Translate

BISNIS ONLINE

Rabu, 19 Maret 2014

Kekuasaan, Profesionalisme, dan Kebijakan Pendidikan

Kekuasaan, Profesionalisme, dan Kebijakan Pendidikan - Pendidikan bertujuan menghasilkan peserta didik yang berkualitas dalam arti lebih merdeka, lebih bertanggung jawab, lebih bermoral. Inilah yang disebut proses pemanusiaan dalam proses pendidikan. Dalam proses pemanusiaan tersebut obyeknya adalah subyek yang unik dan bertanggung jawab yang pada akhirnya menjadi manusia yang berdiri sendiri. Manusia yang berdiri sendiri tersebut adalah manusia yang dapat menata kehidupannya sendiri bersama-sama kelompoknya dalam dunia yang terus menerus berubah. Inilah konsep teoritis dari konsep pendidikan, pendidikan sebagai proses kemerdekaan.

Konsep tersebut harus diwujudkan dalam praksis pendidikan. Bagaimana caranya agar supaya proses pendidikan diarahkan kepada pemerdekaan peserta didik yang berarti bertanggung jawab dan kreatif di dalam kehidupannya. Konsep pendidikan yang hanya berada pada tataran teori bukanlah ilmu pendidikan yang benar oleh sebab hanya pada tataran abstrak. Proses pendidikan yang sebenarnya terletak dalam tataran praksis. Selanjutnya dari hasil praksis pendidikan dapat diperoleh masukan untuk pemurnian teori pendidikan yang lebih mantap.
Siklus Perencanaan Kurikulum

Kurikulum sebagai bagian dari proses pendidikan haruslah pula bersifat teoriti praktis. Hal ini berarti suatu konsep kurikulum perlu dievaluasi dalam tataran praktek atau dalam kata lain ujicoba. Dari hasil ujicoba diperoleh masukkan-masukan untuk penyempurnaan konsep kurikulum. Evaluasi suatu kurikulum dapat berwujud evaluasi terhadap kurikulum yang sedang berjalan ataupun suatu proses ujicoba terhadap suatu kurikulum yang baru. Dalam siklus perencanaan kurikulum demikian tentunya memerlukan waktu yang cukup lama. Harus kita ingat bahwa proses pendidikan yang berkenaan dengan peserta didik berbeda dengan proses penyempurnaan kualitas produk industri. Bahan baku pendidikan dan bahan baku suatu industri berbeda. Pendidikan berkenaan dengan subyek yang mempunyai jiwa sedangkan yang kedua tanpa jiwa. Maka proses penyempurnaan atau perubahan suatu kurikulum haruslah dilaksanakan dengan hati-hati karena kita berhadapan dengan subyek yang berjiwa.

IV. Kurikulum 2013

Pada tahun 2012 yang lalu dunia pendidikan di Indonesia digegerkan dengan berbagai kebijakan pemerintah dalam pendidikan nasional. Antara lain mengenai pendidikan karakter bangsa yang sampai dewasa ini belum diketahui juntrungannya. Belum selesai dengan pelaksanaan masalah tersebut pemerintah melancarkan konsep kurikulum 2013 (baca juga postingan: Kurikulum "Berpikir" 2013). Yang menyebabkan kegalauan masyarakat baik masyarakat umum maupun masyarakat intelektual ialah sangat singkatnya persiapan untuk melaksanakan kurikulum 2013 tersebut. Dibutuhkan kurang dari setahuan dalam persiapannya dan pemerintah bertekad untuk melaksanakan mulai tahun ajaran 2013. Rencana tersebut dirasakan terlalu tergesa-gesa melihat kepada kondisi lapangan pacu di Indonesia yang tersebar di 1.700 pulau dengan kualitasnya yang beragam, antara lain disebabkan kualitas tenaga gurunya yang belum tuntas dengan program sertifikasi.

Belajar Dari Pengalaman

Sejak kemerdekaan Indonesia, kurikulum pendidikan dasar dan menengah telah mengenal sepuluh kali perubahan. Yang terakhir adalah KTSP yang dilancarkan sejak tahun 2006. Pengalaman apakah yang dapat kita petik dari perubahan-perubahan kurikulum di negara kita ini? Ternyata pergantian kurikulum yang silih berganti belum dapat menaikkan tingkat kualitas pendidikan di Indonesia. Penelitian-penelitian Internasional menunjukkan rendahnya mutu pendidikan nasional kita dibandingkan dengan negara-negara lain termasuk negara-negara tetangga. Pemeo yang mengatakan bahwa ganti menteri ganti kebijakan, ganti menteri ganti kurikulum memang benar adanya. Apa yang dikemukakan dalam konsep kurikulum 2013 antara lain telah diluncurkan melalui CBSA. Mengapa kurikulum CBSA yang cukup modern tersebut tidak dilanjutkan atau gagal sebelum dilaksanakan? Di sini kita lihat secara konseptual CBSA dapat kita golongkan sebagai kurikulum super bahkan bisa relevan sampai abad 21. Namun nasib yang diderita CBSA ternyata, kurikulum super tersebut hanya terbatas diujicobakan di kabupaten Cianjur. Kemudian tanpa evaluasi diganti oleh kurikulum yang baru lagi. Pengalaman yang buruk ini mengajarkan kepada kita bahwa untuk perubahan Kurikulum Nasional memerlukan jangka waktu yang cukup untuk mempersiapkan segala sesuatu di dalam pelaksanaannya. Ternyata kurikulum seperti CBSA bukan hanya berkenaan dengan lapangan pacu atau materi pelajaran tetapi lebih-lebih lagi berkaitan dengan metodologi dalam proses pendidikan yang menekankan kepada peserta didik yang aktif di bawah bimbingan guru yang kreatif.

Kebijakan pemerintah telah mulai dilaksanakan sejak tahun 1998 untuk meningkatkan mutu pendidikan antara lain melalui sertifikasi guru. Namun apa yang terjadi, guru memang diakui sebagai kunci dari peningkatan kualitas tetapi dalam pelaksanaannya program sertifikasi yang hanya berjalan selama 7 hari ternyata di dalam penelitian-penelitian tidak serta merta meningkatkan mutu pendidikan nasional. Apakah yang menjadi kekurangan dari program sertifikasi yang telah menghabiskan dana milyaran rupiah tersebut? Ternyata bukan hanya program peningkatan mutu guru yang terlalu singkat sehingga tidak relevan dengan tujuan peningkatan kemampuan profesional guru tetapi juga proses belajar yang hanya menekankan pada menghafal dan bukan pada membangkitkan kreativitas peserta didik. Hal ini disebabkan karena kebijakan yang kontroversial pemerintah yaitu tetap melaksanakan UN yang nyata-nyata mematikan kreativitas peserta didik maupun guru.

Pengalaman Finlandia

Mengapa kita pelu melihat Finlandia? Ada beberapa kritik yang keberatan mengambil Finlandia sebagai contoh. Namun Amerika Serikat sendiri sebagai super power dunia mengakui kehebatan Finlandia yang berpenduduk sekitar 5.5 juta manusia dalam pendidikan nasionalnya yang telah mengangkat taraf hidup rakyat Finlandia yang luar biasa. Dari mana mereka mulai? Ternyata Finlandia telah mulai merekonstruksi pendidikan nasionalnya sejak 40 tahun yang lalu dimulai dari pendidikan gurunya (LPTK). Mereka tidak mengenal Ujian Nasional (baca juga postingan: UN dan Runtuhnya Pendidikan Karakter dan UN: Porsi Soal Hafalan Dikurangi), juga tidak mengenal perubahan kurikulum yang signifikan tetapi yang menjadi pokok pembaharuannya ialah mempersiapkan guru-gurunya yang handal sejak periode pre-service. Hal ini berarti mengubah sistem pendidikan terletak pertama-tama bukan dalam mengubah kurikulumnya tetapi di dalam mengubah prosesnya yang dimiliki oleh para guru (skill) di dalam mengembangkan kreativitas peserta didik.

Keadaan Indonesia 

Dewasa ini pendidikan di Indonesia sedang mengalami tantangan besar dan mendapat sorotan dunia. Amerika Serikat oleh Lembaga American Academy of Science di dalam jurnal Science bulan November 2012 yang lalu memuat artikel mengenai perubahan kurikulum di Indonesia antara lain dalam menyatukan ilmu-ilmu alam dan sosial sejak tingkat sekolah dasar dengan menerapkan prinsip tematik-integratif. Mereka mempertanyakan bagaimana mungkin mengembangkan minat peserta didik dalam ilmu-ilmu tersebut sejak dini dengan hanya merupakan bagian dari pengajaran bahasa Indonesia. Selain daripada itu tampaknya pemerintah berdasarkan kekuasaannya tetap akan menerapkan kurikulum 2013 mulai tahun 2013 ini dengan antara lain menyiapkan guru-guru pelaksananya dengan menatarnya di dalam tempo 5 hari. Suatu optimisme yang luar biasa yang akan diletakkan di pundak guru untuk melaksanakan suatu konsep yang baru tanpa si pembuat konsep itu sendiri pernah melaksanakannya di dalam praktek. Para guru beserta dengan lembaga-lembaga LPTK tampaknya tidak diikutsertakan secara aktif di dalam pelaksanaan konsep kurikulum 2013 ini. Hasil dari ujicoba yang tanpa dasar yang kokoh pada akhirnya akan terletak di pundak para guru, para profesional pendidikan.

Negara kecil Finlandia dalam penelitian-penelitian internasional seperti TIMMS selalu menempati rangking yang paling atas. Hal ini menarik perhatian negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Apa yang terjadi di Finlandia ternyata bukan perubahan kurikulum yang menjadi pokok tetapi berbagai kebijakan yang bisa kita contoh sebagai berikut: 

"Forty years ago, Finland was a comparatively poor country with an agrarian economy and under performing education system. Their leaders knew that their economic survival required them to redically transform their entire education system and develop the capacity of their young people to be innovators and entrepreneurs. Today, Finis students start school one year leter, do less home work and have a shorter school and year than student in most developed countries, and the country does not administer any test for accountability"

Kebijaksanaan pendidikan dilaksanakan...




--------------- Prof. H. A. R. Tilaar
(Guru Besar Emeritus Universitas Negeri Jakarta; Anggota Penasehat PB-PGRI; Anggota Penasehat Paguyuban Pendidikan Taman Siswa; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar