Translate

BISNIS ONLINE

Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 17 September 2014

Pendidikan Indonesia di Masa Kerajaan

Pendidikan Indonesia di Masa Kerajaan - Sangat penting kiranya bagi kita untuk mengetahui bagaimana pendidikan di Indonesia pada masa-masa kerajaan yang pernah ada di Negeri tercinta. Oleh karena itu pada kesempatan kali ini, saya akan sedikit share tentang bagaimana pendidikan Indonesia di masa-masa kerajaan. Bahwa pendidikan di masa kerajaan dimulai dari kerajaan Sriwijaya. Pada kerajaan Mataram kuno terkenal atau berpusat di Jawa Tengah dan aktivitas pendidikannya yaitu; menterjemahkan buku-buku agama Budha, menterjemahkan buku-buku lain ke bahasa Jawa kuno seperti Ramayana dan  perguruan  tinggi  di  masa kerajaan   Mataram  kuno  sudah  meliputi  Fakultas Agama, Fakultas Sastra, Fakultas Bangunan atau Teknik Bangunan. Selain kerajaan Mataram, juga ada kerajaan Hindu-Buddha dan kerajaan Islam.
  • Kerajaan Hindu-Buddha
Pada abad ke-4 hingga abad ke-7 di wilayah Jawa Barat terdapat kerajaan bercorak Hindu-Budha yaitu kerajaan Tarumanagara yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16. Pada masa abad ke-7 hingga abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatra. Penjelajah  Tiongkok I Ching mengunjungi ibukotanya Palembang sekitar tahun 670. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa Barat dan Semenanjung Melayu. Abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur, Majapahit. Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah Mada berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu. Warisan dari masa Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum dan dalam kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat dalam wiracarita Ramayana.
  • Kerajaan Islam
Islam sebagai sebuah pemerintahan hadir di Indonesia sekitar abad ke-12, namun sebenarnya Islam sudah sudah masuk ke Indonesia pada abad 7 Masehi. Saat itu sudah ada jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional melalui Selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat sejak abad 7.

Menurut sumber-sumber Cina menjelang akhir perempatan ketiga abad 7, seorang pedagang Arab menjadi pemimpin pemukiman Arab muslim di pesisir pantai Sumatera. Islam pun memberikan pengaruh kepada institusi politik yang ada. Hal ini nampak pada Tahun 100 H (718 M) Raja Sriwijaya Jambi yang bernama Srindravarman mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Bani Umayyah meminta dikirimkan da'i yang bisa menjelaskan Islam kepadanya. Surat itu berbunyi: “Dari Raja di Raja yang adalah keturunan seribu raja, yang isterinya juga cucu seribu raja, yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah, yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu- bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil, kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Allah. Saya telah mengirimkan kepada anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya.” Dua tahun kemudian, yakni tahun 720 M, Raja Srindravarman, yang semula Hindu, masuk Islam. Sriwijaya Jambi pun dikenal dengan nama 'Sribuza Islam'. Sayang, pada tahun 730 M Sriwijaya Jambi ditawan oleh Sriwijaya Palembang yang masih menganut Budha.

Islam terus mengokoh menjadi institusi politik yang mengemban Islam. Misalnya, sebuah kesultanan Islam bernama Kesultanan Peureulak didirikan pada 1 Muharram 225 H atau 12 November 839 M. Contoh lain adalah Kerajaan Ternate. Islam masuk ke kerajaan di kepulauan Maluku ini tahun 1440. Rajanya seorang Muslim bernama Bayanullah.

Kesultanan Islam kemudian semikin menyebarkan ajaran-ajarannya ke penduduk dan melalui pembauran, menggantikan Hindu sebagai kepercayaan utama pada akhir abad ke-16 di Jawa dan Sumatera. Hanya Bali yang tetap mempertahankan mayoritas Hindu. Di kepulauan-kepulauan di timur, rohaniawan-rohaniawan Kristen dan Islam diketahui sudah aktif pada abad ke-16 dan 17, dan saat ini ada mayoritas yang besar dari kedua agama di kepulauan-kepulauan tersebut.

Penyebaran Islam dilakukan melalui hubungan perdagangan di luar Nusantara; hal ini, karena para penyebar dakwah atau mubaligh merupakan utusan dari pemerintahan Islam yang datang dari luar Indonesia, maka untuk menghidupi diri dan keluarga mereka, para mubaligh ini bekerja melalui cara berdagang, para mubaligh inipun menyebarkan Islam kepada para pedagang dari penduduk asli, hingga para pedagang ini memeluk Islam dan meyebarkan pula ke penduduk lainnya, karena umumnya pedagang dan ahli kerajaan lah yang pertama mengadopsi agama baru tersebut. Kerajaan Islam penting termasuk di antaranya: Kerajaan Samudera Pasai, Kesultanan Banten yang menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara Eropa, Kerajaan Mataram, dan Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore di Maluku.

Demikian, semoga bisa bermanfaat dan bisa menambah wawasan kita dalam menggali sejarah pendidikan di Indonesia.

Selasa, 16 September 2014

Aliran-aliran dalam Pendidikan

Aliran-aliran dalam Pendidikan - Makna pendidikan sangat luas, dan setiap orang dengan pandangan tertentu merumuskan arti pendidikan berbeda dari rumusan pendidikan yang dirumuskan seseorang ahli dengan  pandangan yang lain. Begitu pun kalau secara khusus kita kuatkan dengan proses pendidikan sebagai proses pembinaan peserta didik sebagai subjek didik. Dalam hal ini memang ada beberapa aliran dalam pendidikan:
  • Aliran Nativisme
Tokoh aliran ini adalah Schopenhauer (Jerman: 1788-1860). Aliran ini berpendapat bahwa perkembangan manusia itu telah ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa manusia sejak lahir; pembawaan yang telah terdapat pada waktu dilahirkan itulah yang menentukan hasil perkembangannya. Potensi yang dibawa sejak lahir atau pembawaan inilah yang sepenuhnya mempengaruhi perkembangan anak, yang baik akan menjadi baik, dan yang jelek akan menjadi jelek. Menurut kaum nativisme tersebut, pendidikan tidak dapat mengubah sifat-sifat pembawaan, sehingga percuma saja kita mendidik, atau dengan kata lain pendidikan tidak diperlukan. Dalam ilmu pendidikan hal ini disebut pesimisme pedagogis.
  • Aliran Empirisme
Tokoh dari aliran ini adalah John Locke (Inggris: 1932-1704). Pandangan aliran ini berlawanan dengan kaum nativisme, karena berpendapat bahwa dalam perkembangan anak menjadi manusia dewasa itu ditentukan oleh lingkungannya, atau oleh pendidikan dan pengalaman yang diterimanya sejak kecil. Menurut aliran ini, manusia dilahirkan putih bersih seperti kertas putih, tidak membawa potensi apa- apa. Perkembangan selanjutnya tergantung dari pendidikan dan atau lingkungannya. Dalam artian, bahwa manusia dapat dididik menjadi apa saja (ke arah yang baik maupun sebaliknya), menurut kehendak lingkungan atau pendidiknya. Dalam pendidikan, pendapat kaum empiris ini terkenal dengan nama optimisme pedagogis. Dalam hal ini pendidik memegang peranan yang sangat penting dengan menyediakan lingkungan pendidikan dan akan diterima oleh anak sebagai pengalaman-pengalaman (empiri: pengalaman).
  • Aliran Naturalisme
Tokoh aliran ini adalah JJ. Rousseau (Prancis: 1712-1778). Nature artinya adalah alam atau apa yang dibawa sejak lahir. Hampir senada dengan aliran nativisme, maka aliran ini berpendapat bahwa pada hakikatnya semua anak (manusia) sejak dilahirkan adalah baik. Perkembangannya kemudian sangat ditentukan oleh pendidikan yang diterimanya atau yang mempengaruhinya. Jika pengaruh/pendidikan itu baik, akan menjadi baik, tapi jika pengaruh itu jelek, akan jelek pula hasilnya. Seperti dikatakan oleh tokoh aliran ini JJ. Rousseau:
…semua anak adalah baik pada waktu baru datang dari tangan Sang Pendipta, tetapi semua menjadi rusak di tangan manusia”. Artinya, anak hendaknya dibiarkan tumbuh dan berkembang sendiri menurut alamnya, manusia atau masyarakat jangan banyak mencampurinya.
  • Aliran Konvergensi
Tokoh dari aliran ini adalah William Stern (Jerman: 1871-1939), yang berpendapat bahwa anak sejak lahir telah membawa pembawaan atau potensi-potensi, namun dalam perkembangan selanjutnya ditentukan bersama baik oleh pembawaan maupun lingkungan atau pendidikan. pembawaan tidak akan berkembang dengan baik jika tidak ada dukungan pendidikan dan atau lingkungan. Sebaliknya pendidikan dan atau lingkungan tidak akan berhasil baik manakala pada diri anak tidak ada pembawaan yang mendukungnya. Menurut Stern, pendidikan tergantung dari pembawaan dan lingkungan, seakan ada dua garis lurus yang menuju ke suatu titik temu (convergen: menuju ke suatu titik). Aliran konvergensi pada umumnya dapat  diterima secara luas,  walaupun  masih  ada juga beberapa kritik terhadapnya.

Aliran konvergensi dikritik sebagai aliran yang cocok untuk hewan dan tumbuh-tumbuhan, kalau bibitnya baik dan lingkungannya baik maka hasilnya pasti baik. Padahal bagi manusia hal itu belum tentu, karena masih ada faktor lain yang mempengaruhi yaitu pilihan atau seleksi dari yang bersangkutan.
  • Tut Wuri Handayani
Konsep ini berasal dari Ki Hadjar Dewantara, seorang pakar pendidikan Indonesia, sekaligus pendiri Perguruan Taman Siswa. Tut Wuri Handayani berasal dari bahasa Jawa, “Tut Wuri” berarti “mengikuti dari belakang”, dan “handayani” berarti “mendorong, memotivasi, atau membangkitkan semangat”. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa aliran ini mengakui adanya pembawaan, bakat, maupun potensi-potensi yang ada pada anak sejak lahir. Dengan kata “tut wuri” berarti pendidik diharapkan dapat melihat, menemukan, dan memahami bakat atau potensi-potensi apa yang timbul dan terlihat pada anak didik, untuk selanjutnya dapat dikembangkan dengan memberikan motivasi atau dorongan ke arah pertumbuhan yang sewajarnya dari potensi-potensi tersebut.

Dibandingkan dengan keempat aliran pendidikan yang telah dibahas sebelumnya, tut wuri handayani lebih mirip dan dekat dengan aliran konvergensi dari William Stern, yang berpendapat bahwa perkembangan anak (manusia) ditentukan oleh bagaimana interaksi antara pembawaan atau potensi-potensi yang dimiliki anak yang bersangkutan dan lingkungan ataupun pendidikan yang mempengaruhi anak dalam perkembangannya. Dengan kata lain, sifat-sifat dan ciri- ciri anak (manusia) dalam perkembangannya ada yang lebih ditentukan oleh pembawaannya, dan ada pula yang lebih ditentukan oleh lingkungannya, tergantung kepada mana yang lebih dominan dalam interaksi antara keduanya.

Tut wuri handayani merupakan bagian dari konsep kependidikan Ki Hadjar Dewantara yang secara keseluruhan berbunyi sebagai berikut:
Ing ngarso sung tulodo
Ing madyo mangun karso
Tut wuri handayani
Ing ngarso sung tulodo artinya jika pendidik sedang berada didepan maka hendaklah memberikan contoh teladan yang baik terhadap anak didiknya. Ing ngarso: di depan, sung: asung = memberi, tulodo: contoh/teladan yang baik. Ing madyo mangun karso berarti jika pendidik sedang berada di “tengah-tengah” anak didiknya, hendaknya ia dapat mendorong kemauan atau kehendak mereka untuk berinisiatif dan bertindak. Ing madyo: di tengah; mangun: membangun, menimbulkan dorongan; karso: kehendak atau kemauan. Ditambah dengan tut wuri handayani yang telah diuraikan sebelumnya, maka ketiganya merupakan satu kesatuan yang utuh.

Semoga bermanfaat.

Senin, 15 September 2014

Konsep Dasar, Fungsi, dan Tujuan Pendidikan

Konsep Dasar, Fungsi, dan Tujuan Pendidikan - Pagi ini sedikit akan saya postingkan tentang bagaimana konsep dasar, fungsi dan tujuan pendidikan karena dirasa sangat perlu supaya kita bisa lebih tahu tentang arti penting pendidikan bagi kelangsungan umat manusia yang tidak lain adalah khalifah fil ardi (agen of change). Bahwa pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan (Ngalim Purwanto, 2002:11). Rumusan tentang pendidikan, lebih jauh termuat dalam UU. No. 20 Tahun 2003, bahwa pendidikan Indonesia bertujuan agar masyarakat Indonesia mempunyai pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Artinya, arah dari proses pendidikan nasional mencakup berbagai aspek kehidupan diri manusia dan masyarakat untuk survive dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Berbicara masalah pendidikan meliputi cakupan yang cukup luas, bahkan dalam mendefinisikan pengertian pendidikan juga bervariasi. Ada yang mengartikan pendidikan sebagai proses yang di dalamnya seseorang mengembangkan kemampuan, sikap, dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya di lingkungan masyarakat dimana ia berada. Pendidikan juga dapat diartikan sebagai proses sosial, di mana seseorang dihadapkan pada kondisi dan pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (contoh paling nyata sekolah) sehingga yang bersangkutan mengalami perkembangan secara optimal (Dictionary of Education dalam T. Sulistyono, 2003).

Dari beberapa definisi tersebut menunjukkan melihat pendidikan dari sudut pandang yang berbeda. Yang pertama, melihat dari sudut pandang psikologis, dan yang kedua dari sudut pandang sosiologis. Banyak sudut pandang untuk dapat merumuskan pengertian pendidikan sehingga banyak juga definisi tentang pendidikan. Namun demikian, yang jelas bahwa pendidikan adalah proses untuk membina diri seseorang dan masyarakat agar dapat survive dalam menjalani hidupnya.

Dasar, Fungsi, dan Tujuan Pendidikan

Dasar pendidikan nasional adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam ragka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

Rumusan konstitusional tersebut apabila dicermati menegaskan bahwa arah dan tujuan pendidikan nasional adalah untuk membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa, berbudi pekerti luhur, sehat jasmani rohani, cakap, berilmu, dan kreatif, mengembangkan kemandirian serta menjadi warga negara yang baik. Ini semua dalam rangka membangun watak bangsa yang beradab dan bermartabat.

Konsep Dasar, Fungsi, dan Tujuan PendidikanRumusan tujuan pendidikan nasional tersebut sangat ideal dan komprehensif, bahkan bisa dikatakan yang terlengkap di dunia. Rumusan tujuan pendidikan tersebut adalah untuk memberikan suasana kebatinan dan semangat serta motivasi bagi setiap komponen manusiawi yang terkait dan terus berusaha untuk mencapai cita-cita yang ideal itu. Dijelaskan pula dalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal 1, butir 1, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Jadi menurut amanat UU No. 20 Tahun 2003 ini, peserta didik harus didorong untuk aktif mengembangkan potensinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, mampu mengendalikan diri, memiliki kepribadian yang kuat, akhlak yang mulia serta ketrampilan-ketrampilan yang diperlukan yang implikasinya pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Demikianlah sedikit uraian tentang konsep dasar, fungsi dan tujuan pendidikan. Semoga bisa bermanfaat.

Minggu, 07 September 2014

Kritik terhadap Pendidikan ala Barat

Kritik terhadap Pendidikan ala Barat - Orientasi pengembangan gagasan dan praksis pendidikan oleh Ki Hadjar Dewantara bukanlah upaya pengembangan yang asal-asalan tanpa telaah historis dan kritik atas gagasan dan praksis pendidikan lain. Salah satu gagasan dan praksis pendidikan yang menjadi sasaran kritik Ki Hadjar adalah dari Barat, yaitu sebagaimana yang dipraktikkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda waktu itu. Ki Hadjar menyatakan: "Akan dasar-dasarnya saja, di situlah sudah terdapat hal-hal yang ganjil. Adapun dasar-dasarnya pendidikan Barat itu, yakni: regering, tucht, dan orde (perintah, hukuman, dan ketertiban). Terutama dalam prakteknya maka didikan yang sedemikian itu lalu berlaku sebagai perkosaan atas kehidupan batin anak-anak. Apa yang jadi buahnya? Anak-anak rusak budi pekertinya, disebabkan selalu hidup di bawah paksaan dan hukuman, yang biasanya tiada setimpal dengan kesalahannya. Kalau menjadi orang tua, ia tiada akan dapat bekerja, kalau tiada dipaksa, kalau tidak ada perintah."
"Kalau kita meniru saja cara yang semacam itu, tiadalah kita akan bisa membentuk orang yang punya kepribadian."
Paragraf di atas menunjukkan bahwa secara eksplisit/jelas Ki Hadjar tidak sepakat dengan dasar-dasar pendidikan Barat waktu itu, yaitu regering (perintah), tucht (hukuman), dan orde (ketertiban). Menurut Ki Hadjar penerapan konsep dasar pendidikan yang menekankan pada perintah, hukuman,  dan  ketertiban telah  „memerkosa kehidupan  batin‟ anak-anak. Mengapa? Mari kita ulas lebih lanjut soal reger ing dan tucht dengan mengkesampingkan lebih dulu orde, karena dalam beberapa ulasan Ki Hadjar tampak juga menerapkan orde atau ketertiban dalam mengelola Taman Siswa. [1]

Perintah

Praktik pembelajaran yang menekankan pada perintah jika kita kontekstualisasikan pada masa sekarang, agaknya dapat cukup dijelaskan melalui pembelajaran yang tidak banyak memberi ruang bagi siswa untuk mengasah daya kritis dan kreativitasnya. Melainkan didominasi oleh sekian banyak perintah yang ditujukan untuk para siswa. Perintah-perintah tersebut lahir sebagai bagian dari desain pembelajaran yang diarahkan untuk membentuk siswa-siswi menjadi manusia-manusia yang memiliki cara pandang, pola pikir, nilai-nilai, budaya, dan ideologi tertentu. Perintah, pada hakikatnya adalah cara langsung untuk menenggelamkan siswa-siswi dalam aktivitas tertentu yang akan pengetahuan, nilai-nilai, budaya, dan ideologi tertentu terinternalisasi dengan baik, optimal, dan efektif.

Dengan meniadakan ruang bagi siswa-siswi untuk berpikir kritis dan kreatif, dan sebaliknya, mengisi praksis pembelajaran dengan sekian banyak perintah, maka ruang-ruang bagi ekspresi para siswa menjadi sempit dan akhirnya hilang. Inilah yang disebut oleh Ki Hadjar sebagai telah memerkosa "kehidupan batin" anak-anak.  Sebagaimana  saya  telah menafsirkan konsep „batin‟ dari Ki Hadjar dalam konteks sosio-kultural waktu itu sebagai dimensi psikis, spiritual, dan intelektual manusia, maka bagi Ki Hadjar praktik pembelajaran yang terlalu dominan memberi perintah pada siswa ibarat memaksa siswa untuk belajar hal-hal yang belum tentu mereka suka dan perlu. Atau dengan kata lain: pemerkosaan! Yakni memaksa anak-anak untuk melakukan tugas atau terlibat dalam aktivitas tertentu, yang di sisi lain membatasi dan memangkas bertumbuhkembangnya bakat dan minat mereka.

Perintah yang dilakukan terus menerus, baik perintahnya sama atau tidak, juga dapat dipahami sebagai bagian dari teknik untuk internalisasi pengetahuan dan mengasah keterampilan teknis secara ketat, hingga siswa-siswi menjadi ahli dan praktisi dalam bidang tertentu. Jika kita telaah konteks historis waktu itu, di mana modernisasi yang diarahkan untuk spesialisasi kerja, maka proses belajar-pembelajaran dengan perintah-perintah atau tugas-tugas adalah tepat. Spesialisasi kerja ini penting dalam tatanan sosial masyarakat modern di Barat. Selain itu spesialisasi kerja ini juga penting ketika diterapkan pada tatanan sosial masyarakat Hindia Belanda waktu itu yang dibuat strata antara penguasa kolonial Hindia Belanda, pendatang/asing dari Timur Tengah dan Asia (China), dan kaum pribumi. Spesialisasi kerja yang dipadu oleh diferensiasi ras/etnis mempermudah mekanisme kontrol penguasa agar tidak terjadi gejolak dan konflik sosial.

Spesialisasi kerja menjadikan orang fokus pada rutinitas kerjanya, menguasai betul detil pekerjaannya, dan abai atau tidak punya wawasan luas di luar bidang yang ia geluti. Dalam konteks kolonialisme Hindia Belanda, maka hal-hal yang sekiranya akan melahirkan bibit-bibit kesadaran kritis, kreativitas, dan akhirnya perlawanan terhadap penguasa jelas dijauhkan dari struktur kurikulum resmi. Di sinilah pemberangusan ruang-ruang ekspresi yang sejatinya adalah lahan subur bagi pengejawantahan ekspresi anak didik untuk mengasah daya kritis, kreativitas, intelektualitas, dan lainnya mendapatkan  argumentasi penguatnya, bahwa: (1) daya kritis dan kreativitas memang harus dibunuh dengan memberi banyak perintah/tugas terstruktur; (2) hal tersebut karena daya kritis dan kreativitas adalah mula dari kesadaran kritis untuk melawan kuasa kolonial; (3) dengan fokus pada perintah-perintah teknis dan non-teknis maka daya kritis dan kreativitas anak-anak dimatikan sejak awal dan diarahkan pada menguasai hal-hal tertentu yang “tidak berbahaya” bagi penguasa.

Tentu saja Ki Hadjar dalam mengkritik konsep “perintah” (regering) sebagai pembunuhan terhadap bakat, minat, daya kritis, dan kreativitas siswa, tidak hanya dimaksudkan untuk dimensi yang sifatnya personal saja. Lebih dari itu juga kita dapat perluas lokus analisisnya pada dimensi sosial, yaitu konteks kolonialisme Hindia Belanda waktu itu. Mengapa? Karena substansi “perintah” memiliki substansi kekerasan (violence) yang sama dan sebangun dengan kekerasan dan sekian banyak perintah-perintah yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Lebih lanjut, regering  memang dominan dalam praksis pembelajaran yang bertumpu pada konsep kurikulum top down. Desain kurikulum jenis ini memang dirumuskan sejak awal untuk mengontrol secara ketat praksis pembelajaran yang akan dilaksanakan di kelas. Kontrol ketat tersebut dilakukan agar praksis pembelajaran tetap berada di rel atau pada jalur menuju pencapaian tujuan-tujuan pembelajaran yang sudah ditetapkan ketika kurikulum tersebut dibuat.

Namun jika kita telaah dimensi personal siswa dari kritik Ki Hadjar Dewantara tersebut, dapat kita petik pelajaran bahwa praksis pembelajaran/pedagogik yang menitikberatkan pada perintah tampak bertentangan dengan hakikat dasar dari belajar itu sendiri. Bukankah belajar mestinya didasari oleh kesukarelaan dan rasa senang hati untuk mempelajari suatu hal? Konsep dasar pendidikan ala Barat yang dikritik oleh Ki Hadjar karena  menekankan  pada  “perintah”  lebih tampak  menonjolkan  sisi “paksaan” dalam belajar. Pemaksaan yang dipahami sebagai bentuk “pemerkosaan” terhadap keinginan, bakat, daya kritis, dan kreativitas siswa tersebut dalam diskursus teori-teori belajar dapat ditelusuri akarnya adalah para paradigma psikologi behavioristik. Konsep dasar “hukuman” yang juga dikritik oleh Ki Hadjar akan menguatkan keabsahan tafsir mengenai ketidaksepakatan Ki Hadjar terhadap gagasan dan praksis pendidikan yang tidak humanis dan tidak memerdekakan.

Hukuman

Konsep dasar dari hukuman (tucht) dalam pendidikan dapat digambarkan dalam terminologi reward and punishment dan stick and carrot. Secara konseptual, hukuman diberikan pada siswa jika mereka melakukan hal yang tidak diinginkan oleh guru, dan hadiah diberikan pada siswa jika mereka melakukan hal yang diinginkan oleh guru dengan derajat mengagumkan alias berprestasi. Dengan demikian maka sebenarnya siswa lagi-lagi tidak punya ruang ekspresi. Mereka sekadar mengikuti perintah saja dari guru, jika berhasil mendapat hadiah, jika gagal mendapat hukuman. Jika kita perhatikan maka tak ada bedanya antara mendidik anak manusia dengan melatih hewan untuk dapat melakukan aksi akrobatik. Jika dikaitkan dengan perintah (regering), maka hukuman (tucht) adalah konsekuensi atau kelanjutan untuk tetap menjadikan anak-anak berada dalam kondisi dipaksa. Bukan sukarela dan senang hati dalam mempelajari suatu hal.

Konsep hadiah dan hukuman dalam teori pembelajaran memang bersandar pada logika stimulus-respon (S-R), yakni (1) perilaku seseorang adalah respon seseorang tersebut atas suatu hal, (2) agar seseorang berperilaku tertentu, maka ia harus diberi stimulus tertentu yang akan merangsang seseorang tersebut untuk berperilaku, bertindak, atau bersikap tertentu. Jika kita telaah lebih dalam lagi, maka logika stimulus-respons tersebut dibangun di atas asumsi dasar bahwa manusia tidak punya inisiatif untuk melakukan suatu hal tertentu tanpa stimulus. Atau, manusia tidak punya kehendak (will) untuk melakukan suatu hal jika tidak dirangsang melalui stimulus tertentu. Asumsi ini tentu problematik, mengingat bahwa manusia tidak sama dengan hewan yang memang perilakunya didasarkan pada stimulus yang datang dari luar, dan di sisi lain lebih didorong oleh naluri/insting dasar (basic instinct) hewaniah. Padahal manusia memiliki akal dan rasa yang menjadikan dirinya memiliki alur yang berbeda dibandingkan dengan hewan dalam melakukan suatu hal.

Pada hewan—sebagaimana riset awal psikologi behavioristik yang dilakukan oleh Ivan Pavlov pada anjing—memang relatif tepat jika agar dapat melakukan hal tertentu maka perlu diberi stimulus. Dalam beberapa hal, manusia juga demikian, terutama pada hal-hal yang bersifat fisik, biologis, dan psikomotorik. Namun untuk hal-hal atau dimensi afektif dan kognitif tentu berbeda. Di situlah sebenarnya asumsi bahwa manusia hanya akan melakukan sesuatu jika diperintah dan diberi stimulus (regering, tuch, S-R) perlu dikoreksi. Karena dalam ranah afektif dan kognitif, manusia bertindak atau melakukan suatu hal berdasarkan pada pengetahuan dan nilai-nilai atau bahkan ideologi yang ia yakini kebenarannya dan ia anut. Memang benar bahwa manusia bertindak juga berdasarkan stimulus tertentu. Problem sosial tertentu misalnya akan mendorong seseorang untuk melakukan hal tertentu. Namun sekali lagi sikap dan tindakan tersebut tidaklah murni insting dasar, melainkan didasari oleh pertimbangan akal budi.

Dengan demikian, praksis pembelajaran yang menekankan pada hukuman (tucht) atau lengkapnya hadiah dan hukuman, tidak akan banyak mengasah daya nalar kritis dan kreativitas serta inisiatif siswa. Insting insaniah berupa akal budi, daya kritis, kreativitas, dan imajinasi tidak diasah dengan baik. Pada akhirnya anak-anak tersebut di kala dewasa dan tua akan menjadi orang-orang yang tidak punya inisiatif dan kesadaran kritis. Mereka akan menjadi tenaga teknis yang—sebagaimana kata Ki Hadjar di atas—tiada akan dapat bekerja, kalau tiada dipaksa, kalau tidak ada perintah. Mengapa? Karena mereka sudah dibiasakan untuk melakukan sesuatu berdasarkan perintah-perintah tertentu dan juga stimulus langsung. Kembali pada apa yang dikatakan oleh Ki Hadjar, maka gagasan dan praksis pendidikan yang menekankan pada perintah dan hukuman tersebut tidak akan dapat membangun kepribadian/karakter siswa-siswi menjadi pribadi-pribadi yang unggul. Yakni mereka yang punya daya cipta, daya kritis, daya imajinasi, keberanian, kemandirian, kedaulatan, dan kemerdekaan.

Kritik Ki Hadjar Dewantara pada gagasan dan praksis pendidikan yang menekankan pada perintah dan hukuman adalah sama dan sebangun dengan kritiknya pada praksis kolonialisme pemerintah Hindia Belanda di Bumi Nusantara. Anasir kekerasan, paksaan, dan hukuman yang terdapat dalam substansi pendidikan ala Barat—pada waktu itu— dianggap oleh Ki Hadjar tidak ada bedanya dengan praksis kolonialisme yang juga penuh dengna kekerasan, paksaan, dan hukuman. Ketidakmandirian dan ketidakberdaulatan anak- anak terhadap diri mereka sendiri sama dengan ketidakmandirian dan ketidakberdaulatan anak-anak pribumi Nusantara dalam belenggu penjajahan pemerintah Hindia Belanda. [2]
 

Ref :
[1] Salah satu tulisan Ki Hadjar Dewantara dalam buku “Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan” (2004) yang harus dirujuk sebagai pelengkap untuk bahasan pendidikan ala Barat yang menekankan pada perintah dan paksaan adalah sub-bab yang berjudul “Ketertiban, perintah dan paksaan: Faham tua dan faham baru”, hal. 399-403.
[2] Beberapa ulasan mengenai konsep ketertiban dalam Taman Siswa antara lain adalah ulasan Kenji Tsuhicya mengenai konsep Ki Hadjar tentang “Keluarga Suci” (1992), hal. 242-248.



--------------- Edi Subkhan
Dosen di Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang (Unnes), pegiat pedagogi kritis.


Sabtu, 06 September 2014

45 Derajat dalam Kehidupan Manusia

45 Derajat dalam Kehidupan Manusia - Kelihatannya aneh, ini bukan pelajaran matematika, tetapi meminjam istilah matematika. Kenapa aneh ? Pada sudut 45 derajat harga sinus dan cosinusnya sama besar yaitu ½√2. Kita tidak bicara soal matematika, tetapi kita coba hubungkan 45 derajat dengan pelajaran fisika. Ada yang unik kenapa 45 derajat sangat spesial dalam kehidupan ini.

Tuhan Maha Unik, Maha Esa, tak ada satupun makhluknya yang menyamainya. DIA mengajarkan pelajaran kehidupan ini dengan memperlihatkan kejadian kejadian di alam semesta dan kehidupan kita. Mulai dari partikel yang paling kecil dalam bentuk atom atau molekul sampai dengan yang terbesar yaitu planet dan galaksi. Di setiap kejadian alam, Tuhan menyiratkan pelajaran kehidupan yang sangat indah, bagi orang orang yang mau berpikir.

Dan hari ini aku diperlihatkan oleh Tuhan tentang indahnya gerak parabola jika diterapkan dalam kehidupan manusia. Pagi ini hariku benar benar penuh dengan pekerjaan sebagai panitia penerimaan siswa baru di sekolahku. Kebetulan aku ditempatkan di bagian entri data RTO ( Real Time Online ). Tugasku adalah mengisikan nomer pendaftaran ke sistem yang sudah dibuat oleh orang orang pintar dan kreatif, sehingga penerimaan siswa baru menjadi lebih sederhana, lebih fair dan dapat dipantau dari mana saja selama yang bersangkutan bisa mengakses internet. Tugas yang cukup berat karena tidak boleh melakukan kesalahan sewaktu mengetikkan nomer pendaftaran. Tapi buatku ini adalah tempat untuk mencari pahala, karena banyak orang tua calon siswa yang belum paham  dengan sistem ini.

Pernah ada orang tua siswa yang kebingungan, kemudian mendekatiku. Anaknya ada diposisi 242 dari 250  siswa yang akan diterima di sekolahku. Padahal penutupan pendaftaran tinggal 2 jam lagi. Kalau sampai 2 jam namanya keluar dari sisterm tersebut maka pupuslah harapannya untuk mendapatkan sekolah yang bagus. Beliau bertanya kepadaku, sebaiknya pindah sekolah atau tetap bertahan menunggu 2 jam lagi ?. Sebuah pilihan yang sangat sulit. Aku bilang pada beliau, dari pengalaman yang kualami berkali kali,  aku katakan pada beliau, teruslah bertahan dan berdoa semoga Tuhan mengasihi putra ibu. Dan alhamdulillah meskipun di posisi hampir paling bawah, anaknya bisa diterima di sekolahku. Ada kebahagiaan yang sangat dalam melihat ibu dan anaknya tersenyum bahagia.

Selesai melaksanakan tugas hari ini, aku segera bergegas pulang karena rumahku hanya berjarak 50 km dari sekolah. Segera aku ambil tas dan jaketku yang aku titipkan diperpustakaan sekolah. Sebuah tempat dimana aku sering bersembunyi dari hiruk pikuknya ruang guru. Bersembunyi dari tagihan administrasi guru, bersembunyi dari saling menggunjing sesama teman, atau terkadang kepala sekolah. Segera aku beranjak ke tempat parkir mencari sepeda motorku. Aku raba raba kantong jaketku, di situ biasanya bersemayam kunci motorku. Tak jua kujumpai sang kunci. Aku cari lagi di perpustakaan, aula, ruang guru, semuanya nihil. Masih ada satu lagi yang belum aku cari, pos satpam. Lagi lagi sang satpam tidak mengetahui keberadaan  kunci motorku. Melihat diriku yang lalu lalang dari satu ruang ke ruang yang lain, salah satu karyawan perpustakaan bertanya kepadaku. Ada apa pak ? Saya lihat dari tadi mencari sesuatu. Sembari tersenyum aku bilang kunci motorku tidak ketemu dari tadi. Sebentar pak, katanya sambil mengambil kunci motornya. Tunggu saja di sini pak. Aku tunggu lima belas menit, tiba tiba dia sudah sampai dengan membawa seorang tukang kunci. Dari pada kehabisan energi untuk mencari kunci, lebih baik panggil saja tukang kuncinya. Tidak sampai 20 menit, dua kunci sudah siap dipakai. Segera aku ambil uang dan bertanya pada tukang kunci tersebut, berapa yang harus aku bayar. Sudah dibayar oleh teman anda tadi, jawab tukang kunci. Subhanalloh ....
 
 
Inilah 45 derajat, sebuah keunikan dari gerak parabola. Kalau kita kaji lebih dalam ternyata mengandung pelajaran kehidupan yang unik, karena gerak parabola sebenarnya  gabungan dari dua gerak yaitu searah sumbu vertikal adalah gerak lurus berubah beraturan dan searah sumbu horisontal adalah gerak lurus beraturan. Gerak lurus berubah beraturan layaknya hubungan manusia dengan Tuhan, sedangkan gerak lurus beraturan adalah hubungan antara sesama manusia. Jika seseorang memiliki hubungan yang seimbang antara Tuhan dan sesama manusia maka orang tersebut mempunyai sudut 45 derajat. Dan kalau kita lihat pada gambar di atas, jarak tembak paling jauh pada gerak parabola akan terjadi jika sudut tembaknya 45 derajat.
 
Pertanyaannya adalah bagaimana kita bisa mempunyai sudut 45 derajat? Jawabannya ternyata sederhana, ‘ lakukan kebaikan secara maksimal “, maka otomatis kita sudah punya sudut 45 derajat. Sama seperti pegawai perpustakaan tadi. Setelah bersusah payah mencari tukang kunci,  seharusnya tugas dia sudah selesai. Dia sudah melakukan sebuah kebaikan. Tetapi pegawai perpustakaan tadi merasa belum melakukan kebaikan secara maksimal, maka dilakukanlah kebaikan lagi yaitu membayar ongkos pembuatan kuncinya. Dengan sendirinya sekarang orang itu sudah mempunyai sudut tembak 45 derajad. Inilah kebesaran Tuhan. Beliau mengajarkan pelajaran kehidupan lewat fenomena alam yang disebut dengan gerak parabola. Maka sejatinya siapapun yang mau berpikir dan selalu ingin belajar maka ujung dari pengembaraan pikirannya adalah “ Kebesaran Tuhan “. Seseorang yang sudah sampai pada taraf ini akan menjadi pribadi yang rendah hati, santun, senang melihat  kebaikan orang lain, senang berbagi dan pintar melihat sesuatu dengan cara yang berbeda yaitu cara Tuhan.
 
 
*Dipersembahkan untuk sahabatku “ pegawai perpustakaan

 
Oleh:
Namaku Bakti Sukmoko Aji. Anak anak biasa memanggilku Pak Ajik. Lima belas tahun ada di SMA 8 Yogyakarta membuatku banyak belajar. Belajar dari anak anak yang cerdas sangat menambah perbendaharaan dan kosa kata kehidupan, yang kemudian ingin aku bagikan buat orang lain yang mau membuka hati dan rasa.
Judul tulisanku ini ternyata sama dengan umurku sekarang, 45 derajat tahun. Dan uniknya jarak rumahku sampai SMA 8 juga sekitar 45 derajat km. Aku yakin bukan kebetulan, tapi semua sudah diatur oleh Tuhan. Meskipun aku guru fisika, tapi aku berusaha menjadikan fisika tidak menjadi beban buat anak anak. Aku pingin dengan membedah fisika, kami bisa lebih dekat dengan Tuhan dan aku berharap meskipun hanya kecil tapi bisa memberikan bekal buat anak anak agar kelak menjelma menjadi manusia yang baik, seimbang antara logika dan rasa dan selalu mendekat dan melihat kebesaran Tuhan. Amin…

Setelah membaca postingan tentang 45 Derajat dalam Kehidupan Manusia di atas semoga anda menjadi pribadi yang lebih menghargai sesama. Karena Tuhan menciptakan kita dengan segala kelebihan tidak lain adalah untuk saling menyayangi dan mengasihi. Share dan Like untuk semakin menyebarkan manfaat ke sesama makhluk.


Rabu, 25 Juni 2014

Pendidikan Adalah Kebutuhan dan Hak Semua Anak

Pendidikan Adalah Kebutuhan dan Hak Semua Anak - Terkait dengan upaya meningkatkan input pendidikan (sekolah/madrasah) yang diimplementasikan dalam bentuk rekrutmen siswa, subtansinya seharusnya adalah bagaimana upaya kita untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kebutuhan pendidikan (sekolah) bagi putra-putrinya, terutama pendidikan agama sebagai pondasi mental anak-anak di kehidupannya kelak. Bukan lagi hanya sekedar mengarahkan harus ke sekolah/madarasah A atau B, apalagi kalau sampai kemudian membuat propaganda mendikotomikan antara pendidikan agama dan pendidikan umum, yang kemudian berefek saling mendiskriminasikan dengan berujar "jangan masuk ke sekolah/madrasah A, ke madrasah/sekolah ini saja, sekolah/madrasah A jelek, sekolah/madrasah A tidak punya prestasi apa2, dan lain sebagainya.
Pendidikan Adalah Kebutuhan dan Hak Semua Anak

Oleh karena itu, kembali kepada prinsip dasar akan kebutuhan pendidikan buat anak-anak atau masyarakat pada umummnya, berikan kepada mereka (masyarakat) kecerdasan untuk berfikir bagaimana memilih yang terbaik akan pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi anak-anaknya.

Lembaga pendidikan, berupa sekolah/madrasah (SMP/MTs/SMA/SMK) adalah hanya wasilah/wadah/jalan menuju harapan-harapan yang masyakarat inginkan/dambakan. Kalaupun harus memilih lembaga pendidikan mana yang akan dijadikan tempat membina (mendidik) anak-anak kita selain rumah? Tentu pertanyaan berikutnya adalah, kebutuhan pendidikan apa yang harus diberikan kepada anak-anaknya agar kelak kuat mental spiritual dan memiliki pengetahuan dan ketrampilan serta sikap baik/akhlakkul karimah?

Jangan paksakan masayarakat (apalagi kalau sampai diintimidasi) untuk memilih sekolah/madrasah A/B, biarkan kepada mereka untuk menentukan pilihannya akan kebutuhan pendidikan buat anak-anaknya, yg terbaik menurut mereka. Karena itu, ketika kita memaksakan mereka atas kebebasan berfikir untuk menentukan pilihan pendidikan buat anak-anaknya, sama artinya tidak menghargai hak-hak masyarakat atas pilihannya, terlebih mencegah mereka ketika pilihan mereka didasarkan kepada prinsip-prinsip pemenuhan kebutuhan pendidikan agama lebih penting dan mendasar buat anak-anaknya (hingga pilihan mereka kemudian menempatkan anaknya di lembaga pendidikan agama/madrasah).

Intinya sekali lagi, lakukan dan tunjukkan yang terbaik yang ada dan yang kita mampu dalam diri kita, sehingga menjadi sauri tauladan bagi masyarakat untuk bisa menentukan sikapnya masing-masing tanpa ada paksaan dan tekanan.

Akhir dari semua proses ini, adalah tujuan hidup mulia bagi manusia yaitu KESEIMABANGAN HIDUP DI DUNIA DAN AKHIRAT, dan salah satunya bisa dicapai melalui proses pendidikan agama dan umum, imbalan dan balasan kebaikan/keburukan adalah buah dari sebuah pilihan proses yang dijalankan oleh setiap dan masing-masing individu, oleh karena itu celakalah bila kita ikut andil menanamkan keburukan-keburkan atau persefsi buruk di tengah-tengah masyarakat, yang bisa jadi itu berakibat buruk pula kepada kehidupan diri kita sepanjang hidup di dunia bahkan terbawa ke akhirat.

Di penghujung tulisan ini saya juga berhak katakan "MADRASAH LEBIH BAIK-LEBIH BAIK MADRASAH"





------------ WD Gunawan
(Aktivis Pendidikan)

Rabu, 18 Juni 2014

Mengenal Pengertian Multikulturalisme

Mengenal Pengertian Multikulturalisme - Multikulturalisme berasal dari dua kata; multi (banyak/beragam) dan cultural (budaya atau kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman budaya. Budaya yang mesti dipahami, adalah bukan budaya dalam arti sempit, melainkan mesti dipahami sebagai semua dialektika manusia terhadap kehidupannya. Dialektika ini akan melahirkan banyak wajah, seperti sejarah, pemikiran, budaya verbal, bahasa dan lain-lain.

Kesadaran akan adanya keberagaman budaya disebut sebagai kehidupan multikultural. Akan tetapi tentu, tidak cukup hanya sampai disitu. Bahwa suatu kemestian agar setiap kesadaran akan adanya keberagaman, mesti ditingkatkan lagi menjadi apresiasi dan dielaborasi secara positif. pemahaman ini yang disebut sebagai multikulturalisme.
Mengenal Pengertian Multikulturalisme

Mengutip S. Saptaatmaja dari buku Multiculturalisme Educations: A Teacher Guide To Linking Context, Process And Content karya Hilda Hernandes, bahwa multikulturalisme adalah bertujuan untuk kerjasama, kesederajatan dan mengapresiasi dalam dunia yang kian kompleks dan tidak monokultur lagi. Pengertian ini memang sangat relevan dengan keadaan yang multikultur dewasa ini. Pengertian dari Hilda ini mengajak kita untuk lebih arif melihat perbedaan dan usaha untuk bekerjasama secara positif dengan yang berbeda. Disamping untuk terus mewaspadai segala bentuk-bentuk sikap yang bisa mereduksi multikulturalisme itu sendiri.

Lebih jauh, Pasurdi Suparlan memberikan penekanan, bahwa multikulturalisme adalah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individu maupun kebudayaan. Yang menarik disini adalah penggunaan kata ideologi sebagai penggambaran bahwa betapa mendesaknya kehidupan yang menghormati perbedaan, dan memandang setiap keberagaman sebagai suatu kewajaran serta sederajat.

Multikulturalisme’ (multiculturalisme) --meskipun berkaitan dan sering disamakan-- adalah kecenderungan yang berbeda dengan pluralisme. Multikulturalisme adalah sebuah relasi pluralitas yang di dalamnya terdapat problem minoritas (minority groups) vs mayoritas (mayority group), yang di dalamnya ada perjuangan eksistensial bagi pengakuan, persamaan (equality), kesetaraan, dan keadilan (justice).

Multiculturalisme itu mengenai kemajemukan di masyarakat, di utamakan kemajemukan dalam hal suku/ras/kultur/bahasa dll. Memang keterbukaan yang kini telah dinikmati oleh berbagai kalangan dan lapisan tentu positif, apabila dimaknai dengan baik. Akan tetapi bisa berakibat negatif bila dimaknai sebagai serba boleh dan kebebasan yang destruktif. Oleh karenanya, daerah mesti memiliki kearifan untuk memaknai keberagaman ini dengan multikulturalisme. Dimana multikulturalisme dimaknai sebagai representasi antropologis dalam pembentukan bangsa,dikarenakan suatu daerah adalah identitas kebangsaan yang kosmopolit dan plural.

Oleh karenanya, multikulturalisme mesti ditempuh dengan memberikan pendidikan multikulturalisme yang merata ke segala lapisan, baik secara kultural maupun struktural. Pendidikan multikulturalisme ini mesti bisa menyentuh inti dari persoalan multikulturalisme ini. Entah multikultural di bidang agama, budaya, cara pandang, sejarah, dan politik. Selain itu, pendidikan multikulturalisme yang dibangun tidak boleh melupakan aspek konflik, artinya konflik yang telah berlangsung selama 30 tahun harus nenjadi titik tolak membangun kehidupan multikultural. Ini dikarenakan konflik telah banyak meruntuhkan sendi-sendi sosial kemasyarakatan.

Minggu, 15 Juni 2014

Pendidikan sebagai Investasi Masa Depan Anak

Pendidikan sebagai Investasi Masa Depan Anak - Mungkin kita sependapat dengan pernyataan sekolah merupakan investasi yang baik untuk masa depan anak. Anehnya, pernyataan ini menjadi senjata yang digunakan oleh orang tua dalam menentukan pilihan sekolah anak. Sehingga terjadi pemaksaan sepihak yang dilakukan oleh para orang tua. Anak dianggap tidak memahami apapun. Padahal, anaklah yang akan menjalani proses belajar, anaklah yang akan mendapat transfer nilai-nilai dan ilmu bukan para orang tua. Oleh karena itu, selayaknya para orang tua mempertimbangkan kemampuan anak, sekaligus memotret bakat dan minatnya. Mengetahui prestasi apa saja yang telah dicapai oleh sekolah dan kegiatan-kegiatan yang disajikan sekolah sebagai media pengembangan bagi anak. Di samping itu, penting juga bagi para orang tua mencari tahu potret rekam jejak para pendidik, kualifikasi pendidikan serta kualitas atau karakter pendidik di sekolah tersebut. 

Pendidikan sebagai Investasi Masa Depan Anak

Hal ini erat hubungannya dengan makna sekolah menurut Psikolog anak Niken Iriani LNH merupakan wadah bagi anak guna mendapatkan berbagai ilmu pengetahuan untuk menjadi pribadi yang memiliki kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Anak-anak di usia perkembangan memiliki perilaku yang cenderung meniru apa yang dilihatnya, meniru perilaku orang-orang yang ada di sekitarnya. Bahkan dipercaya atau tidak, pembawaan pola mengajar seorang pendidik akan menjadi sebuah penilaian (judgement) bahwa pelajaran ini menyenangkan atau pelajaran itu tidak menyenangkan. Maka dalam sekolah dibutuhkan model ketauladanan sebagai potret kehidupan bagi peserta didik. 

Perlu dipahami bersama, di sekolah anak-anak tidak hanya menjalani proses belajar ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) semata. Namun ada proses pembelajaran etika (transfer of value), emosional, dan spiritual yang menjadi bekal kehidupan peserta didik di dunia dan di akhiratnya kelak. Ketauladanan para pendidik menjadi sarana pembelajaran tersendiri bagi peserta didik dalam beraktivitas keseharian di sekolah maupun di rumah. Tergesernya nilai-nilai budaya sopan santun tidak bisa lepas dari peran pendidik bersama peserta didik dalam proses pembelajaran di sekolah. 

Menurut Niken Iriani terdapat beberapa factor sekolah yang menentukan keberhasilan proses pendidikan, di antaranya adalah kondisi sekolah, yang meliputi kualitas pendidiknya, fasilitas yang diberikan maupun kurikulum yang diterapkan, factor kualitas calon peserta didik dan juga factor para orang tua. Hal ini bisa dijadikan pertimbangan bagi orang tua dalam melihat sekolah sebagai tempat mengembangkan potensi anak menjadi pribadi yang kokoh, terdidik, terampil, cekatan, sopan santun, dan beragama. 

Demikian sedikit uraian tentang pendidikan investasi masa depan. Semoga bisa bermanfaat untuk kita semua.


Sabtu, 14 Juni 2014

Menengok Pendidikan Kita

Menengok Pendidikan Kita - Saudara-saudaraku di berbagai elemen. Mari kita tengok sejenak bagaimana pendidikan kita dewasa ini. Kita ketahui bersama bahwa reformasi membawa perubahan di segala bidang, salah satunya adalah otonomi daerah. Penerapan otonomi daerah dengan dasar desentralisasi ini didasari oleh keinginan menciptakan demokrasi, pemerataan, dan efisiensi. Desentralisasi berimplikasi kebijakan public harus berasala dari masyarakat bawah ke atas, atau dari masyarakat ke pemerintah. Akan tetapi, dalam bidang pendidikan hal tersebut sepertinya belum berjalan sesuai dengan harapan. Kebijakan-kebiajakan yang ada pada saat ini terkesan berasal dan disusun langsung oleh pemerintah tanpa memperhatikan partisipasi dari masyarakat. Pendidikan yang seharusnya berpusat di masyarakat, untuk saat ini pendidikan masih dipegang secara penuh oleh pihak Dinas Pendidikan atau pemerintah.
Menengok Pendidikan Kita
Padahal, pendidikan yang dijadikan isu politik membutuhkan pranata social dan masyarakat yang memiliki partisipasi aktif dengan kemampuan untuk menyampaikan aspirasi. Kondisi yang semacam itu merupakan unsure penting dalam mendukung terwujudnya segala bentuk kebijakan dalam bidang pendidikan yang adil dan demokratis. Keterbukaan dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam bidang pendidikan harus dimanfaatkan dengan baik yakni dengan cara setiap mengambil kebijakan pemerintah harus menerapkan system “bottom up”, yakni kebijakan yang berasal dari kondisi masyarakat. 

Pelaksanaan serta evaluasi kebijakan pendidikan menuntut peran aktif dari para pendidik professional karena dari merekalah dapat disusun hasil-hasil kebijakan yang akan diriset serta mendeseminasikan kebijakan pendidikan yang ternyata didukung oleh fakta-fakta positif. Kegiatan para pendidik dalam mengikuti setiap langkah dari siklus penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan merupakan portofolio dari keprofesionalan pendidik. Dewasa ini menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2004 tentang guru dan dosen menuntut terbinanya guru professional yang ditentukan bukan semata-mata oleh ijazah formal, tetapi terutama oleh partisipasinya dalam proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan. 

Melihat temuan di atas kita bisa menganalisa bahwasanya dalam menentukan kebijakan pendidikan para guru dan birokrasi pendidikan dituntut professional dan juga selalu berperan aktif dalam mengikuti siklus-siklus kebijakan maupun evaluasi kebijakan pendidikan. Karena dari mereka semua kebijakan pendidikan dapat dihasilkan. Maka secara otomatis mereka harus selalu berperan aktif dan professional dalam mengeluarkan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. 

Partisipasi aktif dari para pendidik dalam pembinaan keprofesionalannya telah mulai dicoba di Negara-negara maju seperti Inggris dan Amerika. Sekolah-sekolah yang mengambil peranan aktif dalam pembinaan profesionalisme tersebut bergabung dengan Profesional Depelopment School (PDS). PDS ternyata bukan hanya menjadi pendorong pembinaan pendidik professional tetapi juga akan meningkatkan kualitas proses pendidikan serta partisipasi masyarakat. Dalam pendidikan seperti dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan PDS menunjukkan pada kita arti yang sebenarnya dari lembaga pendidikan atau sekolah yang otonom. 

Coba kita refleksi secara bersama-sama dari analisa di atas. Berbeda dengan kondisi penentuan kebijakan pendidikan yang ada di Negara kita tercinta yakni Indonesia. Belum adanya partisipasi aktif dari para pendidik dan birokrasi pendidikan untuk melihat kondisi masyarakat dalam menentukan sebuah kebijakan. Memang kalau kita lihat di Negara kita birokrasi pendidikan belum berani menerapkan hal semacam ini secara besar-besaran dan bersama-sama di seluruh penjuru negeri. Berbicara masalah kondisi masyarakat tentunya pasti berbeda dengan Negara-negara tersebut. akan tetapi, demi memajukan pendidikan Indonesia maka birokrasi pendidikan dalam menentukan kebijakan harus berani mencoba menerapkan system “bottom up” secara transparan kepada seluruh masyarakat. 

Karena kita tahu bahwasanya Negara kita ini memiliki beragam suku, budaya, adat, dan kebiasaan beragama. Ketika semuanya diberikan kebijakan yang sama dapat dimungkinkan pendidikan tidak akan bisa dirasakan manfaatnya oleh semua kelompok yang ada di Indonesia ini. Maka demi memajukan hal itu minimal pemerintah harus mengikutsertakan peran setiap kelompok-kelompok tersebut untuk memutuskan suatu kebijakan pendidikan. 

Kebijakan yang benar yaitu bilamana kebijakan tersebut telah diuji kebenarannya di lapangan. Kebijakan pendidikan dengan demikian akan tumbuh dari bawah meskipun kemungkinan kebijakan tersebut dirumuskan dan diinstruksikan dari atas. Dalam hal ini diperlukan kemampuan dari lembaga-lembaga pendidikan yang otonom untuk memvalidasi kebijakan-kebijakan pendidikan yang diinstruksikan dari pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah. Jika kebijakan-kebijakan pendidikan berdasarkan instruksi dari atas saja tidak mempunyai akar di lapangan maka akan sukar untuk ditentukan keberhasilannya. 

Memang benar pendidikan haruslah bersumber dari fakta dan informasi temuan dari masyarakat, ketika seluruh birokrasi pendidikan bisa menerapkan hal semacam itu dalam menentukan kebijakan maka besar kemungkinan pendidikan yang ada di negeri kita ini bisa dirasakan manfaatnya oleh seluruh elemen masyarakat. Tetapi sayangnya, birokrasi pendidikan yang ada di negeri kita belum menerapkan hal tersebut. Dalam penerapan kurikulum pun juga sama seperti itu, memang dari pemerintah memiliki maksud yang baik, tapi coba kita lihat dampak dari semua itu, di Negara kita sering ganti-ganti kurikulum. Akhirnya pemerintah kebingungan untuk menemukan model pendidikan yang ada di negera kita. Disadari atau tidak bahwasanya pendidikan yang terbaik adalah pendidikan berasal dari kondisi masyarakat yang ada. 





--------- Pak Takmuri
(Kepala Sekolah Dasar Negeri Sisalam 02)

Jumat, 13 Juni 2014

Membangun Information Technology (IT) Pesantren

Membangun Information Technology (IT) Pesantren - Peran penting pesantren sebagai basis pendidikan dan dakwah sangat memerlukan piranti pendukung untuk mengaktualisasikan peranannya di tengah-tengah peradaban modern. Salah satu hal utamanya adalah mengembangkan pemanfaatan teknologi informasi di pesantren. Mengapa demikian? Sebab pada dasarnya, pendidikan maupun dakwah merupakan bentuk kegiatan komunikasi, baik berupa komunikasi personal, kelompok, ataupun masa. Sementara komunikasi yang baik tentu saja membutuhkan adanya sumber informasi yang baik pula; begitupun komunikator yang handal, pesan (message) yang sesuai, dan saluran atau medium yang tepat. Sehingga pada akhirnya, aktivitas pendidikan dan dakwah yang dilakukan pesantren dengan menggunakan teknologi informasi diharapkan akan menghasilkan efek positif bagi masyarakat luas.
Membangun Information Technology (IT) Pesantren
Sekarang ini teknologi informasi memegang peranan penting dalam kemajuan peradaban manusia. Karena itulah semestinya pesantren bukan hanya membahas permasalahan agama saja, melainkan juga menjadikan teknologi informasi sebagai pendukung sarana untuk pendidikan dan dakwah secara mengglobal dengan menembus batas-batas geografis. Hal ini penting untuk dimengerti mengingat system informasi konvensional tidak dapat mendukung penyebaran informasi secara meluas. Sementara dunia dewasa ini telah menerapkan system informasi berbasis computer yang membuat segalanya menjadi mudah untuk tersentuh oleh siapapun dan dimanapun. Maka dari itu, pesantren memang sudah seharusnya melengkapi kebutuhan teknologi yang sudah menjadi tuntutan zaman.

Berbicara tentang teknologi dan penyebaran informasi tidak akan lepas dari apa yang disebut dengan “internet”. Internet merupakan wadah yang banyak digunakan untuk penyebaran informasi, karena internet tidak mengenal akan batasan ruang dan waktu. Dunia Islam saat ini sudah tidak asing lagi dengan internet. Sudah banyak lembaga pendidikan atau organisasi yang bernuansa Islam yang memiliki “website” tersendiri. Kita sebut saja salah satunya adalah Pesantren Darut Tauhid yang dipimpin oleh seorang da’I ternama yaitu Abdullah Gymnastiar atau yang lebih dikenal dengan sapaan “Aa Gym”. Pesantren ini telah mensosialisasikan dakwahnya melalui web yang dikemas secara interaktif; dan tidak hanya itu saja beliau juga menggunakan teknologi seluler untuk memperluas dan mempermudah jalur dakwah yaitu dengan mengirimkan sms maka anda dapat menerima tausiah ataupun nasihat dari tim Manajemen Qalbu. Ini merupakan suatu terobosan baru bagi dunia dakwah khususnya di Indonesia. Di samping itu juga ada “pesantren.net” dimana dapat diketahui pesantren-pesantren di Indonesia dan isu-isu teraktual dari dunia yang bersangkutan dengan isu-isu ke-Islam-an. Sesungguhnya dunia internet telah tidak asing lagi bagi sebagian kalangan pesantren. Hanya saja masalahnya, butuh waktu berapa tahun lagi agar dunia pesantren bebas dari “buta” teknologi informasi?

Dengan pemaparan yang singkat ini, ada satu hal yang penting untuk digaris bawahi atas dasar konteks seorang muslim, bahwa penting adanya lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti pesantren dan keberadaan ustadz atau guru yang menguasai informasi sebagai bagian dari sarana untuk menunjang pendidikan pada era informasi ini. Semoga bisa bermanfaat dan membuka wawasan kita.



Kamis, 12 Juni 2014

Merenungi Makna Sebuah Ujian dalam Pendidikan

Merenungi Makna Sebuah Ujian dalam Pendidikan - Berlalu sudah ujian nasional untuk SMP/sederajat dan SMA/sederajat yang berlangsung pada bulan April lalu, serta ujian sekolah bagi SD/sederajat pada bulan lalu. Setelah seorang siswa menempuh waktu yang tidak sekejap mata, yakni tiga tahun bagi SMA dan SMP serta enam tahun untuk SD, selama itu pula telah banyak hal yang dikorbankan, baik waktu, pikiran, tenaga dan biaya. Namun tentunya bagi pelajar, waktu yang telah dilalui itu tidak ingin berlalu bagitu saja, tanpa meninggalkan sesuatu yang berharga, serta membawa sesuatu hal yang bermakna, yang dapat dijadikan bekal untuk mengarungi kehidupannya di kemudian hari.

Merenungi Makna Sebuah Ujian dalam PendidikanSedikit kembali ke belakang, ketika orang tua siswa mendaftarkannya sekolah, mereka mempunyai harapa yang besar terhadap putra-putrinya. Sebagian besar mereka mempunyai keinginan, agar suatu saat nanti anaknya menjadi seorang yang ahli kebaikan, ahli agama, guru, pengusaha, dokter, perawat, insinyur, ahli pertanian, ahli perekonomian, pilot, tentara, bahkan presiden, dan lain sebagainya. Nampaknya, para orang tua sangat berharap kepada anak-anaknya agar bisa menjadi penerus orang tua, agar kehidupan ini terus berlangsung, agar roda bumi ini tetap berputar, agar peradaban dunia semakin baik, berkembang dan maju. Cita-cita yang normative dan tidak kecil itu, tentu untuk mewujudkannya tidaklah semudah membalikan telapak tangan, harus ada usaha yang benar-benar serius dan nyata.

Dalam sejarah telah tercatat, betapa gigihnya para pencari ilmu zaman dahulu. Ketika kita membaca sejenak sejarah Imam Syafi’i misalnya, pada saat beliau lahir dalam keadaan sudah bisa membaca al-Qur’an, bahkan ketika beliau masih sangat muda belia, sudah mampu menghafal al-Qur’an, dan ketika beliau pertama kali berguru kepada Imam Malik bin Anas, beliau berusaha keras untuk menghafalkannya Kitab Hadits al-Muwatho. Sungguh luar biasa kegigihan beliau. Pantaslah nama beliau tetap abadi sepanjang masa. Dan tentunya, untuk mendapatkannya tidaklah mungkin jika hanya dilakukan secara instan dan biasa-biasa saja, tanpa semangat, keuletan, kerja keras, dan kerja cerdas.

Ini adalah salah satu contoh,bahwa pencari ilmu/generasi bangsa yang baik tidak pernah menyia-nyiakan waktu mudanya untuk sekedar berfoya-foya, berleha-leha, melakukan perbuatan tercela yang dapat menimbulkan kenikmatan sesaat dan lain-lain. Al-Imam al-Hakim memberikan gambaran tentang orang yang menempuh jalan untuk mencari ilmu. Dalam ma’rifah Ulumul Hadits, dikatakan bahwa gambaran para pencari ilmu adalah:

mereka lebih memilih untuk menempuh padang gurun dan tanah kosong dari pada bersenang-senang di tempat tinggal dan negeri mereka. Mereka merasakan kenikmatan dalam kesengsaraan di dalam perjalanan bersama dengan ahli ilmu dan riwayat. Mereka jadikan masjid-masjid sebagai rumah mereka. Mereka jadikan menulis sebagai makanan kesehariannya. Mencocokkan tulisan sebagai percakapan di waktu malam. Mengulang pelajaran sebagai istirahat mereka. Tinta sebagai parfum mereka. Begadang sebagai tidur mereka. Dan kerikil sebagai bantal mereka”.

Subhanallah, itulah semangat para pencari ilmu pada zamannya. Pertanyaannya, apakah di zaman sekarang masih ada pemuda pemudi yang mempunyai spirit sama seperti para ahli ilmu pengetahuan zaman dahulu? Semoga.

Sebagai pendidik juga mesti waspada terhadap segala bentuk kemajuan zaman, baik dari sisi teknologi informasi atau berbagai kemajuan yang lain. Jika dunia ini sudah dipenuhi dengan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, ia tidak boleh lengah, ketinggalan untuk mengikutinya. Karena posisinya sebagai pendidik harus lebih paham situasi zamannya dari yang dididik. Jika pendidik ketinggalan dalam berbagai ilmu pengetahuan, khususnya teknologi dan informasi, dikhawatirkan anak didik tidak lagi terkontrol. Sehingga mereka bebas berbuat sekehendak hati tanpa batas dan tanpa control. Ia beribadah, tapi ia bermaksiat. Ia di rumah patuh terhadap orang tua, tapi di luar ia melanggar berbagai peraturan yang ada, baik peraturan dari Tuhannya maupun peraturan yang ada dalam masyarakat suatu bangsa.

Kebiasaan mencoret-coret baju setelah lulus ujian, satu sisi dipahami sebagai bentuk luapan kepuasan hati karena sudah berhasil lulus dalam level tertentu. Tapi di satu sisi, ini adalah bentuk kesombongan terhadap waktu, seakan-akan ia merasa bisa segalanya. Ia tidak ingat hakikat mencari ilmu dan dilaksanakannya ujian. Pertanyaannya, kemampuan apa sih yang ia miliki, sehingga lupa segalanya? Berapa buku yang sudah ia baca, pahami, hafalkan dan amalkan isinya? Dengan model US/UN zaman sekarang yang hanya menggunakan pilihan ganda sebagai ukuran untuk menguji kemampuan siswa, apa sudah dianggap cukup mewakili sebuah kompetensi memperoleh ilmu pengetahuan?ataukah siswa bangga, karena ini merupakan syarat memperoleh ijazah agar dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi? Haruskah semuanya mau berpikir termasuk siswa yang dikatakan “lulus”.

Dengan merenungi makna ujian, semua pihak diharapkan bisa introspeksi, harus benar-benar dapat membedakan nama bersyukur dan mana kufur. Jangan-jangan apa yang dilakukan sebagai sebuah tradisi lulus ujian dengan mencoret-coret baju dan lain-lain, justru sebagai bentuk pengkufuran terhadap nikmat Tuhannya. Padahal ancaman besar telah diisyaratkan, akan timpakan kepada para pelaku kufur, jauh lebih besar dari apa yang dirasakan selama ini. Tapi jika semua pihak mampu bersyukur insyaAllah nikmat-Nya sangat besar, indah dan menyenangkan. Semoga kita termasuk ke dalam orang-orang yang pandai bersyukur.





----------- Fakhruroji, S.Pd.I
(Guru SD Negeri Procot 01)

Menyoal Guru Masa Kini

Menyoal Guru Masa Kini - Guru adalah sosok pahlawan yang menyandang status sebagai pewaris para nabi. Dulu, di Indonesia kerap kali kita mendengar bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Sebab, guru pada waktu dulu kehidupannya sangat pas-pasan. Bahkan, untuk makan sehari-hari saja, gaji guru pada waktu itu kurang memenuhi standar kehidupan dikarenakan sangat kecilnya gaji atau “tanda jasa” guru. Guru jugalah yang mengenalkan kita dengan huruf dan angka melalui pendidikan formal (baca juga postingan: Harapan Besar Bangsa Terhadap Guru). Dengan sabar dan ikhlas, seorang guru memberikan pengajaran kepada murid-muridnya agar kelak bisa menjadi orang yang pandai dan bisa menjadi generasi yang bisa merubah bangsa menjadi lebih baik. Jika, seorang guru mendidik muridnya dengan baik dan benar, serta dengan dilandasi keikhlasan hati, maka ia akan mengantarkan seorang murid menjadi baik dan benar juga. Seorang guru dikatakan berhasil, jika murid-muridnya mampu mengimplementasikan ilmunya dalam kehidupan nyata. Namun, menjadi seorang guru bukanlah pekerjaan yang mudah. Karena ia adalah “uswatun hasanah” bagi murid-muridnya. Artinya, seorang guru harus mampu menjadi panutan bagi peserta didiknya.
Menyoal Guru Masa Kini
Seorang guru akan menyandang status terhormat, yaitu sebagai pahlawan jika ia berhasil menjalankan aktivitas mengajar dengan baik dan benar. Para guru juga akan menyandang status sebagai pewaris para nabi dan filsuf. Oleh karena itu, seorang guru juga harus bisa menjadi “nabi” dan “filsuf” yang selalu siap berjuang untuk kemajuan bangsa dan umatnya. Jika tugas itu bisa dijalankan dengan baik, maka besar kemungkinan Indonesia akan keluar dari keterpurukan bidang pendidikan. Indikator maju atau tidaknya suatu bangsa salah satunya karena pendidikan yang maju.

Sikap kepahlawanan, kenabian, filsuf seorang guru ditunjukan tidak hanya harus memenuhi kapasitas keilmuannya saja, tetapi juga dalam tindakan nyata. Sebab, seperti pepatah arab mengatakan “ilmu tanpa diamalkan bagaikan pohon yang tidak berbuah”. Itu artinya, jika ilmu pengetahuan tidak diimplementasikan maka sama saja tidak ada gunanya. Ilmu pengetahuan itu bisa menjadi perusak dunia, jika yang mempunyai memiliki orientasi negatif. Dalam konteks ini, semua itu tergantung yang memilikinya. Oleh karena itu, guru harus mendorong murid-muridnya untuk melakukan tindakan nyata ke arah positif. Tindakan itu harus didasarkan kepada norma-norma yang ada. Dalam UU RI No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, dijelaskan bahwa guru mempunyai tugas mendidik, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Itu artinya, tidak mudah memang untuk menjadi seorang guru, yang menyandang status pahlawan.

Kini, spirit kepahlawanan, kenabian, kefilsufan guru terlihat sudah mulai pudar. Seorang guru hanya berorientasi pada material saja, tanpa memikirkan tugasnya yang begitu mulia. Bahkan, ironisnya banyak guru yang tidak mengetahui bahwa dirinya adalah pewaris para nabi, titisan filsuf, dan sosok pahlawan. Banyak paradigma guru yang menganggap guru hanya sebagai profesi. Dengan paradigma yang melenceng ini, mengakibatkan guru tidak lagi total dalam menjalankan tugasnya. Sehingga guru tidak lagi memikirkan murid-muridnya yang notabene sebagai generasi penerus bangsa.

Maka dari itu, tidak mengherankan jika banyak murid-murid yang berperilaku menyimpang dari jati diri bangsa ini. Memang tidak mudah menjalankan peran sebagai pahlawan itu. Banyak dari mereka terbelah konsentrasinya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Wajar saja, jika guru juga menginginkan hidup layak sesuai standar manusia kebanyakan. Tarikan pemenuhan kebutuhan inilah yang menyebabkan guru saat ini menomorduakan tugasnya.

Sistem sertifikasi yang dikeluarkan oleh pemerintah diharapkan mampu mengantisipasi masalah ini. Sertifikasi bertujuan untuk meningkatkan kualitas mereka dan meningkatkan kesejahteraan hidup. Dengan sertifikasi itu, mereka bisa memenuhi kebutuhan mereka. Sehingga bisa focus untuk mengajar anak didiknya dan bisa professional dalam mengajar. Kini, setelah sertifikasi status guru menjadi naik, bahkan seorang dokter bisa saja kalah secara material. Sayangnya, usaha pemerintah ini tidak dibalas dengan baik. Justru mereka meningkatkan gaya hidup, bukan kualitas. Paradiga hedonistis dan materialistis yang telah menjangkiti hampir sebagian besar guru menjadi penyebab hal itu. Orientasi utama kebanyakan guru saat ini hanya pada profesi, sehingga hanya untuk memperoleh materi saja. Padahal, peran guru tidak bisa diukur dengan materi. Guru lebih tinggi derajatnya daripada hanya sekedar diukur dengan materi.

Paradigma yang salah inilah yang mengakibatkan pendidikan Indonesia tidak kunjung membaik. Padahal, perbaikan hanya akan berhasil jika didasari dengan keikhlasan hati nurani. Jika ajaran seseorang tidak didasari dengan keikhlasan, maka mustahil perbaikan akan bisa dicapai. Oleh sebab itu, perlu adanya reorientasi penenaman paradigma, bahwa menjadi guru itu merupakan aktivitas yang sangat mulia. Apabila niat mereka benar maka aka dengan sendirinya materi akan mengikutinya. Aktivitas mendidik seorang guru haruslah dilakukan atas dasar panggilan hati, bukan karena keterpaksaan.

Selain itu perlu penataan kembali mekanisme perekrutan guru. Tujuannya agar bisa mendapatkan sosok guru yang benar-benar memiliki kesadaran sebagai pewaris para nabi dan filsuf. Guru yang sudah memiliki paradigma yang benar seperti di atas, maka pendidikan di Indonesia akan membaik. Oleh karena itu, dibutuhkan kerjasama semua lapisan untuk menciptakan pendidikan berkualitas. Sinergi pemerintah dan masyarakat dalam hal ini sangat diperlukan, agar tidak ada kejomplangan peran.





-------- Mokhamad Abdul Aziz
(Pengajar di Monash Institute Semarang)


Rabu, 11 Juni 2014

Pelebaran Jaringan dan Keterbukaan Pesantren

Pelebaran Jaringan dan Keterbukaan Pesantren - Untuk mengejar ketertinggalan masyarakat pesantren dari dunia luar, berbagai macam hal yang berhubungan dengan metode dan pencapaian sumber daya telah diungkap pada postingan tentang penguatan pendidikan keterampilan di pesantren. Namun demikian, apa yang telah diungkap tersebut, baru sekedar memperbesar potensi pada diri seorang santri. Jika pada gagasan-gagasan itu mampu dicapai, maka yang dibutuhkan selanjutnya adalah memberikaan ruang untuk mengaplikasikan potensi-potensi tersebut. Sekedar analogi, seorang yang mahir melukis, adalah orang yang memiliki potensi untuk menjadi seorang pelukis kondang. Namun, jika orang tersebut tidak pernah menciptakan lukisan, maka apa yang dimilikinya tidaklah berarti apa-apa. Apa yang disajikan semua ini, adalah potensi-potensi yang hendak digali. Di mana keberhasilannya diukur dengan, misalnya cara berpikir ilmiah, tercapainya wawasan luas, berpikiran inklusif, hilangnya pikiran picik dan kolot yang selalu menganggap dirinya dan madzhabnya yang paling benar, kemahiran menerjemah, kemahiran bercocok tanam, dst.

Tapi semua itu, masih memerlukan ruang aplikasi. Dengan demikian, tahap selanjutnya bagi pesantren adalah membukanya ruang-ruang untuk mengaplikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga lain. Nah, perlunya lembaga pesantren sering berinteraksi dengan lembaga-lembaga lain inilah yang berfungsi untuk networking; dengan demikian akan semakin menguntungkan baik pesantren maupun masyarakat.

Sekedar memberikan contoh, program pemberian keterampilan bercocok tanam dalam dunia pesantren. Sebagaimana yang telah diungkap pada postingan yang lalu (baca postingan: Penguatan Pendidikan Keterampilan di Pesantren), tentunya akan lebih tertunjang ketika pondok memiliki hubungan dengan lembaga-lembaga yang berkenaan dengan masalah tersebut. Paling tidak, untuk tenaga ahli pihak pondok akan lebih mudah mendatangkan dari lembaga-lembaga tersebut. Sebagaimana yang telah diimplementasikan oleh oleh Pondok Darul Falah Bogor.

Sebagai sebuah pondok yang mengajarkan keterampilan bercocok tanam, maka pihak pesantren mengadakan kerjasama dengan lembaga IPB. Dengan demikian, pihak pondok lebih mudah untuk mengambil tim ahli dalam bidang tersebut, guna memberikan pengajaran dengan bantuan para ahli IPB. Tak hanya itu, kerjasama sebenarnya bisa ditingkatkan dengan melakukan praktek lapangan yang bisa dibantu oleh lembaga-lembaga di luar lainnya. Bahkan, sangat tidak menutup kemungkinan kalau pihak pondok menjalin hubungan dengan pemilik tanah, penyedia benih, sampai pada tempat pendistribusian hasil pertanian. Karena dengan demikian seorang santri biasa diajar praktek secara berhadapan dengan dunia nyata. Yang kelak akan sangat berguna untuk kebutuhan menghadapi hidup kelak.

Begitu pula dalam upaya pembelajaran jurnalistik, pondok pesantren bisa menjalin hubungan dengan lembaga penulisan atau LSM untuk membantu memberikan pengajaran kepada santri dalam dunia tulis menulis. Bahkan juga tidak menutup kemungkinan bekerja sama dengan jurnal-jurnal, sampai penerbitan yang memungkinkan untuk dipublikasikannya karya santri tersebut. 0Untuk mengadakan kegiatan keilmiahan sebuah pondok pesantren bisa saja bekerja sama dengan perguruan tinggi serta mengundang para pemikir islam Indonesia untuk merangsang minat kajian ke-Islaman berwawasan ilmiah. Begitu juga untuk meningkatkan mutu pendidikan sebuah pesantren, bisa bekerja sama dengan lembaga-lembaga penulisan, begitu seterusnya.

Pada akhirnya, jalinan hubungan yang baik dengan lembaga-lembaga tersebut juga memungkinkan untuk mempermudah ladang kerja bagi para alumni pesantren. Sebut saja misalnya ada seorang santri yang mahir dalam penerjemahan bahasa arab, dengan terjalinnya hubungan kerjasama pihak pesantren dengan beberapa lembaga penerbitan, sangat meungkinkan bagi para alumninya untuk dipekerjakan di lembaga tersebut. Ada dua kerjasama yang saling menguntungkan, di satu sisi, pihak pesantren bisa membuka banyak lapangan kerja untuk para alumninya. Dan di sisi yang lain, pihak lembaga lebih dimudahkan untuk mencari tenaga kerja yang berkualitas di bidangnya.

Sekedar informasi, sebagaimana yang dilaporkan oleh Mastuhu, kira-kira pada taun 1973 berbagai macam keterampilan telah diperkenalkan di pondok-pondok pesantren, keterampilan seperti pertukangan, menjahit, perbengkelan, peternakan, pertanian, dan sebagainya. Begitu juga, banyak sekali lembaga-lembaga yang ikut aktif ambil bagian dalam rangka menyukseskan program-program tersebut. Dan banyak juga pondok-pondok pesantren yang mengirimkan santri-santrinya ikut serta dalam training-training oleh lembaga-lembaga semacam LP3ES, LSP, ITB, bahkan sampai saat ini banyak juga lembaga yang secara khusus menangani peningkatan mutu pendidikan pesantren semacam P2MP dan P3M. 

Maka demikianlah kiranya apa yang telah dilakukan oleh beberapa pondok tersebut bisa dijadikan contoh pondok-pondok lainnya. Dengan demikian, harapan besar munculnya generasi science yang berhati Makkah bukan lagi menjadi impian belaka.