam pembinaan profesionalisme tersebut bergabung dengan Profesional Depelopment School (PDS). PDS ternyata bukan hanya menjadi pendorong pembinaan pendidik professional tetapi juga akan meningkatkan kualitas proses pendidikan serta partisipasi masyarakat. Dalam pendidikan seperti dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan PDS menunjukkan pada kita arti yang sebenarnya dari lembaga pendidikan atau sekolah yang otonom. 

Coba kita refleksi secara bersama-sama dari analisa di atas. Berbeda dengan kondisi penentuan kebijakan pendidikan yang ada di Negara kita tercinta yakni Indonesia. Belum adanya partisipasi aktif dari para pendidik dan birokrasi pendidikan untuk melihat kondisi masyarakat dalam menentukan sebuah kebijakan. Memang kalau kita lihat di Negara kita birokrasi pendidikan belum berani menerapkan hal semacam ini secara besar-besaran dan bersama-sama di seluruh penjuru negeri. Berbicara masalah kondisi masyarakat tentunya pasti berbeda dengan Negara-negara tersebut. akan tetapi, demi memajukan pendidikan Indonesia maka birokrasi pendidikan dalam menentukan kebijakan harus berani mencoba menerapkan system “bottom up” secara transparan kepada seluruh masyarakat. 

Karena kita tahu bahwasanya Negara kita ini memiliki beragam suku, budaya, adat, dan kebiasaan beragama. Ketika semuanya diberikan kebijakan yang sama dapat dimungkinkan pendidikan tidak akan bisa dirasakan manfaatnya oleh semua kelompok yang ada di Indonesia ini. Maka demi memajukan hal itu minimal pemerintah harus mengikutsertakan peran setiap kelompok-kelompok tersebut untuk memutuskan suatu kebijakan pendidikan. 

Kebijakan yang benar yaitu bilamana kebijakan tersebut telah diuji kebenarannya di lapangan. Kebijakan pendidikan dengan demikian akan tumbuh dari bawah meskipun kemungkinan kebijakan tersebut dirumuskan dan diinstruksikan dari atas. Dalam hal ini diperlukan kemampuan dari lembaga-lembaga pendidikan yang otonom untuk memvalidasi kebijakan-kebijakan pendidikan yang diinstruksikan dari pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah. Jika kebijakan-kebijakan pendidikan berdasarkan instruksi dari atas saja tidak mempunyai akar di lapangan maka akan sukar untuk ditentukan keberhasilannya. 

Memang benar pendidikan haruslah bersumber dari fakta dan informasi temuan dari masyarakat, ketika seluruh birokrasi pendidikan bisa menerapkan hal semacam itu dalam menentukan kebijakan maka besar kemungkinan pendidikan yang ada di negeri kita ini bisa dirasakan manfaatnya oleh seluruh elemen masyarakat. Tetapi sayangnya, birokrasi pendidikan yang ada di negeri kita belum menerapkan hal tersebut. Dalam penerapan kurikulum pun juga sama seperti itu, memang dari pemerintah memiliki maksud yang baik, tapi coba kita lihat dampak dari semua itu, di Negara kita sering ganti-ganti kurikulum. Akhirnya pemerintah kebingungan untuk menemukan model pendidikan yang ada di negera kita. Disadari atau tidak bahwasanya pendidikan yang terbaik adalah pendidikan berasal dari kondisi masyarakat yang ada. 





--------- Pak Takmuri
(Kepala Sekolah Dasar Negeri Sisalam 02)

Jumat, 16 Mei 2014

Resistensi Pembinaan Fitrah Manusia

Resistensi Pembinaan Fitrah Manusia - Al-Qur’an adalah kitab suci yang dapat menjadi petunjuk bagi jiwa yang kalut. Dapat member penerangan terhadap masyarakat penyembah berhala [1]. Sebagai sumber ajaran agama Islam, al-Qur’an berhubungan secara totalitas dengan kehidupan manusia [2]. Al-Qur’an menawarkan kehidupan seimbang, integral yang terwujud dalam pola tingkah laku taqwa. Karena pola tinglah laku taqwa adalah tingkatan tertinggi yang menunjukkan kepribadian manusia yang benar-benar utuh dan integral, yang semua unsure-unsur positif terserap masuk dalam dirinya [3].

Secara tegas al-Qur’an menegaskan sebagai petunjuk bagi manusia yang terbaik untuk kehidupan dunia dan akhirat [4]. Menurut Abdurrahman Dahlan [5], al-Qur’an merupakan kitab petunjuk terbaik, yang paling lurus, sempurna, agung, adil, dan sesuai dengan segala hal dan kehidupan manusia untuk kepentingannya di dunia dan akhirat dalam memberikan petunjuk kepada manusia, al-Qur’an memperlihatkan keterangan yang memuaskan dan rasional disertai dengan perangsangan emosi dan kesan insan, dan al-Qur’an mendidik emosi sejalan dengan fitrah, sederhana dan tidak membebani, di samping langsung mengetuk pintu akal dan hati secara serempak [6].

Setiap orang memiliki potensi dasar yang baik, yang disebut fitrah. Fitrah itulah yang selalu membawa manusia berkecenderungan pada kebaikan dan kebenaran. Tetapi, dalam perjalanannya, sering kali fitrah seseorang tertutup berbagai macam pengaruh, baik pengaruh pengetahuan, lingkungan, dan budaya di mana yang bersangkutan hidup dan menetap. Berbagai lapisan itu membentuk lapisan yang menyelimuti fitrah. Dan pada gilirannya fitrah tidak lagi mampu menggerakkan pola pikir dan tingkah laku seseorang. Perjanjian primordial manusia di saat berada di dalam rahim, yaitu berjanji akan selalu mengikatkan diri kepada Tuhan-nya (Allah), juga merupakan fitrah yang harus diingatkan. Sebab, dengan kelemahannya, manusia tak lagi mampu mengingat dirinya sendiri pada perjanjian primordialnya terhadap Tuhan.

Pengajaran pendidikan agama yang paling utama adalah seperti fungsi dan tugas yang dilakukan oleh nabi-nabi Allah, membersihkan, mengingatkan, dan menggugah, serta mengaktifkan (kembali) fitrah tiap manusia. Sehingga pada akhirnya fitrah itu mampu mempengaruhi dan mengarahkan pola piker dan perbuatan atau tindakan seseorang. Dengan kata lain, tujuan utama pengajaran pendidikan agama adalah menggugah “Fitrah Insaniyah” dan membantu memunculkan kembali potensi kebaikan yang telah ada dalam diri tiap orang. 

Resistensi Pembinaan Fitrah ManusiaAkar masalah pendidikan terletak pada, pertama, bagaimana orang mendefinisikan fitrah, sekaligus definisi itu akan menjadi arah dan spirit pengajaran pendidikan agama. Kedua, paradigma yang digunakan dalam pembinaan dan pengembangan fitrah. Ketiga, tujuan pembinaan fitrah.

Kita tidak akan bisa mengubah buah sebelum mengubah akar. Di negeri kita banyak biaya, energy, waktu, dan sebagainya berhamburan tanpa makna karena sering kali proyek-proyek tidak mengenai sasaran yang sebenarnya. Kita kerap menghujjat, bahwa pendidikan agama di sekolah tidak ada artinya. Tiap hari anak-anak sekolah menyuguhkan sikap dan perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Mereka menirukan perilaku orang dewasa baik secara lagsung maupun melalui media masa seperti televise.

