Potret Pendidikan: Mendidik Pendidik yang Terdidik - Dipercaya, pendidikan sebagai lembaga yang berkompeten dalam mencetak generasi handal. Seperti Doktor, Magister Agama, Sarjana Pendidikan dan masih banyak lagi lainnya. Namun, tak disangka bahwa, lembaga pendidikan juga ternyata mengandung unsur ketidak selarasan dalam bidang pendidikan maupun kelembagaannya. Oleh sebab itu, timbulah berbagai tudingan yang bersifat pro maupun kontra dalam menyikapi makna pendidikan.
Keganasan kekuasaan yang melingkupi dunia pendidikan mengakibatkan terpuruknya harkat serta martabat sistem kelembagaan pendidikan, khususnya di Indonesia. Problematika carut marutnya pendidikan negera ini, tak lain hanyalah disebabkan oleh faktor kekuasaan belaka. Mulai dari perebutan kekuasaan hingga memanfaatkan kekuasaan. Imam al-Ghazali menuturkan bahwa:
"Tujuan manusia adalah mencapai kebahagiaan dengan mendekatkan diri kepada Tuhan".
Dengan kata lain, berbagai macam tujuan manusia untuk mendapatkan kekayaan, kekuasaan sosial, ilmu pengetahuan hanyalah sebuah ilusi jika semua itu hanya berhubungan dan ditujukan untuk pencapaian dunia fana.
Dalam konteks di atas, jika dipahami lebih mendalam, suatu tonggak kekuasaan tak akan ada manfaatnya jika hal tersebut hanya berorientasi kepada dunia (materialistik). Namun, jika hal itu ditujukan hanya untuk mendapatkan ridha dari Tuhan, maka guna kekuasaan tersebut pasti akan sangat bermanfaat terhadap khalayak umum, khususnya dunia.
Dewasa ini, Negara Indonesia mulai mengalami sindrom perebutan hingga pemanfaatan kekuasaan. Hal ini tak hanya terjadi dalam percaturan dunia perpolitikan, akan tetapi hampir dari berbagai penjuru yang notabene mengandung unsur materialistik pun ikut terjangkiti. Hal ini dibuktikan dengan adanya kasus yang terjadi pada salah satu dari “beribu” kasus yang berhasil terkuak dalam media, yaitu pemungutan liar (pungli). Dan bisa disimpulkan, kekuasaan yang berhasil diraih dalam bidang pendidikan, misalnya, predikat guru, kepala sekolah, dosen, rektor, sampai guru besar, kebanyakan hanya digunakan sebagai alat untuk memperkaya diri. Padahal yang diharapkan dalam dunia pendidikan tak seperti demikian. Memang sangat ironis, hakikat lembaga pendidikan (baca juga postingan: Sejarah Pendidikan 2: Hakikat Pendidikan) yang bertujuan untuk mencetak generasi yang unggul dalam bidang akademik maupun non akademik tercacati hanya gara-gara kebringasan penguasa saja.
Dalam pepatah Jawa, guru diibaratkan sebagai imam atau yang sering disebut “GURU, digugu lan ditiru” (baca juga postingan: Gugatan Arti Keteladan Seorang Guru). Eksistensi guru sangat berpengaruh dalam dunia belajar mengajar. Urgensi dan peran guru juga tak akan bisa luput dari peserta didik. Dengan kata lain, semua tindak tanduk yang dicontohkan oleh seorang guru akan berefek pada peserta didik. Adapun contoh baik akan melahirkan tata nilai yang baik dan contoh yang buruk akan melahirkan tata nilai yang buruk. Sangat disayangkan, bila dengan adanya pelbagai kasus yang menimpa seorang pengajar mengakibatkan dunia pendidikan di Indonesia mengalami kemunduran yang signifikan. Dan hal ini pun tak sepatutnya terjadi di Negara yang notabene penduduknya terbanyak.
