Translate

BISNIS ONLINE

Tampilkan postingan dengan label Ayat-Ayat Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ayat-Ayat Pendidikan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 16 Mei 2014

Resistensi Pembinaan Fitrah Manusia

Resistensi Pembinaan Fitrah Manusia - Al-Qur’an adalah kitab suci yang dapat menjadi petunjuk bagi jiwa yang kalut. Dapat member penerangan terhadap masyarakat penyembah berhala [1]. Sebagai sumber ajaran agama Islam, al-Qur’an berhubungan secara totalitas dengan kehidupan manusia [2]. Al-Qur’an menawarkan kehidupan seimbang, integral yang terwujud dalam pola tingkah laku taqwa. Karena pola tinglah laku taqwa adalah tingkatan tertinggi yang menunjukkan kepribadian manusia yang benar-benar utuh dan integral, yang semua unsure-unsur positif terserap masuk dalam dirinya [3].

Secara tegas al-Qur’an menegaskan sebagai petunjuk bagi manusia yang terbaik untuk kehidupan dunia dan akhirat [4]. Menurut Abdurrahman Dahlan [5], al-Qur’an merupakan kitab petunjuk terbaik, yang paling lurus, sempurna, agung, adil, dan sesuai dengan segala hal dan kehidupan manusia untuk kepentingannya di dunia dan akhirat dalam memberikan petunjuk kepada manusia, al-Qur’an memperlihatkan keterangan yang memuaskan dan rasional disertai dengan perangsangan emosi dan kesan insan, dan al-Qur’an mendidik emosi sejalan dengan fitrah, sederhana dan tidak membebani, di samping langsung mengetuk pintu akal dan hati secara serempak [6].

Setiap orang memiliki potensi dasar yang baik, yang disebut fitrah. Fitrah itulah yang selalu membawa manusia berkecenderungan pada kebaikan dan kebenaran. Tetapi, dalam perjalanannya, sering kali fitrah seseorang tertutup berbagai macam pengaruh, baik pengaruh pengetahuan, lingkungan, dan budaya di mana yang bersangkutan hidup dan menetap. Berbagai lapisan itu membentuk lapisan yang menyelimuti fitrah. Dan pada gilirannya fitrah tidak lagi mampu menggerakkan pola pikir dan tingkah laku seseorang. Perjanjian primordial manusia di saat berada di dalam rahim, yaitu berjanji akan selalu mengikatkan diri kepada Tuhan-nya (Allah), juga merupakan fitrah yang harus diingatkan. Sebab, dengan kelemahannya, manusia tak lagi mampu mengingat dirinya sendiri pada perjanjian primordialnya terhadap Tuhan.

Pengajaran pendidikan agama yang paling utama adalah seperti fungsi dan tugas yang dilakukan oleh nabi-nabi Allah, membersihkan, mengingatkan, dan menggugah, serta mengaktifkan (kembali) fitrah tiap manusia. Sehingga pada akhirnya fitrah itu mampu mempengaruhi dan mengarahkan pola piker dan perbuatan atau tindakan seseorang. Dengan kata lain, tujuan utama pengajaran pendidikan agama adalah menggugah “Fitrah Insaniyah” dan membantu memunculkan kembali potensi kebaikan yang telah ada dalam diri tiap orang. 

Resistensi Pembinaan Fitrah ManusiaAkar masalah pendidikan terletak pada, pertama, bagaimana orang mendefinisikan fitrah, sekaligus definisi itu akan menjadi arah dan spirit pengajaran pendidikan agama. Kedua, paradigma yang digunakan dalam pembinaan dan pengembangan fitrah. Ketiga, tujuan pembinaan fitrah.

Kita tidak akan bisa mengubah buah sebelum mengubah akar. Di negeri kita banyak biaya, energy, waktu, dan sebagainya berhamburan tanpa makna karena sering kali proyek-proyek tidak mengenai sasaran yang sebenarnya. Kita kerap menghujjat, bahwa pendidikan agama di sekolah tidak ada artinya. Tiap hari anak-anak sekolah menyuguhkan sikap dan perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Mereka menirukan perilaku orang dewasa baik secara lagsung maupun melalui media masa seperti televise.

Kita semua harusnya bisa introspeksi diri, ada apa dengan pendidikan di negeri ini? Apa yang kurang? Berbagai macam kebijakan baik itu untuk guru maupun anak didik sudah dilakukan, tetapi kenapa masih demikian? Bagaimana kita bisa membumikan pendidikan di negeri ini? Banyaknya fenomena-fenomena yang mendiskriditkan dunia pendidikan, dari mulai tawuran antar pelajar yang sudah menjadi budaya, sampai pada pelecehan seksual yang akhir-akhir ini kita dengar.

Tulisan yang singkat ini mudah-mudah bisa menjadi cermin dan dapat menggugah jiwa, bukan hanya stakeholder tapi juga para pahlawan kita (baca: guru dan orang tua) agar dalam mendidik anak-anaknya mereka terus intens dan lebih baik lagi. Satu hal yang perlu kita semua ingat, bahwa anak-anak kita sudah dibekali fitrah yang baik, karena mereka semua sudah dibekali dengan potensi-potensi yang telah Tuhan berikan. Tugas kita sebagai guru dan orang tua adalah bagaimana mengoptimalkan dan memaksimalkan potensi-potensi tersebut.





Reff

[1]Al-A’zami. The History of The Qur’anic Texs From Revelation to Compilation. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Sohirin Solihin, Anis Malik Thaha, Ugi Suharto, Lily Yuliadi dengan judul, “Sejarah Teks Al-Qur’an dan Wahyu sampai Kompilasi Kajian Perbandingan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru”. Gema Insani: Jakarta, 2005. hal. 63. 
[2]Abudin Nata. “Al-Qur’an dan Hadits”. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 1996. hal. 125. 
[3] Fazlur Rahman. “Major Themes of The Qur’an”. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Anas Mahyudin dengan judul, “Tema-Tema Pokok Al-Qur’an”. Pustaka. Bandung. 1996. hal. 43 
[4]QS. 17: 9. 
[5] Abdurrahman Dahlan. “Kaidah-Kaidah Penafsiran Al-Qur’an”. Mizan. Bandung. 1997. hal. 279.
[6] Abdurrahman Al-Nahlawi. “Ushulut Tarbiyatil Islamiyah wa Asalibuha”. Diterjemahkan oleh Herry Noer Ali dengan judul, “Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam dalam Keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat”. Dipenogoro. Bandung. 1996. hal. 44.


Jumat, 02 Mei 2014

Belajar Membaca Alam Semesta (Bag. II)

Belajar Membaca Alam Semesta (Bag. II) - Menindaklanjuti tentang fenomena-fenomena alam yang ditunjukkan oleh QS. Ali Imran ayat 190-191 dengan QS. al-baqarah ayat 164 (baca: Belajar Membaca dan Memikirkan Alam Semesta Perspektif Al-Qur'an). Untuk memahami perbedaan susunan ayat dari di atas, perlu dilakukan pendekatan tanasub al-ayat masing-masing. Ayat 164 Al-Baqarah harus dikaitkan dengan ayat sebelumnya (163) yang menjelaskan tentang keesaan Tuhan. Ini menunjukan bahwa banyaknya fenomena alam yang disebut dalam ayat 164 merupakan sebuah tuntunan khususnya bagi orang-orang yang baru mengenal Tuhan. Dan hal ini juga tampaknya diperkuat oleh ungkapan penutup dari ayat dimaksud (li qaumin ya'qilun), yang dapat diartikan sebagai "para pemikir pemula". Akal manusia terdiri atas dua dimensi: dimensi luar yang disebut "akal" itu sendiri, dan dimensi dalam atau sarinya yang disebut "Lubb". Sedang pada Ali Imran 190, apabila dihubungkan dengan ayat sebelumnya (189) yang menjelaskan bahwa Allah adalah penguasa langit dan bumi, memang tampaknya tidak memerlukan lagi banyak makhluk atau fenomena alam sebagai tanda kekuasaan-Nya. Sebab, di sini kami kira manusia sudah tidak lagi tertuju kepada al-wujud allah --sebagaimana pada al-Baqarah ayat 164--, melainkan sudah diarahkan untuk memikirkan dan mengenal sifat-sifat-Nya. Ungkapan Allah sebagai penutup ayat 190 "li ulil albab" boleh jadi memperkuat pendapat itu, karena tingkat berpikir ulil albab dalam proses penemuan kebenaran dan meyakini adanya Allah, sudah berada satu atau dua tingkat di atas mereka yang masih berada pada "qaumun ya'qilun".

Di sisi lain, dalam terminologi qur'ani, potensi rohaniah yang berfungsi sebagai penemu kebenaran, ada tiga tingkatan. Tingkat pertama, yang paling rendah dan sederhana adalah "al-Qalb", yang diterjemahkan dengan hati. Dinamai demikian karena temperaturnya sering tidak bisa stabil (litaqallubihi) bahkan dalam al-Quran disebutkan banyak hati yang sama sekali tidak berfungsi (lahum qulubun la yafqohuna biha). Tingkat kedua, ialah "al-Lubb" yang secara leksikal berarti saripati, sesuatu yang paling bersih, paling halus, dan paling sempurna. Bentuk plural (jamak) dari al-Lubb adalah al-Albaba. Untuk memahami tafsir dari kata dimaksud, kita berkonsultasi dengan al-Qur'an. Ternyata, di dalam al-Quran, kata ulul albab terulang sebanyak 16 kali pada berbagai tempat, dan dari jumlah itu sebagaian besar terkait dengan ungkapan hikmah dan pelajaran ()yadzakaru, yatatadzakaru, dzikra, 'ibaratan, dan hayatan). Dari sini dapat dipahami bahwa ulil albab adalah orang-orang yang dapat menangkap dan menggali makna yang jauh tersembunyi di balik segala sesuatu yang konkret. Hanya orang-orang yang sanggup memaksimalkan  potensi akalnya saja yang dapat melakukan pekerjaan tersebut. Rupanya, dari sini pula maka ulul albab sering diterjemahkan dengan "orang-orang yang berakal sempurna".

Tingkat ketiga, merupakan akal tingkat paling tinggi, adalah al-Fu'ad. Dalam al-Quran, al-Fu'ad ditemukan terulang sebanyak 5 kali, yang kesemuanya menuju pada pengertian "nurani" yang berasal dari Allah. Perhatikan ayat-ayat berikut:
"Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa"
(QS. al-Qasas: 10)

Sebelum ayat ini, yakni pada ayat ke tujuh Allah memberi perintah kepada ibu Musa agar menghanyutkan bayi Musa ke sungai Nil.

"Berkata orang-orang kafir: Mengapa al-Quran tidak diturunkan
kepada Muhammad secara sekaligus? (al-Quran tidak
diturunkan sekaligus) untuk 
Kami kuatkan hatimu
(Muhammad)...
(QS. al-Furqan: 32)

"Tidak akan bohong apa yang ia (Muhammad) lihat".
(QS. al-Najm: 11)

Dari ketiga ayat di atas dapat dipahami bahwa al-Fuad adalah hati nurani yang dimiliki oleh orang-orang suci yang mendapatkan bimbingan langsung dari Allah SWT.
Ayat ini merupakan penjelasan pertama dari siapakah mereka Ulul Albab? Yaitu orang-orang yang mengingat Allah dalam tiga kondisi (hal); berdiri, duduk, dan berbaring. Oleh karena hidup manusia tidak lepas dari ketiga kondisi itu, maka yang dimaksud dengan ayat itu adalah selalu mengingat Allah. Dzikir kepada Allah, dalam isyarat qur'ani tidak sekedar mengingat-Nya yang terbatas pada bekerjanya sens of memory yang ada di otak, melainkan adalah konsep integral antara seluruh potensi ruhaniah. Dimulai dari bekerjanya sens of memory yang mencari dan menghubungkannya dengan konsepsi tentang Allah, lalu kemudian diserap dan diserapkan oleh al-Qalb, al-Lubb, atau al-Fu'ad, sampai kepada lahirnya pemancaran atau pemantulan kepada seluruh aspek gerak manusia. Dari ketiga alat yang sekaligus merupakan potensi tadi, akan memancarkan nur ilahiyah keseluruh anggota badan. Ke lidah akan membentuk gerak bacaan-bacaan tasbih, tahmid, dan tahlil. Ke sel-sel saraf akan melahirkan pikiran-pikiran dan pemikiran-pemikiran yang benar yang secara harmonis akan membentuk gerak dan perilaku instrumental dalam dzikir kepada Allah.

Al-Imam al-Fakhr al-Razi, seorang mufassir besar dari kalangan ahlussunnah, menyatakan bahwa klausa "alladzina yadzkuru nallaha" sebagai isyarat kepada ubudiyat al-lisan; klausa "qiyaman wa qu'udan wa 'ala junubihim" isyarat kepada ubudiyat al-jawarih (ritualitasnya fisik), dan klausa "yatafakkaruna fi kholqis samaawati wal arldh", isyarat pada ubudiyat al-fikr (ritualitasnya pikiran). Menurutnya, ayat 190 menunjukkan kepada "kamal al-rububiyat", sedangkan ayat 191 menunjukkan kepada "kamal al-ubudiyat".

Belajar Membaca dan Memikirkan Alam Semesta Pespektif Al-Quran

Belajar Membaca dan Memikirkan Alam Semesta Pespektif Al-Quran - Membaca merupakan kebutuhan pokok bagi siapa saja yang ingin mengetahui segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Dalam Islam, membaca merupakan wahyu pertama yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw yang tertuang dalam surat al-‘Alaq. Oleh karena itu, Islam sangat menekankan umatnya untuk selalu membaca. Banyak literatur-literatur yang menerangkan bahwa makna membaca pada wahyu pertama tersebut memiliki banyak makna, bisa menelaah, menyampaikan, meneliti, dan sebagainya (baca juga postingan: Kewajiban Belajar Mengajar Perspektif QS. Al-'Alaq). Dan pada kesempatan kali ini, akan dipaparkan sedikit tentang “Belajar Membaca dan Memikirkan Alam Semesta Perspektif Al-Quran”, tepatnya surat Ali Imran ayat 190-191.

Teks Ayat


Terjemahan

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, menjadi bukti adanya kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal sempurna. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, maupun berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi. Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia. Maka lindungilah kami dari siksa neraka”. (QS. Ali Imran: 190-191)

Analisis Kebahasaan

Al-Khalq ialah penciptaan tanpa contoh yang sama sekali baru. Berbeda dengan “al-Ja’lu”, ialah menjadikan dalam arti memfungsikan sesuatu yang sudah ada bahan dasarnya. Lain juga dengan “al-Fithr”, ialah menciptakan sesuatu yang bersifat bahan dasar atau potensi yang diciptakan sejak zaman azali. Ketiga terminology Quran tersebut dapat ditemukan dalam al-Quran.

Al-Samawat, secara etimologi (bahasa) diartikan sesuatu yang ada di atas. Karena kata “al-Samawat” berbentuk kata benda yang menunjukkan agregat jamak (plural), maka kata itu berarti segala sesuatu yang ada di atas. Dalam konsepsi kosmologis, langit itu segenap benda ruang angkasa dalam sistem universe. Matahari, sejumlah planet, bulan, bintang, meteor, dan gugusan galaksi yang jaraknya dari bumi jutaan tahun cahaya, semuanya merupakan benda-benda langit. 

Al-Ardl, ialah tenpat tumbuih dan berkembang biaknya makhluk hidup. Seperti manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Sedangkan “al-Albab”, bentuk jamak dari “al-Lubb” yang secara etimologis berarti saripati. Yang dimaksudkannya adalah saripati hati atau akal sempurna. Lain halnya dengan hati yang masih kasar atau belum halus disebut “al-Qalbu”. Dinamai demikian, karena keadaan hati sering tidak menetap (litaqallubihi). Istilah Quran yang menunjukkan kepada arti hati, selain dari kedua istilah itu adalah “al-Fu’ad”, yakni hati yang merupakan pancaran dari Tuhan, sehingga apa yang terpikirkan dan terasakan tidak pernah salah (ma kadza al-fu’adu ma ra’a).

Syarh Ayat

Langit dan bumi ini adalah ciptaan Allah yang paling besar dan paling tampak pada pandangan mata jika dibandingkan dengan makhluk manusia (baca: QS. Ghafir ayat 57). Demikian juga, petunjuk adanya kebesaran dan kekuasaan Allah sebagai Dzat Pencipta dari proses penciptaan dan keberadaan kedua makhluk tersebut. Sangat jelas dan terang bagi orang yang secara maksimal telah mendayagunakan akalnya. Salah satu kebesaran dan keajaiban langit yang sampai sekarang masih merupakan misteri dan teka-teki di kalangan para ilmuwan adalah jumlah bintang-bintang yang dari dulu sampai kapanpun tetap sama, yaitu sama-sama tak terhitung banyaknya dan entah dimana posisinya. Ada bintang yang terlihat berkelip-kelip, yang jika ditempuh oleh manusia memerlukan waktu jutaan tahun cahaya.

Apabila manusia menggunakan potensi akalnya dengan baik, sebetulnya tidak perlu terlalu jauh memikirkan langit dan bumi yang sudah dapat dipastikan tidak akan menemukan jawaban ilmiahnya. Tetapi marilah kita perhatikan sehelai daun pada sebuah pohon. Pada garis tengahnya terdapat urat besar. Dari urat besar itu bercabang urat-urat kecil yang menyebar ke bagian samping kiri dan kanan daun. Lalu setiap urat-urat kecil itu mengembangkan cabang-cabangnya yang bahkan tidak terlihat oleh mata telanjang. Tidak terlihat, tetapi jelas ada dan di dalamnya ada kehidupan alam daun-daunan yang tumbuh secara teratur. Siapakah yang mengaturnya? Dialah Dzat Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui, Allah SWT. Apabila makhluk terakhir ini dibandingkan dengan langit dan bumi, maka itu seakan tidak ada sehingga nyaris selalu luput dari perhatian manusia.

Sebelum ayat ini (QS. Ali Imran ayat 190-191), Allah SWT telah menjelaskannya dalam surat Al-Baqarah ayat 164, yang kurang lebih artinya:

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan".

Antara kedua penjelasan dalam Ali Imran 190-191 dan Al-Baqarah 164, terdapat dua perbedaan susunan redaksi. Pertama, Ali Imran 191, ayat ditutup dengan "li ulil albab". Sedangkan penutup Al-Baqarah 164 adalah "li qaumin ya'qiluun". Kedua, fenomena alam yang ditunjukkan sebagai dalil adanya Allah yang menciptakan pada Ali Imran 190 jumlahnya hanya tiga, yaitu langit, bumi, dan silih bergantinya malam dan siang. Sedangkan pada Al-Baqarah 164 jumlahnya ada lima, yaitu selain yang tiga tadi disebutkan ditambah lagi dengan kapal yang berlayar di tengah lautan, air hujan sebagai sumber kehidupan di bumi, dan pengisaran angin dan awan.

Rabu, 26 Maret 2014

Pendidikan Masyarakat dalam Perspektif Al-Qur’an Surat Al-Taubat Ayat 122

Pendidikan Masyarakat dalam Perspektif Al-Qur’an Surat Al-Taubat Ayat 122 - Sebagai makhluk yang telah diciptakan oleh Allah sebagai Khalifah di muka bumi. Manusia mengemban amanat untuk membina masyarakat, memelihara alam lingkungan hidup bersama. Bahkan terutama bertanggung jawab atas martabat kemanusiaannya (human dignity). Jadi manusia sebagai makhluk individu berperan aktif bahkan wajib dalam menyelenggarakan pendidikan baik secara formal atau non formal. Pada postingan kali ini akan sedikit memaparkan tentang bagaimana pendidikan masyarakat dalam perspektif al-Qur'an tepatnya Surat al-Taubat ayat 122. Langsung menuju ke TKP.

Teks Ayat

Terjemahan

Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.
(QS. al-Taubat: 122)

Asbab Al-Nuzul

Ada riwayat dari Ikrimah, bahwa orang-orang munafik dengan nada mencemooh, mengatakan: selaka orang-orang kampong yang tidak ikut berperang dengan Muhammad! Padahal kawan-kawan Muhammad yang lain keluar menuju perkampungan untuk tujuan mengajar masyarakat. Lalu, turunlah ayat ini. Memperhatikan latar belakang kronologis turunnya ayat tersebut dapat dikemukakan bahwa perang dan menyebarkan ilmu sama pentingnya, dan mengajarkan ilmu atau mencari ilmu merupakan bagian dari “Jihad fi Sabilillah”.

Menurut penuturan Ibnu Katsir, ayat ini me-nasakh ayat sebelumnya yaitu ayat 41 dan ayat 120 dalam surat yang sama, yang menjelaskan tentang hukum ikut berperang bersama Rasulullah. Dalam kedua ayat tersebut ditetapkan kewajiban berperang itu sifatnya “’ainy” yang mesti diikuti oleh segenap kaum muslimin. Dengan turunnya ayat 122 ini, kewajiban berperang menjadi hanya "Fardhu Kifayah".

Tafsir Mufradat

Kata “Liyanfiru”, dalam bahasa Arab “Nafara” diartikan pergi berperang. Sedangkan kata “Liyatafaqqahu fi al-Diin”, TafaqqahaYatafaqqahuTafaqquhan, secara bahasa artinya memahami dengan luas dan mendalam. Jadi, “Tafaqqahu fi al-Diin” berarti mendalami agama. Dengan demikian, pada zaman Nabi, yang disebut Mutafaqqih atau Faqih atau Fuqoha ialah arang-orang yang ahli dan menguasai persoalan-persoalan agama. Tentu saja pada masa itu, yang paling Mutafaqqih adalah Nabi Saw. Kemudian pada era Khulafaurrasyidin, pengertiannya mengalami penyempitan. Dari orang yang menguasai persoalan-persoalan agama, menjadi orang yang menguasai hanya di bidang fatwa-fatwa hukum yang bersifat amaliah praktis. Disebutlah ahli fatwa sebagai Faqih atau Mutafaqqih. Ketika banyak persoalan hukum amaliyah terutama masalah mu’amalah tidak tersedia ketetapan hukumnya secara gamblang dan jelas baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Maka, bermunculan ulama-ulama yang mengkonsentrasikan perhatiannya kepada upaya penggalian hukum dari nash-nash yang sudah ada tersebut. Dalam literatur Islam, ulama yang ahli dalam bidang penggalian hukum disebut Mujtahid. Maka, sejak saat itulah arti Faqih atau Fuqaha menjadi lebih sempit lagi, hanya dikhususkan bagi orang-orang yang ahli dalam bidang Ilmu Fiqih. Demikianlah perkembangan dari terminologi Fiqh atau Faqih dalam Islam.

Masyarakat sebagai Objek Pendidikan

Baik secara bertahap maupun simultan, pendidikan diri dan keluarga harus dibarengi dengan pendidikan masyarakat. Karena, pada dasarnya pendidikan diarahkan untuk mencerdaskan masyarakat sebagai sarana penting dalam pembangunan masyarakat, bangsa, dan Negara. Yang dapat ditangkap dari mantuq (eksplisitas) ayat di atas, bahwa yang dimaksud masyarakat itu adalah masyarakat dengan latar belakang agama tertentu, yang dalam hal ini adalah Islam. Ini dapat dipahami dari frasa “Qaumahum”, yang berarti kaum mereka. Diperkuat lagi oleh frasa “fi al-Diin”, yang menunjukkan arti khusus agama Islam. Dari pendekatan ilmu Ma’any, “alif lam” yang ada pada kata “al-Diin” menunjukkan “Lil’ahdidzdzihni”.

Masyarakat muslim tidak lain dari orang-orang yang terdiri dari individu-individu muslim yang secara sosiologis Islam terbagi menjadi dua kelompok besar. Ulama atau Fuqaha dalam arti luas, dan orang-orang ‘awwam. Ulama atau Fuqaha inilah yang berkewajiban menyebarkan dan memasyarakatkan ajaran Islam (al-Diin) kepada masyarakat ‘awwam (baca juga postingan: Kewajiban Belajar Mengajar dalam Perspektif al-Qur'an). Ayat 122 di atas menunjukkan betapa pentingnya pendidikan Islam kepada masyarakat, sehingga Nabi Saw (seolah-olah) melarang kaum muslimin ikut berperang semuanya. Tetapi harus ada sebagian dari mereka yang mendalami ilmu pengetahuan Islam. Apabila pendidikan pada masa Nabi Saw sudah demikian pentingnya, maka terlebih di masa sekarang yang kepemelukan orang-orang yang mengaku Islam kepada agama Islam lebih banyak karena faktor keturunan, bukan karena proses pencarian yang betul-betul dilatar belakangi oleh kebutuhan terhadap agama. Sehingga sangat wajar jika kemudian banyak orang-orang Islam yang belum menghayati apa dan bagaimana ajaran Islam.

Rabu, 12 Maret 2014

Belajar dengan cara menganalisis dalam Perspektif Qur’an Surat al-Ghasiyyah ayat 17-20

Belajar dengan cara menganalisis dalam Perspektif Qur’an Surat al-Ghasiyyah ayat 17-20 - Pada postingan terdahulu telah dipaparkan tentang Falsafah Dasar Iqra' dalam surat al-'Alaq ayat 1-5. Maka pada keseempatan kali ini akan dipaparkan juga bagaimana belajar dengan cara menganalisis perspektif QS. al-Ghasiyyah ayat 17-20. Dalam beberapa redaksi, menganalisis bermakna penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antarbagian untuk memperoleh pengertian yg tepat dan pemahaman arti keseluruhan. Dalam pengertian yang lain menganalisis juga mengandung arti penelaahan secara mendalam dan sistematis terhadap suatu pekerjaan, yang dapat memberikan keterangan tentang tugas, tanggung jawab, dan sifat pekerjaan, untuk dapat melaksanakan pekerjaan tersebut dengan baik.

Di bawah ini bagaimana belajar menganalisis menurut QS. al-Ghasiyyah.

QS. al-Ghasiyyah ayat 17-20

Teks ayat
أفلا ينظرون إلى الإبل كيف خلقت
وإلى السمآء كيف رفعت
وإلى الجبال كيف نصبت
وإلى الأرض كيف شطحت

Terjemahan

Tidaklah mereka memperhatikan, bagaimana unta diciptakan,
bagaimana lagit ditinggikan, gunung ditancapkan,
dan bumi dihamparkan?

Tanasub al-Ayat

Pada ayat sebelumnya Allah Swt menjelaskan tentang hari kiamat. Pada hari itu Allah Swt membagi manusia menjadi dua kelompok, yaitu yang selamat dan yang celaka dengan berbagai ciri dan perilaku masing-masing. Keyakinan terhadap kejadian dan keadaan manusia saat itu merupakan instrument dari keyakinan adanya Dzat Pencipta Alam. Karena itu, ayat “Afalaa yandzuruna...” sebagai penegasan yang ditujukan khususnya kepada orang-orang kafir tentang adanya Dzat Pencipta Alam.

Syarah Ayat

Belajar dengan cara menganalisis dalam Perspektif Qur’an Surat al-Ghasiyyah ayat 17-20Ayat 17-20 surat al-Ghasiyah  tersebut menunjukkan bahwa al-Qur’an dalam menyampaikan pesan-pesannya sangat memperhatikan objek yang diajak bicaranya. Dengan perkataan lain, setiap wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad Saw sangat terkait dengan situasi dan kondisi masyarakat, baik dari aspek social, politik, budaya, dan sebagainya. Secara akademis hal ini dapat dibuktikan dengan keharusan menggunakan pendekatan kesejarahan (asbab al-nuzul) dalam memahami isi kandungan al-Qur’an. Jadi, mengapa mereka disuruh memikirkan unta? Karena pada saat turunnya wahyu, bagi orang Arab, unta sudah merupakan bagian dari kehidupan mereka, baik ia sebagai alat transfortasi, sebagai makanan pokok yang paling lezat, maupun sebagai symbol status social. Antara unta, langit, bumi, dan gunung yang disebut dalam ayat tersebut memiliki hubungan yang sama sekali sulit dipisahkan dari kehidupan masyarakat Arab saat itu. Ketika mereka tengah melakukan perjalanan dengan menggunakan unta, yang terbentang di hadapan mereka hanyalah lautan padang pasir yang seakan tak bertepi. Sesekali di sebelah kiri dan kanan terlihat gunung-gunung batu yang tandus, dan di atas mereka hanya terbentang langit yang maha luas.

Apakah gerangan yang menjadi perhatian dari binatang unta, langit, gunung, dan bumi yang akan mengantarkan si pemerhati kepada kesimpulan bahwa makhluk-makhluk itu adalah ciptaan Allah? Sekali lagi perlu dikemukakan, bahwa al-Qur’an berkomunikasi dengan manusia sesuai dengan tingkat kemampuan berpikir mereka. Al-Qur’an tidak hanya berbicara dengan orang Arab, meskipun ia menggunakan bahasa Arab dan diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai orang Arab. Karena itu, perhatian setiap orang akan berbeda-beda terhadap keempat jenis makhluk tersebut sesuai dengan kadar akalnya dan sejalan pula dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang terjadi pada saat orang itu hidup. Unta sebagai binatang khas Arab, tentu hanya dapat dipahami dengan baik oleh orang Arab itu sendiri, yang menurut beberapa hasil penelitian, ia adalah binatang yang memiliki banyak kelebihan. Di antaranya, ia memiliki punggung yang kuat; ia memiliki ketahanan fisik dalam menempuh perjalanan sangat jauh sekalipun; dan ia adalah binatang yang paling bertahan dengan haus dan lapar. Pendek kata, unta, langit, gunung, dan bumi dapat dipikirkan oleh setiap orang sesuai dengan kadar kemampuan masing-masing melalui pendekatan berbagai ilmu.

Semoga bermanfaat.


Senin, 10 Maret 2014

Kewajiban Belajar Mengajar dalam Perspektif al-Qur'an Surat al-'Alaq Ayat 1 - 5

Kewajiban Belajar Mengajar dalam Perspektif al-Qur'an Surat al-'Alaq Ayat 1 - 5 - Kewajiban belajar mengajar merupakan suatu tuntutan bagi manusia yang menginginkan suatu kehidupan yang layak sebagai implementasinya dalam memakmurkan dunia. Manusia yang sudah dibaiat oleh Tuhan sebagai khalifah agar senantiasa menjadi pemimpin dan bisa menjadi kemaslahatan bagi dirinya, orang lain dan alam sekitar. Dalam realitasnya, konsep belajar mengajar memang banyak mengambil dari konsep Barat. Dan tidak ada salahnya selama konsep tersebut baik dan bisa mengangkat harkat dan martabat manusia. Namun, alangkah lebih bijak ketika kita juga tahu bagaimana pandangan al-Qur'an tentang hal tersebut. Dan banyak ayat-ayat dalam al-Qur'an yang bisa kita jadikan landasan dalam praktek mengajar mengajar. Di antaranya adalah dalam wahyu yang pertama diturunkan yakni Surat al-'Alaq.

Di bawah ini bagaimana tafsir QS. al-'Alaq tentang Kewajiban belajar mengajar:




Falsafah Dasar Iqra'

Teks ayat:


Terjemahan

"Bacalah dengan menyebut nama Tuhan-mu yang telah menciptakan. Yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhan-mu Yang Maha Mulia, yang telah mengajarkan dengan al-Qalam. Yang telah mengajarkan manusia sesuatu yang belum ia ketahui"

Analisis Kebahasaan

Huruf "ba" pada kalimat "Bismi rabbik" adalah harfu jarr yang memiliki dua artikulasi. Yang pertama sebagai tambahan (zaidah) yang terjemahannya sama dengan tanpa "ba". Iqra' bismi rabbika terjemahannya adalah bacalah nama Tuhan-mu. Tampaknya, jika konsep ini yang diikuti, ada beberapa keberatan ilmiah. Apabila yang dimaksud objek bacaan adalah nama Tuhan, tentu saja tidak dapat diterima. Karena, pertama Rasulullah Saw adalah seorang yang hatinya tak pernah berhenti mengingat nama Allah. Kedua, beliau tidak akan menjawab "maa anaa biqarii" ketika pertama kali beliau menerima wahyu di Gua Hira. Ketiga, jika "ba"-nya zaidah sebagai huruf penambah, maka terjadi Tadlyi al-ba (penyia-nyiaan huruf "ba" tanpa makna).


Pendapat kedua menyatakan bahwa objek yang harus dibaca oleh Rasulullah itu al-Qur'an. Karena membaca dalam term al-Qira'ah dalam al-Qur'an selalu digunakan untuk membaca al-Qur'an itu sendiri. Di sisi lain, ada suatu kaidah yang menyatakan bahwa suatu kata dalam susunan redaksi yang tidak disebutkan objeknya, maka arti kata tersebut dan objeknya bersifat umum, meliputi segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut. Maka, dari sini dapat disimpulkan bahwa [1] al-Qira'ah tidak berarti hanya membaca, melainkan termasuk ke dalam arti menyampaikan, menelaah, dan sebagainya. [2] Objek dari kata tersebut mencakup segala yang dapat dijangkau, baik berupa bacaan suci yang bersumber dari Tuhan, maupun bukan bacaan suci, baik ayat-ayat quraniyyat maupun ayat-ayat kauniyyat.

Perintah membaca, menelaah, menyampaikan, meneliti dan sebagainya, dikaitkan dengan keharusan menyebut nama Tuhan (Bismi rabbika). Pengertian ini merupakan syarat mutlak sehingga menuntut si pembaca bukan sekedar melakukan bacaan dengan ikhlas, tetapi juga antara lain dapat memilih bacaan-bacaan yang tidak mengantarkannya kepada hal-hal yang tidak bertentangan dengan nama Allah itu. Mengapa harus dengan kata Rabb, dan tidak dengan kata Allah yang merupakan esensi Tuhan sebagaimana dalam Basmalah. Padahal kata Allah lebih Agung dan lebih Mulia? Karena, pertama, ayat ini merupakan ayat perintah beribadah dan penggunaan kata Rabb yang sesungguhnya adalah perbuatan Tuhan, akan lebih mendorong jiwa si penerima perintah untuk melaksanakannya. Kedua, karena surat ini merupakan surat yang pertama kali diterima oleh Nabi, maka penggunaan kata Rabb dimaksudkan agar Nabi tidak merasa kaget.

Perintah membaca dalam surat ini terulang dua kali, yaitu pada ayat pertama dan pada ayat ketiga. Telah dikemukakan, bahwa perintah membaca pada ayat pertama berkaitan dengan syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang ketika membaca. Maka perintah membaca pada ayat ketiga berkaitan dengan manfaat yang diperoleh dari hasil bacaan tersebut. Hal ini dapat dipahami dari ayat selanjutnya (keempat) bahwa dari kerja membaca itu seseorang akan memperoleh ilmu pengetahuan.

"'Allama bil Qalam", yang dimaksud al-Qalam. Menurut sebagian ulama Tafsir, adalah "al-Kitabah", dan penggunaan kata tersebut sebagai kinayah. Tetapi, menurut kebanyakan Mufassirin Kontemporer, al-Qalam adalah segala macam alat tulis menulis dari mulai yang sederhana sampai kepada mesin-mesin tulis dan cetak yang canggih, dan ia bukan merupakan satu-satunya alat atau cara untuk membaca atau memperoleh pengetahuan.

Tafsir Ijmaly 

Perintah membaca merupakan perintah yang paling berharga yang dapat diberikan kepada umat manusia sebagai homo educandum. Pengaitan kata "'Allama" dengan kata "al-Insan" pada ayat kelima, menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang harus dididik dan dapat dididik yang antara lain dengan cara membaca. Dan pendidikan adalah jalan yang dapat mengantarkan manusia mencapai derajat kemanusiaannya yang sempurna. Hal ini juga secara korelatif dapat dipahami dari penggalan ayat "khalaqa min 'alaq" dan "'allama bil Qalam". Kedua penggalan ayat tersebut mengisyaratkan bahwa meski manusia diciptakan dari setetes air mani yang sangat hina, jika ia belajar dan berpikir sampai ia memperoleh ilmu pengetahuan, maka ia akan menempati derajat yang tinggi, sebagaimana juga dijelaskan dalam surat al-Mujadalah ayat 11. Oleh karena itu, kiranya benar orang yang mengatakan, bahwa membaca adalah gerbang untuk membangun peradaban.

Sejarah umat manusia, secara umum dapat dibagi dalam dua fase utama. Yaitu fase sebelum penemuan alat tulis baca dan fase sesudahnya, sekitar lima ribu tahun yang lalu dengan telah ditemukannya tulis baca, peradaban umat manusia berjalan sangat pesat dan cepat. Peradaban yang lahir pasca ditemukannya tulis baca tidak lagi dimulai dari nol. Peradaban yang datang mempelajari peradaban yang lalu dari apa yang ditulis oleh yang lalu dan dapat dibaca oleh yang datang kemudian.

Semoga bermanfaat.