Kita semua harusnya bisa introspeksi diri, ada apa dengan pendidikan di negeri ini? Apa yang kurang? Berbagai macam kebijakan baik itu untuk guru maupun anak didik sudah dilakukan, tetapi kenapa masih demikian? Bagaimana kita bisa membumikan pendidikan di negeri ini? Banyaknya fenomena-fenomena yang mendiskriditkan dunia pendidikan, dari mulai tawuran antar pelajar yang sudah menjadi budaya, sampai pada pelecehan seksual yang akhir-akhir ini kita dengar.

Tulisan yang singkat ini mudah-mudah bisa menjadi cermin dan dapat menggugah jiwa, bukan hanya stakeholder tapi juga para pahlawan kita (baca: guru dan orang tua) agar dalam mendidik anak-anaknya mereka terus intens dan lebih baik lagi. Satu hal yang perlu kita semua ingat, bahwa anak-anak kita sudah dibekali fitrah yang baik, karena mereka semua sudah dibekali dengan potensi-potensi yang telah Tuhan berikan. Tugas kita sebagai guru dan orang tua adalah bagaimana mengoptimalkan dan memaksimalkan potensi-potensi tersebut.





Reff

[1]Al-A’zami. The History of The Qur’anic Texs From Revelation to Compilation. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Sohirin Solihin, Anis Malik Thaha, Ugi Suharto, Lily Yuliadi dengan judul, “Sejarah Teks Al-Qur’an dan Wahyu sampai Kompilasi Kajian Perbandingan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru”. Gema Insani: Jakarta, 2005. hal. 63. 
[2]Abudin Nata. “Al-Qur’an dan Hadits”. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 1996. hal. 125. 
[3] Fazlur Rahman. “Major Themes of The Qur’an”. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Anas Mahyudin dengan judul, “Tema-Tema Pokok Al-Qur’an”. Pustaka. Bandung. 1996. hal. 43 
[4]QS. 17: 9. 
[5] Abdurrahman Dahlan. “Kaidah-Kaidah Penafsiran Al-Qur’an”. Mizan. Bandung. 1997. hal. 279.
[6] Abdurrahman Al-Nahlawi. “Ushulut Tarbiyatil Islamiyah wa Asalibuha”. Diterjemahkan oleh Herry Noer Ali dengan judul, “Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam dalam Keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat”. Dipenogoro. Bandung. 1996. hal. 44.


Jumat, 09 Mei 2014

Mewujudkan Pendidikan Berkarakter

Mewujudkan Pendidikan Berkarakter - Tujuan pendidikan tidak hanya mentransfer ilmu dari seorang guru kepada peserta didiknya semata. Namun lebih dari itu pendidikan diharapkan bisa membentuk kepribadian seorang peserta didik agar memiliki kepribadian dan karakteristik yang kuat serta mental yang tangguh sebagai bekal untuk mengarungi kehidupan di masyarakat kelak. Seorang guru tidak hanya bertugas mentransfer ilmu yang dimilikinya kepada para siswanya, lebih dari itu seorang guru adalah pionir, tauladan dan panutan bagi siswa-siswanya dan bagi masyarakat dalam segala hal termasuk perilaku guru dalam kehidupan sehari-hari.

Penulis tergelitik ketika pendaftaran siswa baru ada orang tua calon siswa yang mengatakan bahwa beliau mendaftarkan anaknya untuk bersekolah di sini tidak semata-mata mengharapkan anaknya menjadi peringkat satu di kelasnya. Namun lebih dari itu, beliau mengharapkan anaknya kelak memiliki karakteristik keagamaan yang kuat sehingga menjadi bekal bagi anaknya kelak dalam menghadapi tantangan zaman yang semakin tidak menentu. Ternyata pernyataan tersebut tidak hanya keluar dari satu atau dua orang tua calon siswa, namun hampir semua orang tua calon siswa baru menginginkan hal tersebut.


Proses pendidikan diharapkan tidak hanya menciptakan generasi yang mempunyai nilai akademis bagus. Namun juga mampu mewujudkan siswa berkarakter kuat yang kelak menjadi generasi penerus cita-cita luhur para pendiri bangsa ini. Pendidikan karakter bisa diawali dengan menanamkan kebiasaan-kebiasaan positif kepada peserta didik. Usahakan seorang guru membiasakan untuk memberikan contoh dalam melakukan perbuatan positif daripada banyak menyuruh siswanya untuk melakukan hal tersebut. Contoh kecil adalah mengajak peserta didik untuk lebih berdisiplin bisa lebih mudah diikuti peserta didik apabila seorang guru memulai kedisiplinan dari diri sendiri. Rasulullah Saw saja selalu memberikan teladan dengan contoh perbuatan bukan hanya menyuruh seseorang untuk melakukan sesuatu, dan ternyata hal tersebut lebih efektif dan efisien bagi pembentukan karakter seseorang.

Yang terjadi sekarang pendidikan di Indonesia hanya menghasilkan generasi yang unggul secara akademik. Namun, keunggulan secara akademik tersebut tidak menjadi jaminan seseorang akan sukses dalam menjalani kehidupan di masyarakat yang merupakan ujian sebenarnya dalam menjalani proses manusia sebagai makhluk social. Justru banyak terjadi di masyarakat, seseorang yang ketika sekolah kemampuan akademiknya terhitung biasa-biasa saja justru bisa lebih sukses dari pada seseorang yang nilainya lebih bagus. Dalam kehidupan bermasyarakat individu yang berkarakter lebih mampu untuk menghadapi persaingan, mereka tidak begitu saja luntur semangatnya ketika mengalami kegagalan dan berusaha menganalisa kenapa bisa gagal serta kembali bangkit untuk mewujudkan cita-cita. Sebenarnya ini adalah pekerjaan rumah kita bersama, baik pemerintah melalui kementerian pendidikan selaku pengendali kebijakan maupun masyarakat selaku pengawas dari kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah.

Mewujudkan masyarakat Indonesia yang berkarakter melalui dunia pendidikan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, semua itu butuh proses yang diawali dari niat baik pemerintah dan semua yang terlibat dalam dunia pendidikan untuk lebih banyak memberikan contoh perilaku yang baik kepada peserta didik kita. Sehingga ke depan proses pendidikan tidak hanya menghasilkan prestasi akademik namun lebih dari itu menghasilkan generasi yang berkarakter yang tahan uji, mempunyai mental baja serta sanggup bersaing dengan bangsa lain dan yang terpenting mempunyai akhlak mulia sehingga ketika kelak mereka menjadi pemimpin, maka mereka tidak berperilaku serampangan dan tidak bermoral tetapi mereka akan menunjukkan sikap perilaku yang santun serta bisa melakukan inovasi-inovasi baru yang bisa menjunjung tinggi masyarakatnya. Sebagai pendidik, marilah kita bersama-sama untuk lebih introspeksi diri apakah kita hanya sekedar mengajar atau kita sudah mendidik anak-anak kita dengan baik. Mudah-mudahan cita-cita kita untuk mewujudkan manusia Indonesia yang berkarakter bisa diawali dari proses kita sebagai pendidik dalam mendidik putra-putri bangsa.





---------------- Imron Khumaedi Akbar
(Guru SD IT Harapan Umat Brebes)

Minggu, 04 Mei 2014

Jabatan Guru dalam Proses Belajar Mengajar

Jabatan Guru dalam Proses Belajar Mengajar - Betulkah jabatan atau pekerjaan guru bersifat professional? Apakah cirri-ciri pekerjaan yang bersifat professional tersebut? Adakah implikasi-implikasi dari pekerjaan professional? Bagaimanakah mengembangkan professionalisme di kalangan para guru? Pertanyaan-pertanyaan tersebut patut kita renungkan dan kemudian diyakini maknanya oleh para guru itu sendiri, lebih-lebih oleh para calon guru, yang kelak akan memangku jabatan tersebut.

Secara sederhana pekerjaan yang bersifat professional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang secara khusus disiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak dapat atau tidak memperoleh pekerjaan lainnya. Dari rumusan di atas, kata “dipersiapkan untuk itu” dapat diartikan luas. Bisa dipandang melalui proses pendidikan, bisa pula dipandang melalui proses latihan. Namun demikian, untuk pekerjaan professional lebih-lebih untuk pekerjaan yang bersifat professional penuh, seperti profesi dokter kata-kata disiapkan untuk itu, mengacu pada proses pendidikan bukan sekedar latihan. Makin tinggi tingkat pendidikan yang harus dipenuhinya makin tinggi pula derajat profesi yang disandangnya.

Dengan perkataan lain tinggi rendahnya pengakuan professionalisme sangat bergantung pada keahlian dan tingkat pendidikan yang ditempuhnya. Hampir di semua Negara masyarakat masih tetap mengakui bahwa dokter adalah profesi yang paling tinggi. Sebaliknya, guru masih dipandang sebagai pekerjaan profesi yang paling rendah. Rendahnya pengakuan masyarakat terhadap profesi guru disebabkan oleh beberapa factor.

Factor pertama, adanya pandangan sebagian masyarakat bahwa siapa pun dapat menjadi guru asal dia berpengetahuan. Kekurangan akan tenaga guru di daerah terpencil, memberikan peluang untuk mengangkat seseorang yang tidak mempunyai kewenangan professional. Factor kedua disebabkan oleh guru itu sendiri. Banyak guru yang tidak menghargai profesinya, apalagi berusaha mengembangkan profesi tersebut. Perasaan rendah diri karena menjadi guru, menyalahgunakan profesi untuk kepuasan dan kepentingan dirinya, ketidakmampuan guru melaksanakan tugas profesinya, komersialisasi mengajar dan lain-lain (baca juga postingan: Wajah Kriminalisasi Sistem Pendidikan), sering menyebabkan pudarnya wibawa guru (baca juga postingan: Upaya Menjaga Kewibawaan dan Martabat Guru), sehingga pengakuan profesi guru semakin merosot jauh. Itulah sebabnya pengakuan dan usaha menegakkan profesi guru harus dimulai dari guru itu sendiri. Usaha yang harus dilakukan harus dimulai dari pengakuan secara sadar akan makna profesi, menghargai dan mencintai tugas profesinya, serta berusaha mengembangkan profesi yang disandangnya.

Sudahkah kita (baca: pendidik/guru) melakukan hal demikian?

Kamis, 17 April 2014

Potret Wanita dalam Budaya Kekerasan

Potret Wanita dalam Budaya Kekerasan - Tatanan kehidupan manusia yang didominasi oleh kaum laki-laki telah menjadi sejarah panjang. Sehingga kaum wanita ditempatkan sebagai “the second human being” (baca: manusia kelas dua) di bawah superioritas laki-laki. Tak heran, paradigm semacam itu menjadi landasan atas tindak marginalisasi dan memposisikan wanita dalam budaya kekerasan.

Secara garis besar, angka partisipasi wanita dalam tindak kriminalitas adalah kecil dibandingkan dengan angka partisipasi laki-laki. Saat inipun, banyak wanita yang lebih diterima dalam posisi public. Missal dalam bidang hokum, kepolisian, kemasyarakatan bahkan dalam bidang politik yang telah ditetapkan aturan perundang-undangannya.

Namun, frekuensi atau potensi wanita menjadi korban kekerasan seperti pemerkosaan, KDRT, dan incest masih sangat mengkhawatirkan. Sehingga perlu ada penguraian mengenai bagian kekuatan hokum yang memperkuat sistem budaya yang membenci atau merendahkan wanita (misogynist cultural system).

Potret Wanita dalam Budaya Kekerasan

Sadis! Karena kasus pemerkosaan berjamaah kembali terjadi di India bagian tengah, kali ini korbannya adalah perempuan berkebangsaan Swiss yang digilir oleh 10 orang ketika sedang bersepeda dengan suaminya (jurnas, 14/03/2013), tidak hanya di India, dilansir Vois of Amerika (VOA.com), badan perlindungan perempuan Cina juga memperkirakan seperempat perempuan di Cina menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Dari dua yang tersaji di atas menggambarkan bahwa tingkat kekerasan terhadap perempuan masih sangat tinggi, tidak hanya di Indonesia melainkan di berbagai Negara. Hal tersebut menunjukkan tidak dihargainya hak-hak wanita untuk dapat hidup layak, bermartabat serta terjamin. Perempuan selalu dianggap lemah dan diperlakukan seenaknya yang merupakan gambaran dari budaya misogyny itu tersebut.

Dalam konteks ini, Jane C. Ollenburger dan Helen A. Moore mendefinisikan misogyny benar-benar sebagai kebencian terhadap wanita. Meskipun terasa ekstrim dipergunakan, setidaknya konsep ini membantu untuk mendeskripsikan keadaan tertekan yang dirasakan wanita.

Potret Wanita dalam Budaya KekerasanPada konteks kekinian, masih banyak didengar kasus-kasus di pengadilan yang memberi hukuman ringan bagi para pelaku tindak kekerasan terhadap perempuan dengan dalih perempuan berpakaian yang merangsang. Akibat dari budaya kekerasan yang dilestarikan oleh sistem hukum atau peradilan yang buruk semacam ini menjadikan wanita hidup dalam tingkat ketakutan yang konstan.

Dalam hal ini, laki-laki tidak memiliki banyak pemahaman akan penderitaan wanita yang hidup dalam ketakutan. Laki-laki sering menunjukkan sikap meremehkan dan menganggap sepele hal tersebut. Bahkan terkadang sok menawarkan perlindungan terhadap wanita. Sikap tersebut menunjukkan bahwa ketakutan secara khas yang dialami wanita dianggap hal irasional dan tak berguna.

Dalam bukunya “Misogynies” Joan Smith menganalisis berbagai kasus pemerkosaan dan memaparkan bagaimana kejadian tersebut bersamaan dengan reaksi polisi dan pengadilan, mencerminkan sikap percaya terhadap budaya misogynist secara keseluruhan. Sehingga Joan berpendapat:

Diskriminasi terhadap perempuan bukanlah kebetulan historis, melainkan manifestasi dari budaya kebencian (misogyny) tersebut”.

Dengan begitu, secara positif kejahatan dan kekerasan terhadap wanita menjadi control bagi wanita untuk lebih berhati-hati dalam beraktivitas. Meskipun demikian, hal tersebut juga berimbas pada terbatasnya ruang gerak wanita dalam kehidupan social, berkarya dll. Yang tentunya menutup potensi wanita untuk turut serta dalam membangun peradaban dan tujuan bersama.

Oleh karena itu, institusi-institusi hokum seharusnya melakukan pembelaan dan penegasan keadilan untuk wanita yang selalu dijadikan korban atas kekerasan yang dilakukan laki-laki. Bukan malah memperkuat norma-norma kekuasaan patriarkis karena melindungi kapitalisme dan memperkuat nuansa ras, kelas dan prasangka-prasangka cultural. Mengapa dikatakan demikian? Karena, kenyataannya saat ini hokum berpihak kepada yang ber-uang dan hanya untuk memenuhi kepentingan kelas.

Kriminalitas terhadap perempuan saat ini kurang dianggap penting dan tidak begitu diperhatikan. Sikap dimana hukum menanggapi tuntutan-tuntutan baru atas persamaan, keadilan dan kebenaran tengah mengalami masa krisis. Wanita di bawah budaya patriarkis tidak memiliki otoritas dalam hukum yang menentukan ukuran sanksi bagi para pelaku kejahatan dan juga korban (baca: Sosiologi Wanita, 2002). Sehingga hak-hak wanita tidak bisa didapatkan secara mutlak.

Di dalam hak asasi manusia (HAM) terdapat beberapa prinsip, di antaranya adalah prinsip “Universal”. Prinsip ini berarti bahwa hak-hak tersebut dimiliki dan untuk dinikmati oleh semua manusia tanpa ada pembedaan apapun, seperti ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, latar belakang bangsa, dan social. Dengan kata lain, hak asasi manusia adalah persamaan hak dan martabat semua manusia untuk dinikmati di manapun dan selama-lamanya.

Selain prinsip “Universal” juga diketahui adanya prinsip “Independensi Manusia” yang mengangkat makna kemerdekaan dalam hidup, maka sudah seharusnya perempuan mendapatkan hak yang sama di masyarakat. Namun dengan mengetahui prinsip-prinsip di atas saja tidak cukup untuk mengembalikan hak-hak perempuan. Maka sebab itu perlu adanya ketegasan hukum dan keadilan yang disertai dengan penetapan undang-undang mengenai hak-hak wanita secara penuh.








------------ S. Sudaryono 
(Peneliti di Lembaga Studi Agama dan Nasionalisme (LeSAN), dan Korps HMI Wati (KOHATI) Komisariat Iqbal IAIN Walisongo Semarang)

Senin, 07 April 2014

Implementasi Konsep Agroindustri di Negeri Paling Subur Indonesia

Implementasi Konsep Agroindustri di Negeri Paling Subur Indonesia - Dewasa ini, julukan Negara agrarian untuk Indonesia mulai dipertanyakan. Kenapa demikian? Penobatan tanah "gemah ripah loh jinawi", tanah surga, ataupun sebagainya hanya sebatas romantisme lalu. Toh realitasnya memang demikian, sebagai efek dari modernism atau postmodernisme lambat tahun kualitas hasil panen di Indonesia menurun. Lebih disayangkan lagi, lahannya pun kian menyempit. Padahal hakikatnya sector pertanian menjadi penopang kuat perekonomian nasional.

Oleh karena itu, sebagai langkah penyelamatan, usaha konkrit karus dilakukan. Bukan hanya untaian retorika atau janji palsu. Disadari, sikap apatisme masyarakat terhadap lingkungan terbina secara berjamaah. Sehingga sedikit demi sedikit kualitas tanah mulai menurun, alhasil pengaruh terhadap pertanian sangat besar. Bahkan, lebih dari itu, kerusakan alam di Indonesia akan berdampak terhadap kemaslahatan dunia. Sebab, Indonesia merupakan jantung dunia.

Memang cukup sulit bahkan irasional jika menyalahkan satu pihak. Diakui seluruh kalangan bertanggung jawab atas problematika ini. Karena itu, cukup rasional jika yang lebih ditekan adalah sector pendidikan pertanian. Sebab, di samping pendidikan sebagai pusat kajian pertanian paling vital, beban moral dan mental pun diemban olehnya. Sehingga, jika potret bumi tani demikian maka pendidikan pertanianlah yang bertanggung jawab atas hal itu.

Sesungguhnya cukup memilukan jika menelisik kondisi pendidikan pertanian negeri. Bagaimana bukan, sesuai hasil kalkulasi tingkat minat siswa dari jenjang SMA sederajat untuk melanjutkan ke pendidikan pertanian cukup minim. Hal ini diuangkapkan oleh Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendikbud, bahwa fakultas pertanianlah yang merupakan prodi yang sepi peminat. Itu hanya dalam lingkup pulau jawa, tidak jauh berbeda di luar justru tambah memilukan.

Nah, dengan mengaca data tersebut mungkin dapat ditarik benang merahnya. Pada dasarnya walaupun peserta pendidikan pertanian semakin berkurang, justru dapat diambil inisiatif terbaik. Yaitu dengan cara menempa kader ilmuan pertanian tersebut sebaik mungkin, justru dengan peserta yang tidak terlalu banyak hasilnya pun tentu berbeda. Dan output mendatang pasti mampu menjawab problematika pertanian nasional. Sebab, hal itu menyangkut perekonomian Negara dan masa depan bangsa.

Menerapkan Agroindustri

Implementasi Konsep Agroindustri di Negeri Paling Subur Indonesia
Sesungguhnya ada banyak alternatif untuk menguatkan perekonomian bangsa. Hanya saja, karena Indonesia merupakan Negara agrarian maka selayaknya alternatif tersebut lebih dimaksimalkan terhadap sector pertanian. Itupun sudah diperkuat dengan penyematan label Negara “Gemah Ripah Loh Jinawi”, yang mana Indonesia merupakan Negara yang subur dan makmur. Yang apabila kayu hanya dilempar di tanah, maka ia akan tumbuh.

Namun sayang, kesuburan tanah bangsa ini telah terkotori oleh tangan tak bertanggung jawab. Dan nilai agararia Indonesia mulai menyusut, hal ini ditandai dengan berbagai impor sembako untuk menutupi kebutuhan primer masyarakat Indonesia. Padahal, hakikatnya jika hanya bertumpu dengan suguhan bumi subur Indonesia, masyarakat akan sejahtera. Namun, kreatifitas untuk mengolah tanah dan hasil tanah kurang maksimal. Alhasil, dari sector pertanian Indonesia belum bisa berdikari.

Oleh karena itu, harus ada penerapan konsep agroindustri, yang menurut Soeharjo A (1991) adalah memanfaatkan bahan baku pertanian kemudian diolah dengan bentuk lain agar bernilai ekonomis tinggi. Memang proses ini cukup panjang, karena memang hasil panen di Indonesia belum begitu maksimal. Setidaknya, dengan memanfaatkan hasil yang ada, akan memunculkan inisiatif baru kemudian akan membuka jalan lain untuk berbisnis dari hasil panennya sendiri.

Terlepas dari itu semua, justru kendala utama problem stagnasi sector pertanian di Indonesia adalah ketidakmampuan petani untuk mengolah sesuai dengan perkembangan zaman yang ramah lingkungan. Setidaknya, sebelum melangkah lebih jauh untuk menerapkan konsep agroindustri pemerintah harus bekerja ekstra dan bersinergi dengan petani, member penyuluhan dengan dilengkapi fasilitas yang memadai, agar sector pertanian Indonesia “MELEK” modern untuk kemudian mampu melangkah jalan menguatkan perekonomian Negara.

Memang ada peluang besar untuk sekedar meningkatkan perekonomian Negara dengan jalan pertanian. Untuk masalah perekonomian Negara, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa di awal November 2013 ekonomi Negara tumbuh sebesar 5,62 %, jika prestasi itu dapat dikembangkan, selanjutnya tidak lama Indonesia dengan mudah akan menjadi Negara adidaya. Tidak hanya itu, dengan kuatnya perekonomian Negara, Indonesia akan menjadi pusat peradaban dunia.

Karena itu, untuk mewujudkan impian mendatang diperlukan berbagai usaha konkrit dari pemerintah. Setidaknya, untuk langkah awal yaitu dengan usaha mensosialisasikan agroindustri. Yang meliputi Industri Pengolahan Hasil Pertanian (IPHP), Industri Peralatan dan Mesin Pertanian (IPMP), dan Industri Jasa Sektor Pertanian (IJSP). Dan yang tidak kalah penting, di sisi lain yaitu memperbaiki dari bidang akademik. Dengan wujud meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) bidang pertanian.

Butuh Sinergi

Menyikapi berbagai problem yang mendera Indonesia terutama mengenai sector pertanian, maka dibutuhkan sinergi dari semua pihak, baik pemerintah, pegusaha, pemuda bangsa, para Civitas Academica, pakar ilmu, ulama, sastrawan, dan seluruh rakyat Indonesia agar negeri ini benar-benar bisa menjadi negeri “Zamrud Khatulistiwa”, yang kekayaannya bisa dinikmati oleh rakyat, dan lebih dari itu untuk dunia.

Bagaimanapun juga, sinergi membangun negeri menjadi keniscayaan, karena tanpa ini, hanya saling menghujat dan saling menyalahkan lah yang akan selalu mengemuka. Dan sinergi seperti ini akan terbangun, jika para pejabat tidak hanya didikte oleh kepentingan partai politik dan mengabaikan kepentingan Negara dan rakyat yang semestinya diutamakan. Begitupun masyarakat, tidak selamanya bermental Inlander dan inverior. Mulai bangun dari keterpurukan, sadar dan peduli terhadap lingkungan dan masa depan bangsa. Langkah konkritnya yaitu dengan bersinergi dan menerapkan konsep kreatif agroindustri.






------------ Mahfudh Fauzi
(Peraih Beasiswa Unggulan Monash Institute IAIN Walisongo Semarang, dan Ketua Gerakan Pemuda Islam (GPI) Kabupaten Kudus)

Selasa, 25 Maret 2014

Potret Pendidikan: Konsep Pendidikan Kaum Marginal Masyarakat Pesisir

Potret Pendidikan: Konsep Pendidikan Kaum Marginal Masyarakat Pesisir - Pendidikan pada dasarnya memegang peran yang sangat penting dalam membina sikap mental dan moral masyarakat. Secara umum pendidikan memiliki tujuan untuk menumbuh kembangkan potensi-potensi kemanusiaan secara menyeluruh dan seimbang, sehingga dapat dengan benar-benar menjadi manusia yang utuh dalam arti manusia yang dapat mengenali dirinya serta mengenali martabat kemanusiaan. Manusia yang demikian sudah barang tentu dapat membedakan diri dari belenggu kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan.

Pendidikan yang diberikan merupakan langkah awal dalam usaha membekali pengetahuan dan keterampilan bagi setiap manusia untuk bersikap dan berperilaku di dalam lingkungan sosialnya. Perilaku merupakan manifestasi tindakan dan sikap yang dilakukan orang tua kepada anak-anaknya melalui proses pendidikan. Sedangkan pendidikan itu sendiri merupakan proses merubah sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Di sisi lain kemiskinan diartikan sebuah kondisi yang diderita manusia karena kekurangan atau tidak memiliki pendidikan yang layak untuk meningkatkan taraf hidupnya, kesehatan yang buruk dan kekurangan transfortasi yang dibutuhkan. Dengan demikian yang dimaksud perilaku pendidikan orang tua dalam keluarga nelayan miskin di sini adalah sebuah bimbingan, arahan, anjuran, tingkah laku, sikap dan tindakan pendidikan yang dilakukan orang tua terhadap anak-anaknya dalam keluarga nelayan miskin sebagai upaya meningkatkan taraf hidup dan kehidupannya, sehingga memiliki kepercayaan diri dalam beradaptasi dengan lingkungan sosialnya.

Hampir di setiap tempat banyak anak-anak yang tidak mampu melanjutkan pendidikan, atau pendidikan putus di tengah jalan disebabkan karena kondisi ekonomi keluarga yang memprihatinkan. Kondisi ekonomi seperti ini menjadi penghalang bagi seseorang untuk memenuhi keinginannya dalam melanjutkan pendidikan. Sementara kondisi ekonomi seperti ini disebabkan beberapa faktor, di antaranya orang tua tidak mempunyai pekerjaan tetap, tidak mempunyai keterampilan khusus, keterbatasan kemampuan dan faktor lainnya.

Menurut Istiqlaliyah Dian C mengelompokkan kaum marginal, yaitu mereka yang tidak mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan dengan batasan “wajib belajar” dari Negara. Dengan kata lain, mereka yang terpinggirkan dalam hal pendidikan karena tidak mampu secara ekonomi untuk membiayai pendidikan. Selain itu, pengertian marjinal bisa dikatakan adalah kaum pinggiran, kaum miskin, indigo. Ada beberapa alasan yang bisa dikemukakan di sini. Kaum marjinal bisa dikatakan kaum pinggiran atau kaum miskin yang dibawah kemiskinan. Jika dikaitkan bahwa persoalan surutnya pendidikan karena adanya kesenjangan ekonomi, maka generasi muda yang ideal adalah mereka yang berasal dari kalangan masyarakat marjinal.

Pertama, masyarakat marjinal adalah golongan masyarakat yang paling merasakan penderitaan atas himpitan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Kedua, masyarakat marjinal umumnya hanya memiliki dua alternatif dalam proses pendidikan mereka, memperoleh pendidikan formal pada lembaga pendidikan formal yang kurang (bahkan tidak) bermutu, atau sama sekali tidak bersekolah dan menjadi pekerja di sektor informal (Mohammad Ali Fauzi 2007: 25).

Jika ini yang terjadi, maka proses marjinalissasi akan terus menimpa mereka. Bekal pendidikan yang pas-pasan, membuat masyarakat marjinal susah berkompetisi di pasan tenaga kerja. Akibatnya, peluang untuk memperoleh kehidupan ekonomi mereka semakin sempit.

Pendidikan untuk semua (Education for All) yang diperkenalkan oleh UNESCO, di Bangkok dengan nama “Asia Pacifik Programme for Education for All” (APPEAL) telah berkembang dengan pesat dan lebih menjadi program pendidikan yang sangat penting. The World Summit on Education for All di Jontien tahun 1990 telah menghasilkan deklarasi dunia tentang pendidikan untuk semua. Antara lain memuat pasal-pasal tentang memenuhi kebutuhan belajar dasar, pembentukan visi yang diperluas meliputi kesempatan belajar semesta (universal) dan pengembangan kesamaan (pemerataan dan persamaan), pemusatan pada pembelajaran, perluasan alat dan lingkup pendidikan dasar, pengembangan lingkungan untuk belajar, dan penguatan kemitraan (A. Malik Fajar, 2005: 251).

Implementasi pendidikan untuk semua tidak semudah yang dibayangkan. Implementasi itu bersangkut dengan terbentuknya kesempatan bagi setiap orang untuk mengikuti pendidikan. Kesempatan juga implisit mengandung arti redistribusi terhadap akses dan adaptasi orang untuk terlibat di dalam pendidikan. Masalahnya kemudian adalah redistribusi sangat ditentukan oleh kemampuan penganggaran, social spanding dan berhasil tidaknya kita di dalam memerangi kemiskinan. Penerapan pendidikan untuk semua elemen masyarakat (Muchlis R Luddin, 2007: 4).

Mengingat masyarakat pesisir adalah masyarakat yang memiliki sifat-sifat khusus, baik dari segi pemahaman terhadap pendidikan, tingkat kesejahteraan, miskinnya pengetahuan dan teknologi untuk menunjang pekerjaan, kurang kreatif, maupun kurang terencana manajemen keuangan untuk menentukan masa depan, maka diperlukan konsep pendidikan yang lebih spesifik yang dapat memberikan kesempatan kepada mereka untuk belajar dan meningkatkan ilmu pengetahuan melalui jalur pendidikan. Hal ini disebabkan sebagian masyarakat pesisir masih beranggapan bahwa pendidikan itu tidak penting dan kini saatnya menyadarkan masyarakat pesisir bahwa pendidikan itu penting.

Adapun konsep yang ditawarkan adalah konsep pendidikan kaum marjinal melalui pendidikan berbasis potensi lokal masyarakat pesisir. Konsep pendidikan berbasis potensi lokal pada dasarnya mengacu pada pendidikan berbasis masyarakat juga menekankan keluarannya dengan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung sesuai tingkatannya. Kemampuan tersebut sebagai dasar agar mampu menganalisa apa yang akan diperbuatnya, mampu menggunakan teknologi yang diperlukan untuk mengolah sumber daya lingkungan yang tersedia (appropriate to environment requirement) mampu memecahkan permasalahan yang dihadapi (Umberto Sihombing, 2002: 99).




------------ Khaerudin, S.Pd.I, M.Pd
(Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Pemalang)

Minggu, 23 Maret 2014

Potret Pendidikan: Guru sebagai Terdakwa

Potret Pendidikan: Guru sebagai Terdakwa - Sama dan sebangunkah antara peningkatan kualitas guru dengan peningkatan mutu pendidikan? Guru memang ujung tombak dunia pendidikan, tetapi kurang fair-lah jika semua kesalahan dibebankan kepada pundak guru. Sebab, masih banyak variabel yang menyebabkan kualitas pendidikan kita rendah. Namun, sejak lama rendahnya kualitas guru disorot secara kritis. Kenapa hanya guru sebagai terdakwa rendahnya dunia pendidikan kita?

Pengamat pendidikan, ahli-ahli pendidikan dan publik pada umumnya, terbiasa melontarkan kritik pedas terhadap rendahnya kualitas guru. Baik sebelum maupun setelah digulirkannya kebijakan sertifikasi. Kritik terhadap kualitas guru itu tak habis-habisnya. Bahkan, kritik tersebut berkecenderungan semakin deras. Langsung maupun tak langsung, guru lalu menjadi “SI TERTUDUH” penyebab rendahnya mutu pendidikan.

Dari mana itu, satu hal mengemuka, rendahnya kualitas pendidikan acap kali dipandang sama dan sebangun dengan rendahnya kualitas guru. Tentu saja pandangan semacam itu tak sepenuhnya benar. Sebab, dalam sistem pendidikan, guru hanyalah merupakan salah satu pilar penentu peningkatan mutu pendidikan. Pilar lain adalah ketersediaan infrastruktur, ketercukupan pembiayaan, politik pendidikan serta partisipasi masyarakat maupun kalangan orang tua. Rendahnya kualitas pendidikan merupakan akibat logis dari puspa ragam persoalan tersebut.

Sungguh pun demikian, tetap saja guru disebut-sebut sebagai pilar utama penentu mutu pendidikan. Dalam pemberitaan berjudul “Produktivitas Tinggi Saat Mengikuti Sertifikasi”, Harian Kompas (7 Oktober 2010, halaman 12) menulis sebagai berikut:
Kinerja guru yang sudah lolos sertifikasi masih belum memuaskan. Motivasi kerja yang tinggi justru ditunjukan oleh guru-guru diberbagai jenjang pendidikan yang belum lolos sertifikasi, dengan harapan mendapat sertifikasi berikut uang tunjangan profesi”.
Tampak jelas dalam berita tersebut, kualitas guru masih menjadi persoalan sekalipun telah dicanangkan pelaksanaan sertifikasi. Berita ini bertitik tolak dari hasil survey Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di 16 provinsi. Survey tersebut fokus pada penyikapan dampak sertifikasi terhadap kinerja guru. Peningkatan kerja pasca sertifikasi mencakup antara lain perubahan pola kerja, motivasi kerja, pembelajaran dan peningkatan kapasitas personal guru. Survey membuktikan, guru-guru yang lolos sertifikasi justru kemudian enggan mengikuti seminar atau pelatihan untuk meningkatkan kualitas.

Berdasarkan fakta survey itu ketua umum PB PGRI Sulistyo lalu merasa perlu melontarkan peringatan. Pendidikan kualitas, ucapnya, membutuhkan guru berkualitas. Para guru mesti terus membangun citra diri, bekerja sungguh-sungguh meningkatakan kualitas serta menjadi teladan kebajikan. Di samping itu, para guru diimbau mengembangkan pendekatan-pendekatan baru pembelajaran, berpikir inovatif, memberikan pengakuan terhadap pengetahuan spesifik bidang lingkungan, kesehatan, dan etika. Apa boleh buat, pada titik ini, kualitas guru terus dipersoalkan.
Sertifikasi Guru

Salah satu perhatian pemerintah terhadap guru, adanya program sertifikasi guru. Sertifikasi bertujuan untuk meningkatkan kualitas guru. Seiring dengan itu, pemerintah memberikan tambahan insentif kepada guru-guru yang lulus sertifikasi sebagai tanda balas jasa. Dalam proses sertifikasi tersebut, guru-guru wajib membuat portofolio dengan melampirkan berbagai syarat administrasi. Misalnya, sudah bekerja sebagai guru minimal 5 tahun, jumlah jam mengajar, penilaian atasan, perangkat pembelajaran, silabus, piagam pelatihan yang perlu diikuti, serta SK yang berhubungan dengan kegiatan pendidikan di luar sekolah, dan persyaratan administrasi lainnya.

Program sertifikasi ini sangat mudah dan murah. Melihat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang guru, mustahil tidak lulus. Kalaupun sampai tidak lulus bisa diyakini bahwa guru tersebut malas, kurang kreatif, dan tidak aktif. Namun demikian, dengan begitu mudahnya peryaratan untuk mendapatkan sertifikasi itu, begitu mudah jugakah meningkatkan kualitas pendidikan kita? Sudah demikian banyak guru yang lulus sertifikasi, dan mereka tersebar di seluruh Indonesia. Seiring dengan itu, kualitas pendidikan diharapkan semakin meningkat pula.

Sebenarnya kualitas pendidikan tersebut dapat dilihat dari berbagai hal. Seperti tingkat kelulusan yang semakin tinggi dengan standard kelulusan yang semakin meningkat. Pemerataan pendidikan di seluruh tanah air, fasilitas yang semakin lengkap dan merata serta banyaknya siswa yang berhasil mengukir prestasi baik secara nasional maupun internasional. Sebaran mutu pendidikan yang masih belum merata merupakan salah satu faktor yang mengahambat peningkatan kualitas pendidikan.

Bukan Jaminan

Kembali ke masalah sertifikasi. Bagi guru-guru yang sudah lulus sertifikasi, tidak ada jaminan bahwa kualitas mereka dalam mentransfer ilmu kepada peserta didiknya menjadi semakin baik. Kualitas guru banyak ditentukan oleh kemampuan guru tersebut dalam menerjemahkan bahan belajar menjadi sangat aplikatif bagi siswanya dalam mengembangkan fungsi kognitif, afektif, dan psikomotornya.

Guru-guru yang hanya memindahkan materi buku pelajaran ke otak siswa-siswanya tentu belum bisa dikatakan guru berkualitas. Guru yang baik (baca juga postingan: Guru Idola Siswa) adalah guru yang dapat berperan sebagai motivator, inspirator, serta mampu menggali potensi yang dimiliki oleh siswanya. Karena itu, selain kualitas intelektual seorang guru harus memiliki kesiapan mental dalam mendidik dan mengajar.

Dengan adanya sertifikasi ini diharapkan kualitas guru juga semakin meningkat. Tapi, melihat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, rasanya akan sulit mengaharapkan peningkatan kualitas guru. Persyaratan tersebut sepertinya tidak ada yang berhubungan langsung dengan peningkatan kualitas. Guru-guru yang mengajar lebih dari 5 tahun belum tentu lebih baik dari guru yang baru mengajar setahun. Begitu juga guru-guru yang mengajar lebih dari 20 jam dalam seminggu belum tentu lebih baik dari yang mengajar 10 jam seminggu. Melihat persyaratan sertifikasi ini, ternyata belum berhubungan langsung dengan peningkatan kualitas guru. Program sertifikasi ini hanya membuat guru menjadi sibuk saja. Padahal yang paling diutamakan dalam pendidikan adalah masalah kualitasnya, dan kualitas harus dicapai dengan proses yang baik dan hasil atau outcame-nya yang semakin baik.

Pembenahan Proses

Perlu dipertimbangkan tentang program sertifikasi ini. Hal-hal yang harus dilakukan adalah pembenahan terhadap prosesnya. Guru-guru yang akan mengikuti proses sertifikasi hendaknya tidak hanya berkutat dengan persyaratan yang bersifat administratif semata, tetapi juga yang berhubungan langsung dengan peningkatan kualitas intelektualitasnya.

Untuk itu, pemerintah perlu menambahkan persyaratan lain seperti jumlah siswa bimbingan yang berprestasi baik tingkat nasional maupun internasional. Dengan demikian, sertifikasi tidak semata syarat belaka, tapi memang mampu menjadi landasan dalam peningkatan kualitas guru. Selanjutnya, dengan sertifikasi tersebut para guru yang telah lulus diberikan tunjangan yang sangat besar serta dibayarkan secara rutin setiap bulan, bukan pertriwulan atau bahkan persemester.




--------- Hidayat Banjar
(Peminat Masalah Sosial Budaya)

Sabtu, 22 Maret 2014

Potret Pendidikan: Mendidik Pendidik yang Terdidik

Potret Pendidikan: Mendidik Pendidik yang Terdidik - Dipercaya, pendidikan sebagai lembaga yang berkompeten dalam mencetak generasi handal. Seperti Doktor, Magister Agama, Sarjana Pendidikan dan masih banyak lagi lainnya. Namun, tak disangka bahwa, lembaga pendidikan juga ternyata mengandung unsur ketidak selarasan dalam bidang pendidikan maupun kelembagaannya. Oleh sebab itu, timbulah berbagai tudingan yang bersifat pro maupun kontra dalam menyikapi makna pendidikan.

Keganasan kekuasaan yang melingkupi dunia pendidikan mengakibatkan terpuruknya harkat serta martabat sistem kelembagaan pendidikan, khususnya di Indonesia. Problematika carut marutnya pendidikan negera ini, tak lain hanyalah disebabkan oleh faktor kekuasaan belaka. Mulai dari perebutan kekuasaan hingga memanfaatkan kekuasaan. Imam al-Ghazali menuturkan bahwa:
"Tujuan manusia adalah mencapai kebahagiaan dengan mendekatkan diri kepada Tuhan".
Dengan kata lain, berbagai macam tujuan manusia untuk mendapatkan kekayaan, kekuasaan sosial, ilmu pengetahuan hanyalah sebuah ilusi jika semua itu hanya berhubungan dan ditujukan untuk pencapaian dunia fana.

Dalam konteks di atas, jika dipahami lebih mendalam, suatu tonggak kekuasaan tak akan ada manfaatnya jika hal tersebut hanya berorientasi kepada dunia (materialistik). Namun, jika hal itu ditujukan hanya untuk mendapatkan ridha dari Tuhan, maka guna kekuasaan tersebut pasti akan sangat bermanfaat terhadap khalayak umum, khususnya dunia.

Dewasa ini, Negara Indonesia mulai mengalami sindrom perebutan hingga pemanfaatan kekuasaan. Hal ini tak hanya terjadi dalam percaturan dunia perpolitikan, akan tetapi hampir dari berbagai penjuru yang notabene mengandung unsur materialistik pun ikut terjangkiti. Hal ini dibuktikan dengan adanya kasus yang terjadi pada salah satu dari “beribu” kasus yang berhasil terkuak dalam media, yaitu pemungutan liar (pungli). Dan bisa disimpulkan, kekuasaan yang berhasil diraih dalam bidang pendidikan, misalnya, predikat guru, kepala sekolah, dosen, rektor, sampai guru besar, kebanyakan hanya digunakan sebagai alat untuk memperkaya diri. Padahal yang diharapkan dalam dunia pendidikan tak seperti demikian. Memang sangat ironis, hakikat lembaga pendidikan (baca juga postingan: Sejarah Pendidikan 2: Hakikat Pendidikan) yang bertujuan untuk mencetak generasi yang unggul dalam bidang akademik maupun non akademik tercacati hanya gara-gara kebringasan penguasa saja.

Dalam pepatah Jawa, guru diibaratkan sebagai imam atau yang sering disebut “GURU, digugu lan ditiru” (baca juga postingan: Gugatan Arti Keteladan Seorang Guru). Eksistensi guru sangat berpengaruh dalam dunia belajar mengajar. Urgensi dan peran guru juga tak akan bisa luput dari peserta didik. Dengan kata lain, semua tindak tanduk yang dicontohkan oleh seorang guru akan berefek pada peserta didik. Adapun contoh baik akan melahirkan tata nilai yang baik dan contoh yang buruk akan melahirkan tata nilai yang buruk. Sangat disayangkan, bila dengan adanya pelbagai kasus yang menimpa seorang pengajar mengakibatkan dunia pendidikan di Indonesia mengalami kemunduran yang signifikan. Dan hal ini pun tak sepatutnya terjadi di Negara yang notabene penduduknya terbanyak.

Menurut data dari Arah dan Kebijakan Dirjen Pendidikan Nasional Tahun 2012 menunjukkan bahwa setiap tahunnya, sekitar 4,8 juta anak Indonesia yang belajar di Sekolah Dasar (SD), jumlah pelajar ini menurun seiring meningkatnya masa belajar, hanya 3,8 juta anak yang belajar di Sekolah Menengah Pertama (SMP). 0Sementara jumlah anak yang belajar di Sekolah Menengah Atas (SMA) turun lagi menjadi 2,6 juta anak setiap tahunnya. Hampir setengah dari anak Indonesia yang bersemangat untuk datang ke sekolah saat usianya masih 6 tahun tidak bisa menyelesaikan pendidikannya hingga tuntas. Jumlah yang drop out sekolah itu 2,2 juta setiap tahunnya. Jika dikalkulasi, antara jumlah penduduk dan jumlah peserta didik di seluruh Indonesia sungguh sangat tak sebanding. Jika menganalisa Negara Singapura dan Malaysia, Indonesia seharusnya bisa di atasnya. Namun kini para pelajar dari kaum pribumi justru lebih enjoy belajar di negeri orang dibanding negeri sendiri.

Menilik sejarah masa lalu yang mencatat bahwa, mutu pendidikan Negara Indonesia bisa dikatakan maju. Sebab, para kaum pelajar dari pelbagai belahan dunia berbondong-bondong untuk menuntut ilmu di negeri yang anggun ini. Namun, mutu pendidikan tersebut mengalami kemunduran. Hal ini tak lain hanyalah disebabkan oleh para pengajarnya yang bertindak jauh dari seorang yang dikatakan sebagai pendidik. Dengan kebobrokan yang sedemikian kompleks, dipandang perlu untuk “meniatkan” seorang pendidik dengan cara yang benar. Sebab, realita menunjukkan pendidik pada saat ini tak lebih hanya mengandalkan ijazah yang notabene “tembakan”. Patut disayangkan, jika layaknya pendidik yang harusnya bisa dihandalkan hanyalah berlatar belakang “tak jelas”. Dengan adanya realita plagiasme dan penembakan ijazah diharapkan ditindaklanjuti.

Menindak lanjuti paradigm sesat yang tertanam dalam benak pengajar negeri ini. Sedah sepatutnya lembaga pemerintahan menerapkan sistem baru yang nantinya bisa menyelaraskan pikiran untuk mendidik secara ikhlas. Tak perlu adanya mobil mewah, rumah mewah, ataupun barang mewah lainnya, dan tak perlu pula dengan memberikan sertifikasi dan gelar yang tinggi kalau toh nantinya hasilnya justru nihil. Sebab, menurut Imam al-Ghazali, terjadinya perilaku korup adalah berawal dari sifat hedonis yang terpelihara.

Oleh karenanya, langkah konkret yang perlu dilakukan adalah melalukan perekrutan yang diimbangi dengan penyaringan yang ketat, supaya hasil akhir dari penyaringan tersebut menghasilkan pendidik yang berkualitas. Adapun langkah yang perlu diterapkan untuk menghasilkan pendidik yang handal adalah dengan cara penerapan sistem meritokrasi yang berkelanjutan. Misal, membumikan pendidik yang hafal dan berkarakter Qur’ani, serta mempunyai bakat dan tekad yang ikhlas. Dengan menerapkan cara demikian diharapkan bisa mewujudkan generasi muda yang handal dalam semua lini. Tak hanya dalam bidang IPTEK, namun spiritualitas juga diharapkan bisa terbangun dengan adanya pendidik dalam lingkup Qur’ani.

Dengan demikian, citra pendidikan yang “sakral” tak lagi ada virus yang menjangkiti, dan mutu pendidikan juga bisa membawa Negara yang kian hari mengalami degradasi moral.




--------- Ahmad Anwar Musyafa 
(Peneliti di Monash Institute dan Aktivis HMI IAIN Walisongo Semarang)

Kamis, 20 Maret 2014

Melek Aksara Menjadi Berdaya (Pendidikan Keaksaraan)

Melek Aksara Menjadi Berdaya (Pendidikan Keaksaraan) - Menarik sekali apa yang disampaikan Dr. Wartanto, Direktur Pembinaan dan Pendidikan Masyarakat Kementerian Pendidikan Nasional (Radar, 24/12/2013), bahwa upaya pemberantasan buta aksara di Indonesia terus dilakukan oleh pemerintah dengan melalui berbagai program agar masyarakat terbebas dari buta aksara dan dapat meningkatkan kemampuan mengenai aksara dan pengetahuan dasar. Memang tak dapat kita pungkiri kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari pegunungan dann lautan di samping merupakan berkah juga menjadi tantangan dan persoalan tersendiri dalam penyebaran dan pemerataan sarana pendidikan.

Hal ini hanyalah salah satu yang menjadi faktor masih adanya warga masyarakat yang menyandang buta aksara di Negara kita. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik bahwa pada tahun 2013 penduduk yang berusia 15-59 tahun buta aksara masih cukup tinggi terutama di daerah Papua sebanyak 35,98%, adapun di Jawa Tengah sendiri masih terdapat 4,85% penduduk buta aksara. Upaya pemerintah yang terus menerus dengan melalui berbagai program memberikan hasil yang signifikan. Seperti pada tahun 2005-2009 jumlah penyandang tuna aksara turun secara signifikan sampai 50% dengan adanya Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Aksara Intensif (GNPBAI), sebuah program yang dilakukan untuk mempercepat peningkatan angka melek aksara yang dilakukan secara intensif. Pemerintah berusaha keras memberantas buta aksara karena menyadari sepenuhnya bahwa melek aksara adalah jantung pembelajaran sepanjang hayat, hal ini terdapat dalam Deklarasi Dunia tentang pendidikan untuk semua pada kerangka kerja Dakkar 2003-2012. 

Pendidikan keaksaraan di Indonesia dapat dijadikan sebagai salah satu program yang bertujuan untuk meningkatkan human development index Indonesia yang cenderung rendah. Hal ini karena di Indonesia masih terdapat permasalahan yang berhubungan dengan rendahnya tingkat pendidikan penduduk. Indikatornya dapat dilihat dari tingginya jumlah tuna aksara di Indonesia. Oleh karena itu, peningkatan melek aksara sangat diperlukan untuk meningkatkan index pembangunan SDM Indonesia. 

Pendidikan keaksaraan yang digalakkan pemerintah adalah pendidikan keaksaraan fungsional yang terdiri dari dua program yakni keaksaraan dasar dan keaksaraan usaha mandiri. Dengan mengusung lima kompetensi dasar berbicara, mendengarkan, membaca, menulis, dan berhitung diharapkan penduduk buta aksara dapat berdaya, mampu meningkatkan taraf hidupnya dan dapat survive secara layak di tengah persaingan hidup yang semakin ketat. Hal ini selaras dengan apa yang diajarkan oleh agama Islam, sebagaimana terdapat pada wahyu yang pertama kali turun yakni “Iqra bismi Rabbika alladzi khalaq” (baca juga postingan: Kewajiban Belajar Mengajar dalam Perspektif al-Quran Surat al-'Alaq ayat 1-5) yang kurang lebih artinya bacalah dengan nama Tuhanmu yang mencipta. 

Menurut Quraish Shihab bahwa ayat ini mengandung makna bacalah wahyu ilahi yang telah kamu terima dan baca juga alam dan masyarakatmu, bacalah agar engkau membekali dirimu dengan kekuatan pengetahuan. Bacalah semua itu dengan satu syarat engkau lakukan dengan atau demi nama Tuhan yang selalu memelihara dan membimbingmu dan yang mencipta semua makhluk kapan dan dimana pun. Pendapat ini dapat dipahami bahwa membaca yang diperintahkan oleh Allah adalah membaca ayat-ayat qauliyah (firman Tuhan) dan ayat-ayat kauniyah (alam semesta) lingkungan sekitar kita. Lebih jauh Syekh Abdul Halim Mahmud, mantan pemimpin tertinggi al-Azhar Mesir dalam bukunya “Al-Qur’an fi Syarh Al-Qur’an” mengatakan bahwa dengan kalimat Iqra, al-Qur’an tidak sekedar memerintahkan untuk membaca, tetapi membaca adalah lambing dari segala apa yang dilakukan manusia baik aktif maupun pasif. 

Kalimat tersebut dalam pengertian dan semangatnya ingin menyatakan Bacalah! Demi Tuhanmu, bergeraklah demi Tuhanmu, dan bekerjalah demi Tuhanmu. Demikian juga jika anda berhenti bergerak atau berhenti melakukan sesuatu aktivitas, hendaklah hal tersebut didasarkan pada “bismi Rabbika”, sehingga pada akhirnya ayat tersebut berarti “jadikanlah seluruh kehidupanmu, wujudmu dalam cara dan tujuannya, kesemuanya demi karena Allah”. 

Dari pendapat di atas maka program pendidikan keaksaraan merupakan upaya strategis bagi seseorang agar tetap eksis. Dengan mengenal aksara maka ia mampu membaca, memahami lingkungan di sekitarnya dan dapat mengakses segala sesuatu yang dibutuhkannya. Maka hal yang dikedepankan dalam pendidikan keaksaraan adalah kebutuhan warga belajar dan potensi lokal dimana warga belajar itu tinggal. 

Maka tidak berlebihan jika dengan melek aksara seorang warga belajar dapat berdaya, karena tidak hanya kemampuan membaca, menulis, dan berhitung (baca juga postingan: Potret Pendidikan: Hentikan Tes Calistung di SD) yang ia kuasai namun ia juga dapat belajar berbagai keterampilan yang dapat dijadikan modal kerja atau berwirausaha. Dengan ini maka tidak mustahil mata rantai kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan yang masih melilit bangsa kita tercinta sedikit demi sedikit sakit dapat terputus. 

Mari kita jadikan melek aksara sebagai pintu pengetahuan dan kehidupan. Sukses untuk warga belajar dan tutor Keaksaraan Fungsional. 




------------- Sodik, M.Pd 
(Staff Dinas DIKPORA Kabupaten Tegal)