Menurut data dari Arah dan Kebijakan Dirjen Pendidikan Nasional Tahun 2012 menunjukkan bahwa setiap tahunnya, sekitar 4,8 juta anak Indonesia yang belajar di Sekolah Dasar (SD), jumlah pelajar ini menurun seiring meningkatnya masa belajar, hanya 3,8 juta anak yang belajar di Sekolah Menengah Pertama (SMP). 0Sementara jumlah anak yang belajar di Sekolah Menengah Atas (SMA) turun lagi menjadi 2,6 juta anak setiap tahunnya. Hampir setengah dari anak Indonesia yang bersemangat untuk datang ke sekolah saat usianya masih 6 tahun tidak bisa menyelesaikan pendidikannya hingga tuntas. Jumlah yang drop out sekolah itu 2,2 juta setiap tahunnya. Jika dikalkulasi, antara jumlah penduduk dan jumlah peserta didik di seluruh Indonesia sungguh sangat tak sebanding. Jika menganalisa Negara Singapura dan Malaysia, Indonesia seharusnya bisa di atasnya. Namun kini para pelajar dari kaum pribumi justru lebih enjoy belajar di negeri orang dibanding negeri sendiri.
Menilik sejarah masa lalu yang mencatat bahwa, mutu pendidikan Negara Indonesia bisa dikatakan maju. Sebab, para kaum pelajar dari pelbagai belahan dunia berbondong-bondong untuk menuntut ilmu di negeri yang anggun ini. Namun, mutu pendidikan tersebut mengalami kemunduran. Hal ini tak lain hanyalah disebabkan oleh para pengajarnya yang bertindak jauh dari seorang yang dikatakan sebagai pendidik. Dengan kebobrokan yang sedemikian kompleks, dipandang perlu untuk “meniatkan” seorang pendidik dengan cara yang benar. Sebab, realita menunjukkan pendidik pada saat ini tak lebih hanya mengandalkan ijazah yang notabene “tembakan”. Patut disayangkan, jika layaknya pendidik yang harusnya bisa dihandalkan hanyalah berlatar belakang “tak jelas”. Dengan adanya realita plagiasme dan penembakan ijazah diharapkan ditindaklanjuti.
Menindak lanjuti paradigm sesat yang tertanam dalam benak pengajar negeri ini. Sedah sepatutnya lembaga pemerintahan menerapkan sistem baru yang nantinya bisa menyelaraskan pikiran untuk mendidik secara ikhlas. Tak perlu adanya mobil mewah, rumah mewah, ataupun barang mewah lainnya, dan tak perlu pula dengan memberikan sertifikasi dan gelar yang tinggi kalau toh nantinya hasilnya justru nihil. Sebab, menurut Imam al-Ghazali, terjadinya perilaku korup adalah berawal dari sifat hedonis yang terpelihara.
Oleh karenanya, langkah konkret yang perlu dilakukan adalah melalukan perekrutan yang diimbangi dengan penyaringan yang ketat, supaya hasil akhir dari penyaringan tersebut menghasilkan pendidik yang berkualitas. Adapun langkah yang perlu diterapkan untuk menghasilkan pendidik yang handal adalah dengan cara penerapan sistem meritokrasi yang berkelanjutan. Misal, membumikan pendidik yang hafal dan berkarakter Qur’ani, serta mempunyai bakat dan tekad yang ikhlas. Dengan menerapkan cara demikian diharapkan bisa mewujudkan generasi muda yang handal dalam semua lini. Tak hanya dalam bidang IPTEK, namun spiritualitas juga diharapkan bisa terbangun dengan adanya pendidik dalam lingkup Qur’ani.
Dengan demikian, citra pendidikan yang “sakral” tak lagi ada virus yang menjangkiti, dan mutu pendidikan juga bisa membawa Negara yang kian hari mengalami degradasi moral.
--------- Ahmad Anwar Musyafa
(Peneliti di Monash Institute dan Aktivis HMI IAIN Walisongo Semarang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar