Biografi Abu Yazid al-Bustomi Si Pemenuh Panggilan Tuhan - Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan al-Bustami. Lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874 – 947 M. Nama kecilnya adalah Thaifur. Kakeknya bernama Surusyan, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk dan menjadi pemeluk agama Islam di Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk keluarga berada di daerahnya, tetapi ia lebih memilih hidup sederhana. Sejak dalam kandungan ibunya, konon kabarnya Abu Yazid telah mempunyai kelainan. Ibunya berkata bahwa ketika dalam perutnya, Abu Yazid akan memberontak sehingga ibunya muntah kalau menyantap makanan yang diragukan kehalalannya [1].
Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada orang tuanya. Suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat dari surat Lukman yang kurang lebih artinya, “Berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu”. Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang untuk menemui ibunya. Sikap ini menggambarkan bahwa ia selalu berusaha memenuhi setiap panggilan Allah.
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memakan waktu puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu telah menjadi seorang faqih dari madzhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali al-Sindi. Ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam bentuk buku. Dalam menjalani kehidupan zuhud, selama 13 tahun, Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir Syam, hanya dengan tidur, makan, dan minum yang sedikit sekali [2].
Ajaran tasawwuf terpenting Abu Yazid adalah fana’ dan baqa’. Dari segi bahasa, fana’ berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawwuf, fana adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Dalam hal ini, Abu Bakar al-Kalabadzi (wafat 378 H/988 M) mendefinisikannya hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu [3].
Pencapaian Abu Yazid ke tahap fana’ dicapai setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah, seperti tampak dalam ceritanya: “Setelah Allah menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, aku mendengar puas dari-Nya. Maka, diriku dicap dengan keridhaan-Nya. Mintalah kepada-Ku semua yang kau inginkan, Katanya. Engkau yang Aku inginkan, jawabku. Karena Engkau lebih utama dari pada anugerah, lebih besar dari pada kemurahan, dan melalui Engkau aku mendapat kepuasan dalam diri-Mu”.
Jalan menuju fana’ menurut Abu Yazid dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan. Ia bertanya, bagaimana caranya agar aku sampai kepada-Mu? Tuhan menjawab, tinggalkan diri (nafsu)mu dan kemarilah.
Adapun baqa’, berasal dari kata baqiya. Arti dari segi bahasa adalah tetap. Sedangkan berdasarkan istilah tasawwuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Paham baqa’ tidak bisa dipisahkan dengan paham fana’ karena keduanya merupakan paham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana’, ketika itu juga ia sedang menjalani baqa’.
Dalam menerangkan kaitan antara fana’ dan baqa’, al-Qusyairi (baca juga postingan: Pejuang Tangguh dari Istawa Abdul Karim al-Qusyairi) menyatakan:
“Barangsiapa meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela, maka ia sedang fana’ dari syahwatnya. Tatkala fana’ dari syahwatnya, ia baqa’ dalam niat dan keikhlasan ibadah; ... Barangsiapa yang hatinya zuhud dari keduniaan, maka ia sedang fana’ dari keinginannya, berarti pula sedang baqa’ dalam ketulusan inabahnya”[4].
Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia melalui tahapan fana’ dan baqa’. Hanya saja dalam literatur klasik, pembahasan tentang ittihad ini tidak ditemukan. Apakah karena pertimbangan keselamatan jiwa ataukah ajaran ini sangat sulit dipraktekkan merupakan pertanyaan yang sangat baik untuk dianalisis lebih lanjut. Namun, menurut Harun Nasution uraian tentang ittihad banyak terdapat di dalam buku karangan orientalis [5].
Reff:
[1] Fariduddin al-‘Aththar, Warisan Para Auliya, Pustaka, Bandung, 1983, hal. 128.
[2] M. M. Syarif, A History of Muslim Philosophy, Otto Harrassowitz, Wiesbaden, 1966, vol. 1, hal. 342.
[3] Al-Kalabadzi, al-Ta’aruf li Madzhab Ahl al-Tasawwuf, Isa Bab al-Halabi, Mesir, 1960, hal. 147.
[4] Abu Qasim al-Karim al-Qusyairiyyah, al-Risalah al-Qusyairiyyah fi ‘Ilm al-Tasawwuf, Isa Bab al-Halabi, 1334, hal. 39.
[5] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hal. 79.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar