Translate

BISNIS ONLINE

Selasa, 18 Maret 2014

Potret Pendidikan: Hentikan Tes Calistung di SD!

Potret Pendidikan: Hentikan Tes Calistung di SD! - Kemendikbud melarang SD dan yang sederajat mengadakan tes membaca, menulis dan berhitung (Calistung) dalam penerimaan siswa baru. Larangan itu muncul karena ternyata masih ada sekolah dasar yang mengadakan tes calistung sebagai seleksi masuk (SM, 18/2/2014).

Jika demikian halnya, berarti sekolah tersebut telah melanggar PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang pengelolaan penyelenggaraan pendidikan yang dengan tegas tidak memperbolehkan ada tes masuk SD. Selain itu, sekolah juga telah berlaku diskriminatif karena hanya menerima calon siswa yang sudah bisa membaca, menulis, dan menghitung dan mendiskreditkan anak-anak yang belum bisa baca tulis padahal mereka juga ingin belajar.

Beberapa penafsiran mengenai alasan sekolah dasar tetap mengadakan tes calistung meski sudah ada larangan pun mengemuka. Pertama, sekolah dasar yang masih mengadakan tes calistung sebagai seleksi masuk adalah sekolah yang berhaluan pada madzhab pencapaian akademik (Academic Achievement Disource). Dalam bukunya yang berjudul "The Best Schools" Armstrong menyebutkan, pengikut madzhab itu adalah mereka yang menganggap tujuan utama pendidikan adalah mendorong dan memfasilitasi peserta didik untuk mencapai nilai setinggi-tingginya dalam tes standar. Sehingga langkah awal untuk bisa mencapai tujuan itu adalah dengan menyeleksi calon siswanya dengan indikator pencapaian minimal - memiliki kemampuan calistung - sebagai modal awal mencapai nilai akademik yang bagus. Padahal tujuan pendidikan seharusnya adalah untuk mendorong, memfasilitasi perkembangan peserta didik sebagai manusia seutuhnya dengan memperhatikan perkembangan kognitif, emosi, etika, sosial, kreativitas, dan spiritual (Armstrong, 2006).

Kedua, boleh jadi adanya tes calistung adalah upaya oknum guru agar tugas mengajarnya tidak berat. Secara praktis, tugas guru akan terkurangi karena mereka tidak perlu repot-repot mengajari membaca, menulis, dan menghitung. Mereka bisa langsung mengajarkan materi atau konsep pelajaran yang akan keluar dalam tes akhir. Padahal, di SD-lah siswa mulai belajar membaca, menulis, dan menghitung.

Ketiga, mungkin sekolah mengadakan tes hanya sebagai formalitas untuk mengambil keuntungan ekonomis. Dengan adanya tes masuk, sekolah bisa mendapatkan data siapa saja calon siswa yang lulus dan siapa yang tidak lulus. Kemudian, ketika data terkumpul pihak sekolah bisa melaporkan kepada calon wali siswa dan "tawar-menawar" bisa terjadi di situ. Orang tua siswa yang kebetulan ada kelebihan harta bisa menawarkan uang berapapun yang penting anaknya bisa masuk di sekolah tersebut.

Jika alasan itu yang ada dalam benak guru beserta staff, maka guru dan staf-nya telah mendzalimi profesinya. Bukankah guru adalah profesi yang mensyaratkan adanya profesionalisme, integritas, dan jiwa pengabdian? Tidakkah lebih baik, sekolah dasar menerima semua calon siswanya tanpa mempertimbangkan kemahiran calistung? Sekolah melaksanakan seperti apa yang telah diamanatkan PP Nomor 17 Tahun 2010 bahwa semua SD harus menerima siswa yang mendaftar selama masih kuota kelas masih ada.

Multiple Intelligences Survey

Atau, tidakkah sebaiknya sekolah mengadakan Multiple Intelligences Survey (MIS) seperti yang telah dilakukan oleh Munif Chatib yang terangkum dalam bukunya "Sekolahnya Manusia" dan "Gurunya Manusia" dari pada mengadakan tes calistung yang tidak jelas dan tidak bermanfaat tujuannya? MIS adalah survey yang dilakukan dengan memberikan questionnaire atau dengan gambar seperti yang telah dikembangkan oleh Mac Kenzie kepada calon siswa untuk mengetahui kecerdasan majemuk siswa. Dengan begitu, sejak awal guru bisa mengetahui karakteristik kecerdasan masing-masing siswa kemudian guru dapat berupaya menyesuaikan gaya mengajarnya dengan karakteristik siswa sehingga kebutuhan siswa untuk belajar bisa terpenuhi.

Atau, guru memperdalam pengetahuan tentang perkembangan kognitif anak. Ini bisa dilakukan dengan mempelajari teorinya Jean Piaget. Piaget mengkategorikan perkembangan anak berdasarkan rentang usia. Anak usia 2-6 tahun berada pada fase Pra-Operasional. Pada fase ini, anak baru mulai sadar akan eksisnya suatu benda, kemampuan berbahasa sudah mulai muncul, mulai mampu membedakan objek yang satu dengan yang lain, pandangan terhadap dunia masih bersifat animistik sehingga ketika melihat sesuatu yang bergerak dianggap hidup (Sanjaya, 2009). Pada fase ini, kemampuan operasi logisnya belum berfungsi sehingga wajar saja jika anak pada rentang usia itu belum bisa membaca, menulis, dan menghitung. Meski memang ada anak yang memiliki kecerdasan matematis logis dan linguistik yang menonjol sehingga mudah mempelajari bahasa dan matematika.

Anak berusia 7-11 tahun, menurut Piaget berada pada fase Operasional Konkrit dimana pada fase ini pikiran anak masih terbatas pada kemampuan menangkap informasi konkrit atau bisa diamati oleh indra. Meskipun begitu, anak pada fase ini sudah bisa berpikir operasi logis misalnya mengklasifikasikan benda sesuai dengan ciri sifatnya, sudah mulai memahami operasi matematika (penjumlahan dan pengurangan). Selain itu, anak juga mulai berpartisipasi aktif dalam dunia sosial meski masih dalam lingkup yang sempit, keluarga, teman sebaya, lingkungan sekolah dan untuk pertama kalinya mereka mulai belajar berpikir layaknya orang dewasa (Armstrong, 2006). Manakala guru sudah tahu tingkat perkembangan kognitif anak, mereka bisa menyiapkan pembelajaran yang sesuai dengan tingkat perkembangan.

How The World Works

Model pembelajaran yang sesuai dengan anak usia SD adalah model pembelajaran yang bisa memberikan siswa pengalaman bagaimana dunia ini bisa bekerja. Seperti apa yang disarankan oleh Armstrong. Beberapa model pembelajaran yang bisa diterapkan dalam mengajar anak SD untuk memberi pengalaman tersebut misalnya model pendekatan MicroSociety seperti yang telah dipraktekkan oleh George Richmond untuk mengajar anak kelas satu SD di Brooklyn School. Program tersebut adalah program pembelajaran yang menerapkan pembelajaran layaknya sekolah yang lain di pagi hari. Akan tetapi, di sore harinya siswa belajar mempraktekkan kehidupan sehari-hari misalnya tata cara transaksi di Bank (ada siswa yang berperan sebagai Teller atau Customer), menyelenggarakan sistem pemerintahan (siswa membuat dan melaksanakan aturan atau hukum, kemudian memberi sanki bagi yang melanggar) atau jenis transaksi lain sesuai dengan minat siswa.

Model lain, misalnya Montessori Method yang telah dipraktekkan oleh DR. Montessori di Montessori School. Metode ini mempraktekkan pembelajaran dengan cara mengamati secara langsung misal ketika ingin mempelajari lingkungan mereka mengamati alam dengan menggunakan binokuler dan kaca pembesar. Ketika ingin mengetahui budaya suatu negara, mereka bisa menginvestigasi arsitektur, musik, bendera, dan adat istiadatnya. Dalam mempelajari matematika mereka menggunakan hands-on materials atau materi belajar yang bisa diperagakan.

Semoga tulisan ini bisa menjadi bahan koreksi bagi para pihak yang berkecimpung dalam dunia pendidikan khususnya pendidikan dasar. Tak perlulah mengadakan tes calistung karena tidak ada kebermaknaannya dan secara ilmiah jelas bertentangan dengan perkembangan kognitif anak. Apalagi tes itu melanggar hak asasi anak untuk memilih tempat belajar yang diinginkan.



----------- Waliyudin
(Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbuyah dan Keguruan IAIN Walisongo Semarang)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar