Translate

BISNIS ONLINE

Tampilkan postingan dengan label Materi Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Materi Pendidikan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 08 Mei 2014

Mengintegrasikan Materi Pelajaran dan Aplikasinya dalam Proses Pembelajaran

Mengintegrasikan Materi Pelajaran dan Aplikasinya dalam Proses Pembelajaran - Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita (baca: Indonesia) adalah masalah lemahnya proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, anak kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Proses pembelajaran di dalam kelas diarahkan kepada kemampuan anak untuk menghafal informasi. Otak anak dipaksa untuk mengingat dan menimbun berbagai informasi tanpa dituntut untuk memahami informasi yang diingatnya itu untuk menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari. Akibatnya, ketika anak didik kita lulus dari sekolah, mereka pintar secara teoritis, tetapi miskin aplikasi.

Kenyataan ini berlaku untuk semua mata pelajaran. Mata pelajaran science tidak dapat mengembangkan kemampuan anak untuk berpikir kritis dan sistematis, karena strategi pembelajaran berpikir tidak digunakan secara baik dalam setiap proses pembelajaran di dalam kelas. Mata pelajaran agama, tidak dapat mengembangkan sikap yang sesuai dengan norma-norma agama, karena proses pembelajaran hanya diarahkan agar anak bisa menguasai dan menghafal materi pelajaran. Mata pelajaran bahasa tidak diarahkan untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi, karena yang dipelajari lebih banyak bahasa sebagai ilmu bukan sebagai alat komunikasi. Anak hafal perkalian dan pembagian, tetapi mereka bingung berapa harus membayar ketika ia disuruh membeli 2,5 kg telur, harga 1 kg Rp. 12.500,00; anak juga hafal bagaimana langkah-langkah berpidato, tetapi mereka bingung ketika mereka disuruh bicara di muka umum. Demikian juga anak hafal bagaimana cara membuat suatu karya tulis, tetapi ketika harus menulis ia bingung harus dari mana memulai; dan lain sebagainya.

Gejala-gejala di atas merupakan gejala umum dari hasil proses pendidikan kita. Pendidikan di sekolah terlalu menjejali otak anak didik dengan berbagai bahan ajar yang harus dihafal. Pendidikan kita tidak diarahkan untuk mengkonstruksi (membangun) dan mengembangkan karakter serta potensi yang dimiliki anak. Dengan kata lain, proses pendidikan kita tidak pernah diarahkan membentuk manusia yang cerdas, serta tidak diarahkan untuk membentuk manusia yang kreatif dan inovatif. 0Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa:

"Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara".

Terdapat beberapa hal yang sangat penting untuk kita kritisi dari konsep pendidikan menurut Undang-Undang tersebut. Pertama, “pendidikan adalah usaha sadar dan terencana”, hal ini berarti proses pendidikan di sekolah bukanlah proses yang dilaksanakan secara “asal-asalan” dan “untung-untungan”, akan tetapi proses yang bertujuan. Sehingga segala sesuatu yang dilakukan guru dan siswa diarahkan pada pencapaian tujuan.

Kedua, proses pendidikan yang terencana itu diarahkan untuk mewujudkan “suasana belajar dan proses pembelajaran”. Hal ini berarti pendidikan tidak boleh mengesampingkan proses belajar. Pendidikan tidak semata-mata berusaha untuk mencapai hasil belajar, akan tetapi bagaimana memperoleh hasil atau proses belajar yang terjadi pada diri anak. Dengan demikian, dalam pendidikan antara proses dan hasil belajar harus berjalan secara seimbang. Pendidikan yang hanya mementingkan salah satu di antaranya tidak akan dapat membentuk manusia yang berkembang secara utuh.

Ketiga, suasana belajar dan pembelajaran itu diarahkan “agar peserta didik dapat mengembangkan potensi dirinya”. Ini berarti proses pendidikan harus berorientasi kepada siswa (student active learning). Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi anak didik. Dengan demikian, anak harus dipandang sebagai organisme yang sedang berkembang dan memiliki potensi. Tugas pendidikan adalah mengembangkan potensi yang dimiliki anak didik, bukan menjejalkan materi pelajaran atau memaksa agar anak dapat menghafal data dan fakta.

Keempat, akhir dari proses pendidikan adalah kemampuan anak “memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara”. Hal ini berarti proses pendidikan berujung kepada pembentukan sikap, pengembangan kecerdasan atau intelektual, serta pengembangan keterampilan anak sesuai dengan kebutuhan. Ketiga aspek inilah (sikap, kecerdasan, dan keterampilan) arah dan tujuan pendidikan yang harus diupayakan. Dengan demikian, ketika ketiga aspek ini sudah terbentuk, materi pelajaran apapun yang diberikan oleh guru akan mengarah pada tujuan yang sama, yaitu pembentukan sikap, kecerdasan, dan keterampilan bagi setiap anak didik agar mereka berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

Demikianlah uraian singkat mengenai integrasi materi pelajaran dan aplikasinya dalam proses pembelajaran. Semoga para pendidik tidak menutup mata akan gejala-gejala yang ada, dan selalu berupaya untuk bersungguh-sungguh membelajarkan siswa-siswinya menjadi generasi yang bisa dibanggakan bukan sekedar cerdas dalam teori, tapi bangsa ini juga butuh anak-anak yang cerdas dan trampil dalam aspek praktisnya.



Selasa, 06 Mei 2014

Perlunya Perubahan Paradigma tentang Mengajar

Perlunya Perubahan Paradigma tentang Mengajar - Apakah mengajar sebagai proses menanamkan pengetahuan dalam abad teknologi seperti sekarang ini masih berlaku? Bagaimana seandainya pengajar (baca: guru) tidak berhasil menanamkan pengetahuan kepada orang yang diajarnya? Apakah masih juga dianggap orang tersebut telah mengajar? Lalu, kalau begitu apa criteria keberhasilan mengajar? Apakah mengajar hanya ditentukan oleh seberapa besar pengetahuan yang telah disampaikan?

Pandangan mengajar yang hanya sebatas menyampaikan ilmu pengetahuan itu, dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan. Mengapa demikian? W. Sanjaya (2006: 100-101) mengemukakan bahwa minimal ada tiga alasan penting. Alasan inilah yang kemudian menuntut perlu terjadinya perubahan paradigma dalam mengajar. Dari mengajar hanya sebatas menyampaikan materi pelajaran kepada mengajar sebagai proses mengatur lingkungan.

Pertama, siswa bukan orang dewasa dalam bentuk mini, tetapi mereka adalah organisme yang sedang berkembang. Agar mereka dapat melaksanakan tugas-tugas perkembangannya, dibutuhkan orang dewasa untuk mengarahkan dan membimbing mereka agar tumbuh dan berkembang secara optimal. Oleh karena itulah, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi yang memungkinkan setiap siswa dapat dengan mudah mendapatkan berbagai informasi. Tugas dan tanggung jawab guru bukan semakin sempit namun justru semakin kompleks. Guru bukan saja dituntut untuk lebih aktif mencari informasi yang dibutuhkan, akan tetapi guru juga harus mampu menyeleksi berbagai informasi. Sehingga dapat menunjukkan kepada siswa informasi yang dianggap perlu dan penting untuk kehidupan mereka. Guru harus menjaga siswa agar tidak terpengaruh oleh berbagai informasi yang dapat menyesatkan dan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan mereka. Guru tidak lagi memosisikan diri sebagai sumber belajar yang bertugas menyampaikan informasi, tetapi harus berperan sebagai pengelola sumber belajar untuk dimanfaatkan siswa itu sendiri.

Kedua, ledakan ilmu pengetahuan mengakibatkan kecenderungan setiap orang tidak mungkin dapat menguasai setiap cabang keilmuan. Begitu hebatnya perkembangan ilmu biologi, ilmu ekonomi, hukum, dan lain sebagainya. Apa yang dahulu tidak pernah terbayangkan, sekarang menjadi kenyataan. Dalam bidang teknologi, begitu hebatnya orang membuat benda-benda mekanik yang bukan hanya diam, tetapi bergerak, bahkan bisa terbang menembus angkasa luar. Semua di balik kehebatan-kehebatan itu bersumber dari apa yang kita sebut sebagai pengetahuan. Abad pengetahuan inilah yang seharusnya menjadi dasar perubahan. Bahwa belajar, tak hanya sekedar menghafal informasi, rumus-rumus, tetapi lebih dari itu bagaimana menggunakan informasi dan pengetahuan itu untuk mengasah kemampuan berpikir.

Ketiga, penemuan-penemuan baru khususnya dalam bidang psikologi, mengakibatkan pemahaman baru terhadap konsep perubahan tingkah laku manusia. Dewasa ini, anggapan manusia sebagai organisme yang pasif yang perilakunya dapat ditentukan oleh lingkungan seperti yang dijelaskan dalam aliran “behavioristik”, telah banyak ditinggalkan orang. Orang sekarang lebih percaya, bahwa manusia adalah organisme yang memiliki potensi seperti yang dikembangkan oleh aliran “kognitif holistik”. Potensi itulah yang akan menentukan perilaku manusia. Oleh karena itu, proses pendidikan bukan lagi memberikan stimulus, akan tetapi usaha mengembangkan potensi yang dimiliki anak didik. Di sini, siswa tidak lagi dianggap sebagai objek, tetapi sebagai sumber belajar yang harus mencari dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Pengetahuan itu tidak diberikan, akan tetapi dibangun oleh siswa.

Ketiga hal di atas, menuntut perubahan makna dalam mengajar. Mengajar jangan diartikan sebagai proses menyampaikan materi pelajaran, atau memberikan stimulus sebanyak-banyaknya kepada siswa, akan tetapi lebih dipandang sebagai proses mengatur lingkungan agar siswa belajar sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimilikinya.

Pengaturan lingkungan adalah proses menciptakan iklim yang baik seperti penataan lingkungan, penyediaan alat dan sumber pembelajaran, dan hal-hal lain yang memungkinkan siswa betah dan merasa senang belajar sehingga mereka dapat berkembang secara optimal sesuai dengan bakat, minat, dan potensi yang dimilikinya. Istilah mengajar bergeser pada istilah pembelajaran. Yang dapat diartikan sebagai proses pengaturan lingkungan yang diarahkan untuk mengubah perilaku siswa ke arah yang positif dan lebih baik sesuai dengan potensi dan perbedaan yang dimiliki siswa.

Pergeseran istilah mengajar menuju pembelajaran ini, dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang diasumsikan dapat mempermudah siswa mempelajari segala sesuatu lewat berbagai macam media, seperti media cetak, program TV, gambar, audio, dan lain sebagainya. Sehingga semua itu mendorong terjadinya perubahan peranan guru dalam mengelola proses belajar mengajar. Dari guru sebagai sumber belajar menjadi guru sebagai fasilitator dalam belajar mengajar. Hal ini seperti yang diungkapkan Gagne (1992: 3), yang menyatakan bahwa:

instruction is a set of event that effect learners
in such a way that learning is facilitated”.

Oleh karena itu, menurut Gagne, mengajar atau teaching merupakan bagian dari pembelajaran (instruction), dimana peran guru lebih ditekankan kepada bagaimana merancang dan mengaransemen berbagai sumber dan fasilitas yang tersedia untuk digunakan siswa dalam mempelajari sesuatu. Semoga bisa menambah wawasan kita dalam mengajar.


Mengoptimalkan Peran Guru dalam Proses Pembelajaran

Mengoptimalkan Peran Guru dalam Proses Pembelajaran - Ketika ilmu pengetahuan masih terbatas, ketika penemuan hasil-hasil teknologi belum berkembang hebat seperti sekarang ini, maka peran utama guru di sekolah adalah menyampaikan ilmu pengetahuan sebagai warisan kebudayaan masa lalu yang dianggap berguna sehingga harus dilestarikan. Dalam kondisi demikian guru berperan sebagai sember belajar (learning resources) bagi siswa. Siswa akan belajar apa yang keluar dari mulut guru. Oleh karena itu, ada adagium yang menyebutkan “Bagaimana pun pintarnya siswa, maka tidak mungkin dapat mengalahkan pintarnya guru”. Apakah dalam kondisi yang demikian masih tetap dapat dipertahankan? Apakah ilmu pengetahuan sebagai warisan masa lalu yang harus dikuasai itu hanya dapat dipelajari dari mulut guru? Tentu saja tidak. Dalam abad teknologi dan informasi seperti sekarang ini, siswa dapat mempelajarinya dari berbagai sumber.

Namun demikian, guru tetap mempunyai peran yang sangat penting dalam membelajarkan siswa-siswinya. Artinya bahwa bagaimanapun hebatnya kemajuan teknologi, peran guru akan tetap diperlukan. Teknologi yang konon bisa memudahkan manusia mencari dan mendapatkan informasi dan pengetahuan, tidak mungkin dapat mengganti peran guru. Lalu apa peran guru dalam kondisi demikian? Apakah guru sebagai satu-satunya sumber belajar masih tetap relevan? Apakah ada peran lain yang dianggap lebih penting? Bagaimana melaksanakan peran-peran tersebut agar proses pengajaran yang menjadi tanggung jawab lebih berhasil? Di bawah ini peran-peran guru yang sangat penting dan harus dimiliki secara personal dan professional.

Guru sebagai Sumber Belajar

Peran sebagai sumber belajar berkaitan erat dengan penguasaan materi pelajaran. Kita bisa menilai baik atau tidaknya seorang guru hanya dari penguasaan materi pelajaran. Sehingga guru berperan benar-benar sebagai sumber belajar bagi anak didiknya. Apapun yang ditanyakan siswa berkaitan dengan materi pelajaran yang sedang diajarkannya, ia akan bisa menjawab dengan penuh keyakinan. Sebaliknya, ketidakpahaman guru tentang materi pelajaran biasanya ditunjukkan oleh perilaku-perilaku tertentu, misalnya teknik penyampaian materi pelajaran yang monoton, guru sering duduk di kursi sambil membaca, suaranya lemah, tidak berani melakukan kontak mata dengan siswa, miskin dengan ilustrasi, dan lain-lain. Perilaku guru yang demikian bisa menyebabkan hilangnya kepercayaan pada diri siswa, sehingga guru akan sulit mengendalikan siswa.

Guru sebagai Fasilitator

Guru berperan dalam memberikan pelayanan untuk memudahkan siswa dalam kegiatan proses pembelajaran. Sebelum proses pembelajaran dimulai sering guru bertanya: “Bagaimana caranya agar ia (baca: guru) mudah menyajikan bahan pelajaran?” Pertanyaan ini sekilas memang ada benarnya. Melalui usaha yang sungguh-sungguh, guru ingin agar ia mudah menyajikan bahan pelajaran dengan baik. Namun demikian, pertanyaan tersebut menunjukkan bahwa proses pembelajaran berorientasi pada guru. Oleh sebab itu, akan lebih tepat manakala pertanyaan tersebut diarahkan kepada siswa. Misalnya apa yang harus dilakukan agar siswa mudah mempelajari bahan pelajaran sehingga tujuan belajar tercapai secara optimal. Pertanyaan tersebut mengandung makna kalau tujuan mengajar adalah mempermudah siswa belajar. Inilah hakikat peran fasilitator dalam proses pembelajaran.

Guru sebagai Pengelola

Dalam melaksanakan pengelolaan pembelajaran ada dua macam kegiatan yang harus dilakukan, yaitu mengelola sumber belajar dan melaksanakan peran sebagai sumber belajar itu sendiri. Artinya bahwa sebagai pengelola pembelajaran (learning manager), guru perperan dalam menciptakan iklim belajar yang memungkinkan siswa dapat belajar secara nyaman. Melalui pengelolaan kelas yang baik, guru dapat menjaga kelas agar tetap kondusif untuk terjadinya proses belajar seluruh siswa.

Guru sebagai Pembimbing

Siswa adalah individu yang unik. Keunikan itu bisa dilihat dari adanya setiap perbedaan. Artinya tidak ada dua individu yang sama. Walaupun secara fisik mungkin individu memiliki kemiripan, tetapi pada hakikatnya mereka tidaklah sama, baik dalam bakat, minat, kemampuan, dan sebagainya. Agar guru berperan sebagai pembimbing yang baik, maka ada bebrapa hal yang harus dimiliki. Pertama, guru harus memiliki pemahaman tentang anak yang sedang dibimbingnya. Pemahaman ini sangat penting, sebab akan menentukan teknik dan jenis bimbingan yang harus diberikan kepada mereka. Kedua, guru harus memahami dan terampil dalam merencanakan, baik merencanakan tujuan dan kompetensi yang akan dicapai maupun merencanakan proses pembelajaran.

Guru sebagai Motivator

Dalam proses pembelajaran, motivasi merupakan salah satu aspek dinamis yang sangat penting. Sering terjadi siswa yang kurang berprestasi bukan disebabkan oleh kemampuannya yang kurang, tetapi dikarenakan tidak adanya motivasi untuk belajar sehingga ia tidak berusaha untuk mengerahkan segala kemampuannya. Proses pembelajaran akan berhasil ketika siswa mempunyai motivasi dalam belajar. Oleh sebab itu, guru perlu menumbuhkan motivasi belajar siswa.

Guru sebagai Evaluator

Guru berperan mengumpulkan data atau informasi tentang keberhasilan pembelajaran yang telah dilaksanakan. Terdapat dua fungsi dalam memerankan perannya sebagai evaluator. Pertama, untuk menentukan keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan atau menentukan keberhasilan siswa dalam menyerap materi kurikulum. Kedua, untuk menentukan keberhasilan guru dalam melaksanakan seluruh kegiatan yang telah diprogramkan.

Semua peran-peran di atas merupakan peran yang harus dimiliki oleh seorang guru. Jadi, guru bukan hanya sekedar menyampaikan materi tapi mencakup seluruh aspek kebutuhan anak didik. Dan sekali lagi perlu penulis tekankan bahwa tidak sembarang orang bisa menjadi guru, tidak semuanya. Karena harus menempuh prosedur-prosedur tertentu yang tidak bisa dilakukan tanpa harus mengikuti pendidikan pada lembaga yang sudah ditunjuk oleh Undang-Undang sebagai lembaga pencetak guru-guru professional. Mudah-mudahan bisa bermanfaat.


Kamis, 01 Mei 2014

Model, Kontribusi dan Peran Pendidikan Islam dalam Membangun Umat

Model, Kontribusi dan Peran Pendidikan Islam dalam Membangun Umat - Berbagai bentuk dan jenis pendidikan Islam di Indonesia, seperti Pondok Pesantren, Madrasah, Sekolah Umum bercirikan Islam dan Perguruan Tinggi Islam. Selain itu, jenis Pendidikan Islam luar sekolah seperti Taman Pendidikan Alqur’an (TPA). Keberadaan lembaga-lembaga pendidikan tersebut (baca juga postingan: Terbentuknya Lembaga Pendidikan), sebagai khazanah pendidikan dan diharapkan dapat membangun dan memberdayakan umat Islam di Indonesia secara optimal, tetapi pada kenyataannya bahwa pendidikan Islam di Indonesia tidak mempunyai kesempatan yang luas untuk bersaing dalam membangun umat yang besar ini.

Perkembangan yang mencolok pada tahun 90-an adalah munculnya sekolah-sekolah elite Muslim yang dikenal. sebagai “Sekolah Islam”, “Sekolah Unggulan” atau “Sekolah Islam Unggulan”. Istilah lain yang sering digunakan adalah “SMU Model” atau “SMU Islam Model”. Contoh: Sekolah Islam al-Azhar, di komplek Masjid Agung al-Azhar di Kebayoran Baru Jakarta, SD Muhammadiyah Sapen Yogyakarya, SMU Insan Cendekia di Serpong, SMU Madinah di Parung dan MIN 1 Malang.

Model-model Pendidikan Islam

Pendidikan Islam sekarang ini juga dihadapkan pada persoalan-persoalan yang cukup kompleks, yakni persoalan globalisasi, reformasi dan masyarakat madani indonesia. Tantangan yang dihadapi sekarang adalah bagaimana upaya utuk membangun paradigma baru pendidikan Islam, visi, misi dan tujuan yang didukung dengan sistem kurikulum atau materi pendidikan (baca juga postingan: Harapan untuk Kurikulum Baru atau Kurikulum "Berpikir" 2013), manajemen dan organisasi, metode pembelajaran untuk dapat mempersiapkan manusia yang berkualitas, bermoral tinggi dalam menhadapi perubahan masyarakat global yang begitu cepat. Perubahan yang harus dilakukan oleh pendidikan Islam antara lain: (1) membangun sistem pendidikan Islam yang mampu mengembangkan SDM yang berkualitas, (2) menata manajemen pendidikan Islam dengan berorientasi pada manajemen berbasis sekolah, (3) meningkatkan demokratisasi penyelenggaraan pendidikan Islam.

Dari keempat model yang dikemukakan dapat ditarik lagi pada desain model pendidikan Islam yang lebih operasional lagi, yaitu:
  • Mendesain model pendidikan yang handal dan mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain.
  • Model pendidikan Islam tetap mengkhususkan pada desain “ pendidikan keagamaan”
  • Model pendidikan agama Islam tidak dilaksanakan di sekolah-sekolah formal tetapi dilaksanakan di luar sekolah.
  • Desain model pendidikan diarahkan pada dua dimensi, yakni: dimensi dialektika (horisontal) dan dimensi ketundukan (vertikal)
Lembaga-lembaga pendidikan Islam juga harus mendesain model-model pendidikan alternatif yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan sekarang ini. Hasim Amir mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan yang idealistik, yakni pendidikan yang integralistik, humanistik, pragmatik, dan berakar pada budaya yang kuat. (Malik Fadjar, 1999: 52)

Adapun model-model pendidikan Islam alternatif ada tiga pendekatan yang ditawarkan sebagai pola alternatif pendidikan Islam yaitu pendekatan sistematik (perubahan total) pendekatan suplementer yaitu dengan menambah sejumlah paket pendidikan yang bertujuan memperluas pemahaman, pendekatan komplementer yaitu dengan upaya mengubah kurikulum dengan sedikit radikal untuk disesuaikan secara terpadu sedangkan konsep pendidikannya adalah pendidikan integralistik, humanistik, dan gerakan pada bendaya. Kemudian baru ditarik model pendidikan sila yang lebih operasional yaitu mendesain model pendidikan umum Islami, mendesain model pendidikan Islam yang tetap mengkhususkan pada desain pendidikan keagamaan, seperti yang ada sekarang, model pendidikan Islam yang tidak dilaksanakan di sekolah-sekolah formal tetapi dilaksanakan di luar sekolah, artinya pendidikan agama dilaksanakan di rumah atau lingkungan keluarga, masjid, masyarakat (tempat kursus-kursus, pengajian-pengajian dan kajian-kajian keagamaan) serta mendesain model pendidikan diarahkan pada dua dimensi yaitu dimensi dialektika (horisontal) dan dimensi ketundukan vertikal.

Apapun model model pendidikan Islam yang ditawarkan dalam masyarakat madani Indonesia, pada dasarnya harus berfungsi untuk memberikan kaitan antara peserta didik dengan nilai-nilai ilahiyah, pengetahuan dan keterampilan, nilai-nilai demokrasi, masyarakat dan lingkungan sosio-kulturalnya yang terus berubah dengan cepat, sebab pada saat yang sama pendidkan secara sadar juga digunakan sebagai instrumen untuk perubahan dalam sistem politik dan ekonomi secara keseluruhan.

Kontribusi dan Peran Pendidikan Islam

Bagaimana kontribusi dan peran pendidikan Islam dalam masyarakat madani dalam buku Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masarakat Madani Indonesia Karya Drs. Hujair AH. Sanaky, MSI. ini dimaksudkan agar pendidikan Islam mempersiapkan dan mampu menghasilkan output pendidikan yang unggul, maka lembaga-lembaga pendidikan Islam harus mampu melakukan pembenahan dan pembaharuan dengan cara: program lembaga-lembaga pendidikan Islam lebih diorentasikan kepada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengembangan ketrampilan dengan meningkatkan kemampuan untuk menggunakan berbagai teknologi elektronik, lembaga-lembaga pendidikan Islam harus mampu mengembangkan atau melakukan depresivikasi program-program bidang studi yang sesuai dengan kebutuhan tenaga dibidang-bidang tertentu atau sesuai dengan kurikulum dan silabi relevan dengan kompetensi mencakup spiritual, illahiyah, knowledge, skill, ability dan kultural-sosial yang diarahkan pada kebutuhan pasar. Diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas, manajemen dan organisasi yang efektif, sumber dana yang memadai dan efisien dengan memanfaatkan sarana yang tersedia. Sehingga eksistensi pendidikan Islam diharapkan mampu berkomunikasi dan berkompetisi dengan berbagai lembaga pendidikan lainnya dalam membangun manusia yang utuh (insan kamil) menuju masyarakat madani.

Untuk menuju masyarakat madani di indonesia paling tidak pendidikan peran pendidikan Islam dapat mempersiapkan atau memproses manusia yang akan memiliki kemampuan intelektual, keterampilan atau kemahiran, kemampuan sosial, kemampuan membangun masyarakat yang beradab, memiliki kemampuan kinerja tinggi serta memiliki kemampuan spiritual ilahiyah yang tinggi. Untuk mewujudkan peran diatas pendidikan Islam perlu melakukan perubahan dengan mendesain ulang konsep filosofis yang jelas dan baku, visi misi tujuan dan fungsi lembaga , kurikulum, materi dan proses pendidikannya agar dapat memenuhi tuntutan perubahan dan kebutuhan masyarakat.

Implementasi IESQ bagi Optimalisasi Perkembangan Peserta Didik

Implementasi IESQ bagi Optimalisasi Perkembangan Peserta Didik - Di dalam Al-Qur’an, kecerdasan intelektual dapat dihubungkan dengan beberapa kata kunci seperti kata ‘aql yang terulang sebanyak 49 kali dan tidak pernah digunakan dalam bentuk kata benda (Ism) tetapi hanya digunakan dalam bentuk kata kerja (Fi’il), yaitu bentuk fi’il madli sekali dan bentuk fi’il mudlari’ 48 kali. Penggunaan kata ‘aql dalam ayat-ayat tersebut pada umumnya digunakan untuk menganalisis fenomena hukum alam sebagai tanda kebesaran Allah (baca: surat al-Baqarah ayat 164).

Namun, penguasaan kecerdasan intelektual bukan jaminan untuk memperoleh kualitas iman atau kualitas spiritual yang lebih baik, karena terbukti banyak orang yang cerdas secara intelektual tetapi tetap kufur terhadap Tuhan. Hal ini juga ditegaskan di dalam surat al-Baqarah ayat 75. Ayat ini mengisyaratkan bahwa bahwa kecerdasan intelektual terkadang digunakan untuk melegitimasi kekufuran. Padahal, idealnya kecerdasan intelektual digunakan untuk memperoleh kecerdasan-kecerdasan yang lebih tinggi. Seorang ilmuan yang arif tidak berhenti pada level kecerdasan intelektual tetapi melakukan sinergi dengan kecerdasan-kecerdasan yang lebih tinggi.

Begitu juga dengan kecerdasan emosional dijelaskan dengan begitu jelas di dalam surat al-Hajj ayat 46. Ayat tersebut, cukup jelas menggambarkan kepada kita bahwa faktor kecerdasan emosional ikut serta menentukan eksistensi martabat manusia di hadapan Tuhan. Menurut Nasr, emosi inilah yang menjadi faktor penting yang menjadikan manusia sebagai satu-satunya makhluk eksistensialis, yang bisa turun naik derajatnya di hadapan Tuhan. Binatang tidak akan pernah meningkat menjadi manusia dan malaikat tidak akan pernah turun menjadi manusia karena mereka tidak memiliki unsur kedua dan unsur ketiga seperti yang dimiliki manusia.

Emosi sejak lama dianggap memiliki kedalaman dan kekuatan sehingga dalam bahasa latin, motus anima yang arti harfiahnya jiwa yang menggerakkan kita [1].  Inteligensi emosional dibutuhkan oleh semua pihak untuk dapat hidup bermasyarakat termasuk di dalamnya menjaga keutuhan hubungan sosial, dan hubungan sosial yang baik menuntun seseorang untuk memperoleh sukses di dalam hidup seperti yang diharapkan. Di samping itu, kemampuan seseorang untuk mengendalikan emosinya dengan baik akan mempengaruhi proses berpikirnya secara positif pula. Sebagai contoh, apabila cepat merasa resah maka konsentrasinya mudah terganggu. Sebaliknya, jika ia dapat menenangkan dirinya dalam menghadapi tekanan sosial, konsentrasinya tidak mudah goyah dan akan lebih mampu mempertahankan efektivitas kerjanya. Seseorang dengan taraf inteligensi emosional yang baik cenderung lebih mampu mengendalikan amarah dan bahkan mengarahkan energinya ke arah yang lebih positif, bukan ke arah ekspresi yang negatif atau destruktif. Misalnya, akibat rasa kecewa ia justru berusaha memperbaiki langkah-langkah di dalam hidupnya agar kekecewaannya tidak lagi terulang. Sebaliknya, seseorang dengan taraf inteligensi emosional yang rendah mungkin bertindak eksplosif dan destruktif merasa kecewa [2].

Kecerdasan spiritual berkaitan langsung dengan unsur ketiga manusia yang disebut dengan ruh. Keberadaan ruh dalam diri manusia merupakan intervensi langsung Allah Swt tanpa melibatkan pihak-pihak lain sebagaimana halnya proses penciptaan lainnya. Hal ini dapat dipahami melalui penggunaan redaksional ayat 29 dalam surat al-Hijr. Ayat tersebut menggunakan kata (dari ruh-Ku), bukan kata (dari ruh Kami) sebagaimana lazimnya pada penciptaan makhluk lain. Ini mengisyaratkan bahwa roh yang ada dalam diri manusia itulah yang menjadi unsur ketiga (ruh) dan unsur ketiga ini pula yang menyebabkanseluruh makhluk harus sujud kepada Adam. Ini menggambarkan seolah-olah ada obyek sujud lain selain Allah. Unsur ketiga ini pula yang membackup manusia sebagai khalifah (representatif) Tuhan di bumi.

Kehadiran ruh atau unsur ketiga pada diri seseorang memungkinkannya untuk mengakses kecerdasan spiritual. Namun, upaya untuk mencapai kecerdasan itu tidak sama bagi setiap orang. Seorang Nabi atau wali tentu lebih berpotensi untuk mendapatkan kecerdasan ini, karena ia diberikan kekhususan-kekhususan yang lebih dibanding orang-orang lainnya. Namun tidak berati manusia biasa tidak bisa mendapatkan kecerdasan ini.

Keberadaan IQ, EQ, dan SQ sebenarnya telah termuat dalam pendidikan di Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya IQ pada pelajaran Sains, IPA, Matematika dan mata pelajaran lainnya. EQ juga dapat ditemukan pada pendidikan moral baik melalui pendidikan Pancasila maupun pedidikan Kewarganegaraan. Sementara SQ juga dapat ditemukan pada Pendidikan Agama. Tetapi semuanya terpetak-petak dan tidak terintegerasi dalam satu kesatuan yang saling berhubungan. Hasil yang didapat oleh siswa adalah bagaimana bisa mengerjakan dengan baik soal-soal dari pelajaran-pelajaran tersebut. Keberhasilan siswa dalam belajar diukur dengan nilai yang didapat pada tes ataupun ujian saja, walaupun mereka tidak memahami kandungan yang sesungguhnya dari mata pelajaran yang bersangkutan. Peranan guru lebih cenderung hanya memberikan materi dan menjawab kesulitan siswa terhadap materi yang diberikan oleh guru. Makna-makna di balik materi kurang begitu diangkat, padahal disinilah peluang agar guru bisa menjalankan tugasnya, yaitu mengajar sekaligus mendidik siswa. Sehingga hal-hal seperti ini telah menyebabkan ketidak seimbangan kecerdasaan, baik IQ, EQ, maupun SQ pada diri siswa.





Reff:

[1] Cooper, Robert K. Dan Ayman Sawaf. Executive EQ (Kecerdasa Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi), Terj. Alex Tri Kantjono Widodo, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2002. hal. xiv.
[2] Satiadarma, Monty P. dan Fidelis E. Waruwu. Mendidik Kecerdasan, Jakarta: Pustaka Populer Obor. 2003. hal. 36.



Rabu, 30 April 2014

Demokratisasi Pendidikan Islam Menuju Terbentuknya Masyarakat Madani Indonesia

Demokratisasi Pendidikan Islam Menuju Terbentuknya Masyarakat Madani Indonesia - Masyarakat madani pada prinsipnya memiliki makna ganda, yaitu masyarakat yang beriman, berpengetahuan, demokrasi, toleransi, memiliki potensi, aspirasi, motivasi dan hak asasi. Namun yang paling dominan adalah masyarakat yang demokrasi. Masyarakat madani juga merupakan masyarakat yang religius [1]. Maka pendidikan dalam hal ini Pendidikan Islam harus mampu membangun masyarakat demokratis, beradab, religius ilahiyah, masyarakat yang menghargai hak asasi manusia, menghargai perbedaan paham, pluralitas, memiliki partisipasi sosial yang tinggi dengan menjunjung nlai-nilai etika dan moral sehingga dapat terwujud masyarakat madani indonesia yang religius dan demokratis. 

Pendidikan Islam seperti madrasah, pesantren, dan lembaga-lembaga Islam lainnya, dalam proses belajar mengajarnya dapat melaksanakan demokratisasi pendidikan di kelas sehingga mampu membawa membawa peserta didik untuk dapat menghargai kemampuan dan kemajemukan teman dan guru atau menghargai perbedaan-perbedaan yang ada. Demokratisasi pendidikan juga dapat ditempuh dengan mengajarkan hal-hal yang berhubungan dengan dunia sekarang yang sangat dibutuhkan oleh peserta didik dan masyarakat (pragmatisme), tanpa harus melupakan hari kemarin [2]. Sebagai contoh jika peserta didik kebanyakan berlatar belakang masyarkat petani, maka orangtuanya cenderung menuntut hasil nyata dari pendidikan anaknya agar mampu meningkatkan produktivitas hasil pertanian, dan seterusnya.

Demokratisasi Pendidikan Islam Menuju Terbentuknya Masyarakat Madani IndonesiaFreire menyarankan upaya untuk mencapai demokratisasi pendidikan yang berwawasan adalah dengan menciptakan kebebasan intelektual antara pendidik dan peserta didik dalam proses belajar mengajar di kelas. Proses belajar harus terbuka, penuh dialog dan penuh tanggung jawab antara pendidik dan peserta didik dalam bentuk egaliter dan kesetaraan [3].

Pendidikan dan Pendidikan Islam selama ini terkesan menganut asas subject matter oriented yang membebani peserta didik dengan informasi kognitif dan motorik yang kadang-kadang kurang relevan dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan psikologi peserta didik. Dengan pendidikan yang demokratisasi tentu akan terjadi kesetaraan atau sederajat dalam kebersamaan antara peserta didik dengan pendidik. Pengajaran tidak harus top down namun harus diimbangi dengan bottom up sehingga tidak ada lagi pemaksaan kehendak pendidik, tetapi yang akan terjadi adalah tawar menawar kedua belah pihak dalam menentukan tujuan, materi, media, proses belajar mengajar dan evaluasi hasil belajarnya [4].

Demokratisasi pendidikan merupakan pendidikan hati nurani, artinya pendidikan yang lebih menghargai potensi manusia dikatakan lebih humanis beradab dan sesuai dengan cita-cita masyarakat madani (baca juga postingan: Fondasi Humanisme dalam Pendidikan). Tilaar, menyatakan bahwa tuntutan terbentuknya masyarakat madani Indonesia, mengandung berbagai unsur, yaitu: (1) kebebasan intelektual, (2) kesempatan untuk bersaing (3) mengembangkan kepatuhan spiritual dan moral, (4) pendidikan yang mengakui untuk berbeda dan (5) percaya kepaada kemampuan manusia [5].

Demokratisi pendidikan di dalam masyarakat madani adalah bagaimana proses pendidikan Islam dapat menyiapkan peserta didik agar terbiasa bebas berbicara dan mengeluarkan pendapat secara bertanggung jawab dan turut bertanggung jawab, terbiasa mendengar dengan baik dan menghargai pendapat dan pandangan orang lain menumbuhkan keberanian moral yang tinggi, dan mempelajari kehidupan masyarakat.





Reff:

[1] Husaini Usman, Menuju Masyarakat Madani Melalui Demokrasi Pendidikan, From http:www.depdiknas.go.id/Jurnal/28/menuju-masyarakat-madani-melalui.htm, tgl 11-9-2001.
[2] Shannon, Gagasan Baru Dalam Pendidikan, (Jakarta: Mutiara, 1978), hlm. 32.
[3] P. Freire, Pendidikan Sebagai Praktik Pembebasan, (Jakarta: Gramedia, 1984), hlm. 24.
[4] Taroepratjeka, “Pengembangan, Pendidikan Tinggi dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua I” makalah seminar Temu alumni IKIP Yogyakarta, 18 Mei 1996, hlm. 3.
[5] H.A.R Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, (Bandung: Remaja Rosdakarya. 1999). hlm. 172-174.


Upaya Menjadikan Calon Kepala Sekolah Masa Depan dengan On The Job Learning di Sekolah Magang

Upaya Menjadikan Calon Kepala Sekolah Masa Depan dengan On The Job Learning di Sekolah Magang - Bila seorang guru (baca juga postingan: Guru Idola Siswa atau Harapan Besar Bangsa terhadap Guru) dan ingin mendapatkan tugas tambahan sebagai kepala sekolah tentu harus mempelajari Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 28 Tahun 2010 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah/Madrasah (baca juga postingan: Kompetensi Guru dalam Penerapan Tugas Keprofessionalannya). Peraturan ini menguraikan syarat-syarat dan tahapan yang harus dilalui seorang guru untuk dapat diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah. Proses penyiapan calon kepala sekolah/madrasah melalui rekrutmen serta pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah/madrasah. Rekrutmen meliputi proses pengusulan calon, seleksi administratif, dan seleksi akademik. Sedangkan pendidikan dan pelatihan adalah proses pemberian pengalaman pembelajaran teoritik maupun praktik kepada para calon yang telah lulus rekrutmen. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional calon kepala sekolah yang telah diseleksi administrasi kemudian tes tertulis oleh Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kepala Sekolah (LP2KS) dan dinyatakan layak menjadi calon kepala sekolah dihadapkan pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah menyatakan bahwa kepala sekolah sebagai pimpinan tertinggi di sekolah dituntut memiliki lima dimensi kompetensi, yaitu kompetensi kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi, dan sosial. Sebagai konsekuensinya, secara akademik pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah harus mampu menjamin adanya peningkatan kelima kompetensi tersebut.

Jadi, calon kepala sekolah (cakasek) harus membekali diri dengan pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan Badan Diklat di tingkat Kabupaten yaitu Badan Kepegawaian Daerah (BKD) bekerjasama dengan LP2SK. Seiring dengan layaknya seorang cakasek tidak serta merta dilantik dan ditempatkan di sekolah sebagai kepala sekolah baru, tahapan selanjutnya setelah diklat adalah upaya cakasek membekali ilmu di lapangan dengan mengikuti kegiatan OJL.

Upaya Menjadikan Calon Kepala Sekolah Masa Depan dengan On The Job Learning di Sekolah MagangOn the Job Learning merupakan salah satu upaya untuk memberikan tambahan bekal berupa pengalaman bekerja sebagai calon kepala sekolah di sekolah sendiri maupun di sekolah lain yang relevan dengan kebutuhan pengembangan potensi kompetensi calon kepala sekolah. Oleh karena itu, pengembangan mutu proses pembelajaran OJL difokuskan pada upaya untuk mempraktekkan pengetahuan keterampilan dan sikap yang telah dipelajari selama diklat In Service Learning I. Menerapkan rencana tindakan kepemimpinan, mensupervisi guru, menyusun perangkat pembelajaran, mengkaji pengelolaan berbagai aspek manajerial merupakan bentuk-bentuk praktek lapangan yang harus dilakukan oleh calon kepala sekolah.

Untuk menjadi kepala sekolah masa depan, dalam OJL para calon kepala sekolah sangat diharapkan untuk mampu melaksanakan program magang di sekolah sendiri dan sekolah mitra untuk benar-benar belajar tentang pengelolaan sekolah masa depan. Kegiatan OJL diklat calon kepala sekolah dilaksanakan dalam durasi minimal 200 jam pelatihan, setara selama tiga bulan. Pelaksanaan kegiatan OJL di sekolah sendiri dan di sekolah lain ditetapkan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten berdasarkan kesepakatan dengan lembaga penyelenggara diklat.

Program OJL terdiri dari: a) Pelaksanan Rencana Tindak Kepemimpinan; b) Pelaksanaan Observasi terhadap Guru Junior; c) Menyusun Perangkat Pembelajaran (Silabus, RPP, dan Bahan Ajar); d) Pelaksanaan Tugas-Tugas Mandiri (Kajian-kajian); e) Pelaksanan Peningkatan Kompetensi Berdasarkan AKPK; dan f) Penyusunan Portofolio serta Materi Presentasi Hasil OJL.

Rencana Tindak Kepemimpinan adalah upaya untuk meningkatkan kompetensi dan kualitas kinerja calon kepala sekolah/madrasah, kegiatan tersebut harus relevan dengan hasil analisis AKPK individu yang terlemah dipadukan dengan hasil EDS mencakup Standar Isi, Proses, Penilaian untuk mencapai nilai SKL, dalam upaya peningkatan kualitas kinerja. Matriks RTK yang telah disusun pada saat In Service Learning I dikonfirmasikan dengan kepala sekolah mentor dan hasil Evaluasi Diri Sekolah. Pelaksanaan RTK dilakukan minimal 2 siklus.

Observasi pembelajaran terhadap guru junior dilakukan untuk menerapkan keterampilan konseptual, teknikal, dan interpersonal dalam melaksanakan supervise akademik di sekolah. Observasi dilakukan pada dua orang guru dengan dua kali pelaksanaan observasi. penyusunan perangkat pembelajaran dilakukan untuk satu kompetensi dasar pada satu mata pelajaran yang diampu.

Tugas mandiri berupa pengkajian untuk mempersiapkan calon kepala sekolah memahami berbagai kegiatan pengelolaan atau manajerial di sekolah yang mencakup; a) Penyusunan Rencana Kerja Sekolah; b) Pengelolaan Kurikulum; c) Pengelolaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan; d) Pengelolaan Sarana dan Prasarana Sekolah; e) Pengelolaan Peserta Didik; f) Pengelolaan Keuangan Sekolah; g) Pembinaan Tenaga Administrasi Sekolah; h) Pemanfaatan TIK dalam pembelajaran; dan i) Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi. Pengkajian minimal mencakup aspek kondisi ideal, kondisi nyata yang terjadi di sekolah kemudian menemukan kesenjangan dan mencari alternative solusi pemecahannya. Hasil kajian kemudian dikonfirmasikan di sekolah magang (lain).

Upaya peningkatan kompetensi bernasis AKPK di sekolah lain adalah kegiatan calon kepala sekolah untuk meningkatkan kompetensinya berdasarkan kebutuhan individu dengan belajar dari kepala sekolah mentor. Penyusunan portofolio sebagai laporan hasil OJL dilengkapi bahan presentasi. Presentasi dilakukan melalui penyajian lisan dan menggunakan alat bantu computer/PC dengan program aplikasi Power Point selama minimal 30 menit per peserta dan dilaksanakan pada saat diklat In Service Learning 2.

On The Job Learning menggunakan metode experiental learning. Selama pelaksanaan On The Job Learning (OJL), lembaga penyelenggara diklat melaksanakan program pendampingan tiga kali. Pendampingan pertama dilakukan untuk mengidentifikasi permasalahan, kesulitan, dan kendala yang dihadapi selama melaksanakan OJL dan membantu mengatasi permasalahan, kesulitan, dan kendala tersebut. Strategi pendampingan dilakukan berupa tatap muka di kelas dengan petugas pendampingan/master trainer.

Pendampingan kedua dilakukan untuk mengidentifikasi permasalahan, kesulitan, dan kendala yang terjadi di lapangan upaya mendapatkan masukkan dari kepala sekolah mentor. Strategi pendampingan dilakukan berupa tatap muka di kelas dengan calon kepala sekolah.

Jadi, para calon kepala sekolah harus dapat memanfaatkan waktu dan peluang untuk belajar menjadi cakasek masa depan dengan melakukan sinergitas dengan para kepala sekolah mentor dan master trainer dari LP2SK.

Tugas dan tantangan kepala sekolah semakin berat dengan berlakunya banyak regulasi yang mengatur guru, sekolah, dan kepala sekolah terlebih lagi kurikulum 2013 yang sudah dilaksanakan menuntut peran kepala sekolah masa depan.






--------- Tri Boedy Harmanto, S.Pd 
(Guru Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 3 Songgom Kabupaten Brebes)

Kamis, 10 April 2014

Pendidikan Interaktif: Bukti Allah Maha Kuasa

Pendidikan Interaktif: Bukti Allah Maha Kuasa - Usia 6-12 merupakan masa yang paling penting bagi anak. Hal-hal yang dapat dipelajari pada usia tersebut akan menjadi pijakan bagi anak untuk berkembang ke tahap berikutnya. Pada kesempatan kali ini akan dipaparkan bagaimana membelajarkan anak untuk memahami pengajaran Islam tentang “Bukti Allah Maha Kuasa”. Langsung saja menuju ke TKP.

Aktivitas

Tanya Jawab, Cerita, retelling (Menceritakan kembali), dan Sharing.

Tujuan

Anak mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Anak menemukan bukti bahwa Allah memang Maha Kuasa sehingga iman yang dimiliki anak akan semakin kuat.

Media

Telur dan Jarum Jahit

Prosedur

  • Orang tua mengajak anaknya ke taman bermain sambil membawa telur dan jarum jahit.
  • Orang tua mengajak anaknya mengamati pemandangan alam di sekitar taman dalam waktu sekitar 20 menit (orang tua dapat membuat sebuah permainan yang menarik bagi anak). Setelah itu, orang tua mengeluarkan telur dan jarum jahit, lalu memberikan pertanyaan pada anak, “Nak, menurut kamu, bisa tidak Allah memasukkan dunia ke dalam telur ini? Atau bisa tidak Allah memasukkannya ke dalam lubang jarum jahit yang kecil ini?”
  • Beri kesempatan kepada anak untuk menjawab. Apapun jawabannya, orang tua jangan mengatakan dulu bahwa jawaban itu benar atau salah.
  • Perintahkan anak untuk mencari jawaban dengan mengamati segala sesuatu yang ada di luar dan di sekelilingnya. Berikan waktu sekitar 10 menit agar anak berusaha untuk mencari jawaban.
  • Setelah 10 menit, orang tua menanyakan hasil pencarian mereka tentang pertanyaan yang diberikan kepada anak.
  • Anak mencarikan hasil pencariannya, biarkan anak mengeksplorasi kemampuannya untuk menjelaskan hasil pencariannya.
  • Setelah anak memberikan jawabannya, orang tua dapat menjelaskan tentang bukti bahwa Allah Maha Kuasa melalui “Kisah Nabi Idris dan Iblis”, atau “Kisah Seorang Murid dan Seorang Yahudi”.
  • Sebaiknya orang tua menyiapkan ceritanya dalam bentuk grafik, gambar, peta, atau flipchart berwarna karena hal ini akan menarik dan memudahkan anak dalam merekam cerita. Dalam cerita, orang tua sebaiknya memerhatikan intonasi sehingga anak memiliki ketertarikan terhadap cerita.

"Kisah Nabi Idris dan Iblis"

Pada suatu hari, Iblis datang ke rumah Nabi Idris dengan maksud untuk menguji Nabi Idris a.s. Iblis pun kemudian mengetuk pintu sambil memanggil nama Nabi Idris. Pintu pun terbuka dan tampaklah Nabi Idris a.s di hadapan Iblis. Lalu, Iblis mengajukkan pertanyaan, “Bisakah Allah memasukkan dunia ke dalam telur?”.
Nabi Idris masuk ke dalam rumah dan membawa sebuah jarum jahit. Di hadapan Iblis, Nabi Idris kemudian berbicara sambil menutup salah satu matanya, sementara mata yang satunya lagi melihat ke arah lubang jarum yang dipegangnya, “Jangankan telur, ke dalam lubang jarum ini saja, Allah sanggup memasukkan dunia beserta isinya”.
Iblis pun tidak mampu berkata apa-apa lagi. Iblis pergi dengan kegagalan.
  • Setelah selesai bercerita, orang tua dapat meminta anaknya untuk menceritakan kembali kisah itu dan menanyakan hikmah yang dapat diambil dari kisah tersebut. Lalu meminta anak mengaitkan simpulannya dengan materi Allah Maha Kuasa.
  • Sharing tentang materi Allah Maha Kuasa hingga anak memiliki pemahaman yang lebih mendalam.

Multiple Intelligence

Dengan metode tersebut, minimal ada tujuh kecerdasan anak yang dapat dikembangkan.
  • Kecerdasan naturalis dan kinestetik berkembang ketika anak diajak pergi ke taman.
  • Kecerdasan logis dan spasial berkembang ketika anak merekam peristiwa.
  • Kecerdasan verbal, logis, spasial, interpersonal, intrapersonal berkembang ketika anak retelling (menceritakan kembali) kisah yang direkamnya.
Untuk mendownload cerita "Kisah Seorang Murid dan Seorang Yahudi", klik link di bawah ini.



Minggu, 30 Maret 2014

Sejarah Pendidikan: Terbentuknya Lembaga Pendidikan

Sejarah Pendidikan: Terbentuknya Lembaga Pendidikan - Mayarakat Indonesia yang tengah berupaya mengejar ketertinggalan dari budaya dan perubahan social yang mengglobal, aspek manusia merupakan bagian yang sangat menentukan dari kehidupan berbangsa dan bernegara yang berharap memperoleh kemajuan dan perubahan. Salah satu syarat untuk itu, aspek yang perlu diperhatikan dalam mencermati keadaan manusia Indonesia adalah kualitas pendidikannya. Karena itu, pendidikan sangat besar manfaat dan peranannya dalam pembangunan nasional.

Ini artinya bahwa pendidikan bagi bangsa Indonesia adalah suatu proses upaya yang dilakukan secara sadar untuk selalu meningkatkan nilai perilaku individu masyarakat, dari keadaan tertentu ke suatu keadaan yang lebih baik. Karena itu, ditinjau dari segi historisnya, pendidikan terjadi dari unit yang paling kecil pada suatu masyarakat yaitu antara suami dan istri atau antara orang tua dengan anak-anaknya di lingkungan keluarga kemudian berproses sehingga terjadi pada keluarga yang lebih besar yang terdiri dari kakek, nenek, paman, bibi, dan beberapa anggota keluarga lain yang ada di lingkungan keluarga besar. Pada proses berikutnya, pendidikan terjadi di lingkungan masyarakat terbatas sampai ke lingkungan masyarakat yang terorganisasi yakni bangsa dan Negara. Dan segi historis inilah sehingga para ahli pendidikan mengklasifikasikannya ke dalam tiga bentuk yaitu pendidikan informal dimana proses dan bentuk pendidikan yang diselenggarakan di lingkungan keluarga. Pendidikan non-formal, proses dan bentuk pendidikan yang diselenggarakan di lingkungan masyarakat. Dan pendidikan formal, yaitu bentuk pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah atas dukugan keluarga dan masyarakat.

Sejarah Pendidikan: Terbentuknya Lembaga PendidikanDalam praktek kehidupan sehari-hari, bentuk pendidikan yang dianggap baik oleh suatu masyarakat kecil sekalipun sangat tergantung pada sistem nilai yang berlaku di lingkungan masyarakat. Jika suatu masyarakat mengakui bahwa keputusan yang terbaik merupakan hasil keputusan dari seseorang maka dalam masyarakat tersebut, semua jenis keputusannya harus ditentukan oleh bapak dan dianggap tidak patut jika ada keputusan yang ditentukan oleh orang atau anggota masyarakat lain. Bentuk pendidikan seperti ini umumnya dilaksanakan di tengah-tengah masyarakat seperti majlis ta’lim, pembimbingan dan pengajaran dasar-dasar al-Quran yang berlangsung di madrasah-masjid atau di madrasah diniyah dan pendidikan Islam yang berlangsung di pondok pesantren. Sistem pendidikan ini, berbeda dengan pendidikan yang diselenggarakan di lingkungan keluarga. Bentuk dan sistem pendidikan informal, dapat dikategorikan ke dalam bentuk pendidikan penokohan dimana ayah atau ibu yang dijadikan sebagai pendidik atau seorang tokoh yang terbaik.

Upaya untuk memperbaiki dan merawat bentuk pendidikan yang tengah berlangsung, baik yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat maupun yang berlangsung di lingkungan keluarga perlu dipahami terlebih dahulu nilai-nilai dasar apa yang berlaku sehingga akan diketahui pola berpikir mana yang terpola hasil dari sistem pendidikan yang bersifat patron clien itu. Begitu juga dengan pola asuh yang dilakukan generasi patron clien akan diketahui, bagaimana ketika mereka bermasyarakat dan bermain dengan teman-temannya di lembaga pendidikan sekolah ataupun di lingkungan rumahnya. Dengan kalimat lain, bentuk pola asuh pendidikan informal maupun nonformal sangat ditentukan oleh nilai yang berlaku pada sistem pendidikan yang sedang berlangsung.

Lembaga adalah prosedur yang tetap bentuknya dalam melakukan kegiatan-kegiatan kelompok. Sedangkan lembaga pendidikan, merupakan perwujudan dari hubungan antar personal yang didasari oleh berbagai motif yang menjadi intensif ke satu arah dan kurang intensif ke arah yang lain. Kesamaan motif dalam membantu anak-anak untuk mencapai kedewasaan masing-masing inilah yang mendorong terbentuknya kelompok yang disebut sekolah. Dengan kata lain, lembaga pendidikan adalah salah satu bentuk ikatan kerjasama antar orang yang bermaksud mencapai tujuan yang disepakati bersama. Ungkapan ini menggambarkan bahwa setiap kegiatan kependidikan selalu melibatkan sekurang-kurangnya dua orang yang masing-masing menjalankan fungsinya sebagai pendidik dan peserta didik. Dengan demikian, terwujudnya suatu lembaga pendidikan adalah dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan sekelompok orang (group interest) dalam mempersiapkan anak-anaknya untuk memasuki lingkungan masyarakat yang maju.

Usaha lembaga pendidikan sekolah dalam mendidik siswa tidak berarti mengurangi tanggung jawab keluarga dalam mendewasakan anak-anaknya. Peranan orang tua sebagai pendidik sejati, tidak bisa digeser oleh para pendidik di lembaga pendidikan sekolah. Sebab realitas kegiatan kependidikan yang ada di lembaga pendidikan sekolah berlaku universal, jumlah anak-anak yang cukup banyak dan berasal dari berbagai latar belakang orang tua. Kenyataan inilah sehingga sekolah tidak mungkin memberikan perhatian intensif kepada setiap muridnya secara perorangan. Karena itulah maka, pebentukan kepribadian dan watak anak tetap berada sepenuhnya pada orang tuanya di tengah-tengah keluarganya.

Namun demikian, tidak dapat dibantah bahwa kegiatan kependidikan di lembaga pendidikan sekolah tidak lepas dari aspek pembentukan kepribadian dan watak anak-anak. Untuk itu sesuai dengan berbagai keterbatasan yang ada pada lembaga pendidikan sekolah, maka kegiatan kependidikan di lembaga pendidikan sekolah tidak akan mencapai hasil yang memuaskan tanpa melibatkan masyarakat dan keluarga. Antara lembaga pendidikan sekolah dan orang tua diperlukan kerjasama atas dasar saling mengisi kekurangannya masing-masing.

Pendidikan ditinjau dari segi institusi, merupakan sebuah sistem yang terdiri dari beberapa sub sistem yaitu antara lain, pendidik, peserta didik, kurikulum, dan metode pembelajaran. Ditinjau dari segi pelaksanaannya, lembaga pendidikan termasuk ke dalam sistem terbuka yang senantiasa mengadakan kontak atau hubungan dengan sistem-sistem lain yang ada di lingkungannya (Tatang M. Amrin, 1986). Secara kelembagaan ini, suatu kegiatan pendidikan dapat dikategorikan sebagai sebuah sistem, jika di dalamnya terdapat beberapa aspek pendukungnya. Aspek pendukung dimaksud antara lain: pendidik, peserta didik, materi pendidikan, sarana dan fasilitas pendidikan, kepala sekolah dan tenaga administrasi. Tetapi secara teoritis, proses pendidikan akan berproses jika di dalamnya terdapat tentang tiga hal, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Tanpa ketiganya, bukanlah proses pendidikan melainkan proses pelatihan.

Kenyataan tersebut menggambarkan bahwa lembaga-lembaga pendidikan sekolah memposisikan diri sebagai lembaga pendidikan yang mengutamakan kognitif, sedangkan lembaga-lembaga pendidikan luar sekolah terutama yang bersifat keagamaan memposisikan diri sebagai lembaga pendidikan yang mengutamakan afektif dan psikomotor. Kaitan dengan ini, Harun Nasution (1995: 10) mengemukakan bahwa, pengembangan daya akal menjadi perhatian pendidikan sekolah, dan pengembangan daya hati nurani menjadi tugas pendidikan agama. Karena itulah sehingga perhatian lembaga-lembaga pendidikan sekolah dipusatkan pada pembangunan iptek yang mempesona, sehingga secara otomatis pengembangan daya akal mendapat porsi utama. Sementara itu, pengembangan daya hati nurani sedikit sekali mendapatkan perhatian.

Mengurai Benang Rawut Pendidikan Kita

Mengurai Benang Rawut Pendidikan Kita - Secara esensi tujuan pendidikan adalah membangun mentalitas manusianya sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 1, di dalamnya disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negera. Dari stetemen ini jelaslah bahwa apabila produk pendidikan tidak mengarah ke arah tersebut, maka dapat dikatakan pembangunan manusia melalui pendidikan menuju kegagalan, atau dengan bahasa yang lebih halus tujuan pendidikan mengalami pembiasan akut.

Kegagalan atau pembiasan ini harus disadari serta diakui secara jantan oleh semua pemangku kepentingan (stakeholders) penyelenggara pendidikan nasional, baik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Dewan Perwakilan Rakyat, departemen dan dinas terkait, serta masyarakat luas bahwa apa yang selama ini dilaksanakan tidak mencapai hasil yang diinginkan, dengan berbagai fakta nyata terjadinya penyimpangan di lapangan. Tujuan pendidikan tidak tercapai secara substansial dan gagal secara keseluruhan, dengan indikasi output yang tidak sesuai dengan harapan.

Mengurai Benang Rawut Pendidikan Kita
Sunaryo Kartadinata (2010: 3), seorang pakar pendidikan Indonesia mengatakan bahwa membangun keutuhan bangsa melalui pendidikan dilakukan dengan upaya mencerdasankan kehidupan bangsa. Dan esensi kecerdasan kehidupan bangsa yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 dan menjadi domain utama pendidikan adalah membangun bangsa Indonesia yang berakar pada budaya, dengan segala keragamannya, untuk menjadi manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, demokratis, berkarakter, mandiri berdaya saing, dan berdaya tahan kuat di dalam percaturan hidup antar bangsa yang ditopang oleh penguasaan iptek dan seni yang terarah pada peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Penekanan kecerdasan kehidupan bangsa adalah kecerdasan kultural, yakni kecerdasan yang membudayakan dan budaya yang mencerdaskan.

Mindset

Permasalahan guru sebagai komponen pendidikan hanyalah salah satu point dari benang rawut berbagai masalah pendidikan di Negeri ini. Di samping permasalahan guru, masih terdapat masalah-masalah lain yang tidak kalah mendasar, seperti pemaknaan ulang terhadap konsep pendidikan, pemulihan arah pendidikan, pemulihan cara pandang (mindset) pendidikan, dan penguatan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), kurikulum, dan lain sebagainya. Namun kita dapat lebih arif menyikapi bahwa pelurusan mindset merupakan hal yang sangat mendasar dalam mengelola pendidikan bangsa.

Kekeliruan mindset inilah yang hingga kini ternyata yang masih menjadi anutan sebagian besar masyarakat yang beranggapan bahwa semakin pendidikan tinggi, maka kemungkinan menduduki jabatan tertentu semakin besar, dan semakin tinggi jabatan seseorang, maka ia akan semakin leluasa berbuat, walaupun dengan melanggar serangkaian norma dan tata nilai yang ada. Lebih parahnya lagi, masyarakat seperti maklum bahwa semakin tinggi pejabat maka semakin tinggi jabatannya, yaitu penghasilan di luar gaji tetap yang dibayarkan oleh Negara (rakyat), dan hal itu dipandang sah-sah saja. Maka muncullah pejabat yang menggunakan wewenangnya secara koruptif dengan segala tipu daya mengakali aliran dana yang mestinya digunakan untuk pembangunan di masyarakat. Bahkan seperti membiarkan, muncul adagium “Pejabat ora Korupsi ora Hebat”, sebuah kesalahan fatal dalam mindset masyarakat yang patut disayangkan dan harus diluruskan.

Pada sisi lain masyarakat kita sudah terjebak pada paradigma lama, yang memandang bahwa urusan dunia terpisah dengan urusan moral dan keagamaan. Sehingga ketika seseorang melanggar dan melakukan tindak kejahatan korupsi, maka ia tidak pernah mau mempermasalahkan agamanya. Korupsi dan agama dianggapnya sesuatu yang tidak terkait, tidak ada hubungannya. Padahal bila kita telusuri, masyarakat kita paling getol mempermasalahkan agama, sampai-sampai di dalam identitasnya (KTP) dicantumkan identitas agamanya. Pada sisi yang lain para koruptor itu adalah pemegang kunci dalam berbagai bidang secara structural, dia beranggapan antara agama dan perbuatan jahatnya tidak ada korelasinya, sungguh-sungguh penerapan sekularisme yang sangat kental.

Tidak bisa tidak, mindset kita harus dipulihkan terlebih dahulu dari konsep dan paradigma pendidikan yang selama ini kita yakini kebenarannya, yang pada implementasinya keliru atau mengalami penyimpangan (bias) yang sangat akut. Bukti-bukti yang menunjukkan kelirunya konsep pendidikan sangat banyak, seperti pandangan bahwa pendidikan sarana untuk mencapai kemakmuran dalam ukuran materi, bukan untuk menjadikan manusia lebih terhormat sebagai makhluk ciptaan Tuhan, sebagai alat memanusiakan manusia. Mindset yang terbentuk adalah pendidikan sebagai alat mendapatkan materi dan dunia, terlepas dari urusan norma agama.

Monster

Korelasi yang sangat mungkin terjadi dari kekeliruan mindset pendidikan adalah terbentuknya masyarakat sakit. Yaitu masyarakat yang secara mental telah dicekoki oleh konsep dan cara berpikir yang keliru. Sehingga tidak mampu lagi mengidentifikasi diri dan lingkungannya mengenai konsep kebenaran. Ideology dan nilai-nilai destruktif yang tertanam dalam benak peserta didik telah mengalami internalisasi sebagai kebenaran baru dalam diri dan masyarakat, sehingga kesalahan dan ketidak laziman dapat berubah menjadi kebenaran baru yang banyak dianut oleh orang-orang yang notabene berpendidikan tinggi, terlebih lagi mereka yang memegang peranan penting dalam masyarakat atau Negara. Mereka melakukan tindakan criminal tanpa dia menyadari bahwa yang dilakukan adalah tindakan criminal karena kebiasaan keliru tersebut telah melembaga sebagai sebuah sistem.

Lebih jauh dari itu, kesalahan dan kekeliruan mindset pendidikan dapat menjadikan manusianya menjelma sebagai sosok yang menakutkan, yang secara kasat mata adalah manusia yang bermartabat tetapi secara mental justru sangat membahayakan. Ia akan menjelma sebagai sosok yang lebih mengerikan, yaitu manusia MONSTER. Pada sosok manusia monster inilah tidak terbedakan lagi nilai-nilai kebenaran dari kebatilan, mana yang boleh dan tidak boleh menjadi racun, salah dan benar tidak ada bedanya. Dalam logika manusia monster yang terpenting adalah ia menjadi bahagia dengan segala hak-hak dan fasilitas yang diberikan dari jabatannya itu. Manusia monster dapat kita lihat bersama pada sosok koruptor yang kini setiap hari dipertontonkan di muka umum melalui media. Mereka lah sosok manusia monster, yaitu secara fisik adalah manusia yang sopan, terhormat, dan terdidik, namun mentalitasnya sangat ganas, rakus, dan menghalalkan segala cara demi memperturutkan hawa nafsunya. Para pejabat yang hobi melakukan pungutan liar dengan mengutip “jatah preman” pada setiap proyek yang dibiayai oleh uang rakyat juga merupakan manusia jenis ini. Dan kebiasaan seperti ini tidak mau diinsyafi meskipun puluhan bahkan ratusan koruptor setiap hari ditangkap, mereka bahkan merasa tidak bersalah, tidak merasa bahwa apa yang ia lakukan adalah perilaku manusia monster yang merugikan anak cucunya kelak.

Pemulihan

Bila kita menghendaki produk pendidikan yang lebih baik dari sekarang, maka proses pemulihan harus dilakukan sekarang juga, dengan sepenuh jiwa. Pemilihan ini dilaksanakan dengan melibatkan seluruh stakeholder yaitu semua pihak-pihak yang memegang peran dan pendukung kegiatan pendidikan, yaitu: [1] Sekolah, termasuk di dalamnya adalah guru, kepala sekolah, murid, dan tata usaha sekolah; [2] Pemerintah diwakili oleh para pengawas, penilik, dinas pendidikan, walikota, sampai menteri pendidikan nasional; dan [3] Masyarakat. Sedangkan masyarakat yang berkepentingan dengan pendidikan adalah orang tua murid, pengamat, dan ahli pendidikan, lembaga swadaya masyarakat, perusahaan atau badan yang membutuhkan tenaga terdidik, took buku, kontraktor pembangunan sekolah, penerbit buku, penyedia alat pendidikan, dan lain-lain.

Bila kesepakatan didapat dengan duduk bersama, maka dapat diharapkan tujuan pendidikan Negara kita dapat tercapai sebagaimana amanat pembukaan UUD 1945 dan UU yang telah disepakati, mencapai manusia yang berkarakter, dan bermental unggulan bukan isapan jempol belaka. Perlu niatan yang sungguh-sungguh dari semua elemen seperti tersebut di atas agar proses pendidikan yang susah payah kita laksanakan tidak menciptakan monster dan alien, yaitu makhluk baru yang menakutkan karena keganasan dan keterasingannya. Pemulihan juga menciptakan masyarakat yang waras, yaitu masyarakat yang patuh terhadap norma dan tata nilai yang telah disepakati. Masyarakat yang waras hanya akan terwujud dari proses dan sistem pembelajaran yang waras pula, tidak mengandung nilai-nilai yang merusak (destruktif), baik yang berasal dari luar maupun dari pelaksana pendidikan.




--------- Urip Triyono, MM
(Dosen Universitas Islam Attahiriyah Jakarta/Tegal)

Selasa, 25 Maret 2014

Mengubah Kultur Belajar dari Papan Tulis dan Kapur menuju Internet

Mengubah Kultur Belajar dari Papan Tulis dan Kapur menuju Internet - Masih banyak orang belum menyadari zaman telah berubah dengan cepat. selain faktor ekonomi, kemajuan teknologi memiliki andil besar mengakselerasi perubahan tersebut. Konsekuensinya, belajar pada era saban dan grip tentu berbeda dari belajar pada era internet. Pada era papan tulis dan kapur, peran guru sangat menonjol. Hampir semua materi datang dari guru, sedangkan murid hanya menerima. Era menerima tersebut terlihat dari siswa yang lebih banyak mendengarkan. Fungsi telinga mendapat tugas yang luar biasa. Murid jarang mendapat kesempatan menyampaikan pendapat, apalagi menyanggah argumentasi guru. Hasil itu terlihat manakala mereka menjadi mahasiswa. Pada semester awal, terlihat mahasiswa lebih asyik mendengarkan dosen mengajar.

Berdasarkan pengalaman dan observasi terbatas di kelas, butuh waktu sedikitnya 2 semester untuk menciptakan iklim supaya mahasiswa berani bertanya, berpendapat, atau beradu argumentasi. Hal penting dalam pembelajaran adalah menumbuhkan dua hal, yaitu keberanian bertanya dan memelihara sifat ingin tahu. Keingintahuan merupakan benih berharga dalam ilmu pengetahuan dan sikap kritis. Keingintahuan mewujud dalam keberanian mempertanyakan segala hal. Ilmu tidak akan berkembang tanpa ada sikap kritis. Sebenarnya, keberanian bertanya sudah muncul sejak anak mulai bisa berbicara. Anak-ank kita sangat rajin bertanya. seiring dengan perkembangannya, sebagian orang tua acap mematahkan sekaligus membungkamnya.

Kesenangan bertanya mendapat stempel negatif : cerewet atau banyak omong. Ketiadaan ruang yang cukup untuk mereka bertanya memperparah relasi tersebut. Pada masa lalu kita lebih banyak mengembangkan budaya mendengarkan. Di sekolah, siswa mendengarkan guru. Di rumah, mereka mendengarkan orang tua. Di tengah masyarakat, mereka mendengarkan sesepuh dan tokoh masyarakat. Alhasil, jangan heran mereka cenderung menjadi pasif. Mereka menganggap semua hal sudah selesai, tuntas, dan tak ada yang perlu dipertanyakan. Bukan hanya tak mau bertanya, tidak tahu akan bertanya apa, melainkan juga kehilangan sifat ingin tahu.

Bagaimana mengembangkan budaya belajar pada era internet? Pada era tersebut kita tidak dapat melepaskan melepaskan diri dari dua kata, yaitu "google" dan "youtube". Pada zaman internet, data sangatlah berlimpah ruah. Hal ini berbeda dari era sebelumnya, yang justru kesulitan mendapatkan data sehingga kita kekurangan informasi. Kini masyarakat awam pun bisa menelusuri banyak hal lewat mesin pencari Google. Selama ada jaringan internet, google menjadi kawan yang hebat. Seorang teman mengaku banyak mendapatkan secara gratis e-book melalui mesin pencari itu. Ia sedikit menyayangkan lebih banyak yang berbahasa asing ketimbang yang berbahasa Indonesia. Ia hanya berbekal keingintahuan dan ketekunan.

Teman lain menuturkan pengalamannya. Kebetulan ia menekuni hobi fotografi dan membuat video. Ia banyak menemukan apa yang diinginkannya pada youtube. Tak hanya materi berdurasi 5-10 menit tapi ia juga menemukan tiga rangkaian materi fotografi berbahasa Indonesia, masing-masing berdurasi kurang lebih 1 jam 30 menit dari fotografer terkenal Indonesia. Cobalah telusuri "Postkolonial" -- mata kuliah yang saya tempuh ketika menempuh pendidikan S2 -- atau "Membaca Puisi", atau yang lain lewat youtube. Kita bida mendapatkan beragam bahan. Meskipun audio visual juga terlacak, di Google kita lebih banyak mendapatkan data teks atau gambar. Adapun youtube merupakan terminal besar audio atau audio visual. Bila lebih suka membaca, kita cukup melacak di Google. Tapi andai merasa lebih gampang menerima materi baru melalui audio visual, kita perlu mengandalkan Youtube.

Kedua teman yang saya ceritakan itu berumur di atas 35 tahun. Mereka belajar internet pada usia mahasiswa. Adapun anak-anak kita, sejak dini telah akrab dengan internet melalui ponsel pintar. Mereka sangat familiar dengan tablet atau laptop. Jauh berbeda dari kita yang acap gagap teknologi (gaptek).

INGIN TAHU

Karena faktor usia dan perbedaan generasi, waktu yang mereka butuhkan untuk mempelajari sesuatupun lebih cepat ketimbang kita sebagai orang tua. Kita bisa melihat anak-anak SMP pun bisa berkoneksi dengan orang lain melampaui batas teritori negara, bangsa, dan bahasa. Bukankah Google juga bisa dan cepat menerjemahkan beragam bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia? Yang perlu kita lakukan terhadap anak-anak adalah menyemaikan, memupuk, dan memelihara sifat ingin tahu yang besar dari mereka. Hindari sikap ingin membungkam rasa ingin tahu mereka. Justru pancinglah agar mereka selalu ingin tahu. Keingintahuan itu menyebabkan anak kita menjadi pencari ilmu. Mereka sendiri bisa mencari informasi, materi, dan data dengan memanfaatkan Google, Youtube, atau yang lain.
Namun, bukan hanya anak atau anak didik yang harus terus belajar. Orang tua, guru, masyarakat, termasuk pemegang kekuasaan dan pengambil keputusan pun, harus selalu belajar. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana menciptakan suasana dan iklim yang menyenangkan atau menggembirakan. Belajar didefinisikan secara sederhana sebagai proses mendapatkan sesuatu yang baru. Suasana menyenangkan bukan hanya semasa anak belajar di PAUD atau TK. Kondisi itu diperlukan sepanjang masa dalam proses belajar. Melalui kegembiraan, generasi muda Indonesia akan memuaskan diri dan mencari cara mendapatkan ilmu, berangkat dari keingintahuan dalam dirinya. Belajar bukanlah paksaan, apalagi dalam kondisi tertekan, melainkan kebutuhan atas perkembangan diri dan situasi di luar. Apakah kita telah mengondisikan dan melakukan?



---------- DR. Harjito
(Dosen IKIP PGRI Semarang)