Translate

BISNIS ONLINE

Selasa, 18 Maret 2014

Integrasi Materi dan Metodologi: Produk Pendidikan

Integrasi Materi dan Metodologi: Produk Pendidikan - Manusia yang diinginkan oleh pendidikan adalah manusia model yang mampu mengaktualisasikan potensi-potensinya yang terkait dengan kecerdasannya sehingga menjadi kemampuan-kemampuan aktual untuk menyelesaikan masalah-masalah hidupnya sebagai manusia yang memiliki akal. Secara umum, kemampuan-kemampuan ini merupakan keistimewaan manusia yang dimiliki secara alamiah sehingga membedakannya dengan makhluk lain.

Mengacu tentang berbagai macam kecerdasan yang dimiliki manusia ataupun seperti yang ditunjukan oleh teori-teori psikologi bahwa manusia memiliki potensi untuk menyempurnakan wujudnya yang bukan hanya berdimensi fisik semata, tapi juga psikis dan neotik (spiritual). Kalau semuanya mampu diberdayakan maka bisa dimungkinkan pendidikan akan membawanya menjadi makhluk spiritual [1], insaniyahilahiyahalamiyah [2], yakni manusia sejati yang integral antara individualitasnya, sosialitasnya, dan spiritualitasnya. Individualitas adalah wujud eksistensinya yang aktual sebagai entitas yang merdeka dan mandiri dengan menggunakan rasionya untuk mengaktualisasikan dirinya. Sosialitas di sini mengacu pada manusia yang memiliki kepekaan sentimen sosial secara alamiah yang diaktualisasikan dalam hubungan horizontal sesama manusia dan makhluk lainnya. Dan spiritualitas bisa diartikan dengan wujud manusia sebagai entitas neotik yang meyakini Tuhan yang berada di luar alam fisik, akan tetapi metafisika. Pengakuan akan Tuhan ini diwujudkan dalam bentuk pengukuhan perilaku sosial, pengabdian kepada Tuhan dalam matra ritualistic-kinestetik ataupun pengalaman dunia batin (transpersonal), eksistensi yang menebus batas ruang dan waktu.

Integrasi Materi dan Metodologi: Produk Pendidikan
Kendati demikian, uraian tentang individualitas di sini perlu dipertegas kembali untuk mencapai pengertian yang komperhensif. Individualitas adalah manusia yang saleh secara personal, individualitas yang tidak mengarah pada kecenderungan eksistensialis (manusia menjadi Tuhan bagi dirinya). Manusia yang saleh sosialitasnya, yakni humanitas yang santun. Individualitas dan humanitas yang tidak mengarah kepada antrophosentrisme. Manusia yang saleh spiritualitasnya bisa diartikan dengan manusia yang mampu mengaktualisasikan pengabdiannya kepada Tuhan dan sekaligus kepada semua makhluk yang lain dalam konteks ketuhanan yang murni karena Tuhan itu sendiri (teosentris).

Dalam sitilah pendidikan secara umum aspek kognitif, afektif, dan psikomotor akan diaktualisasikan dalam cara berpikir, cara bersikap, dan cara berperilaku. Dalam konteks pendidikan agama di sini aspek kognitif yang berupa norma-norma atau aturan-aturan agama mampu ditransformasikan melalui otak menjadi cara berpikir. Kemudian aspek kognitif memungkinkan bahwa ajaran atau norma agama terinternalisasi menjadi nilai-nilai yang membentuk keyakinan yang menjadi pegangan dalam cara bersikap. Tahapan ini berada di antara kognitif (pemahaman) dan perilaku (psikomotor). Jadi, sebelum menjadi perilaku, pengetahuan akan mencapai tahapan sikap terlebih dahulu – berbeda dengan tradisi psikologi behavioristik yang membagi proses menjadi empat tahapan yaitu kognisi, afeksi, konasi, dan aksi. Dalam tahapan ini, norma agama mampu ditransformasikan menjadi cara besikap. Dan psikomotor dalam hal ini adalah bahwa norma atau ajaran agama mampu ditransformasikan menjadi cara berperilaku. Bisa juga dikatakan bahwa manusia melakukan kewajiban ritual dhohir juga kewajiban ritual dalam pengertian batin. Kombinasi antara kecerdasan kinestetik dengan kecerdasan intrapersonal.

Dalam konsep pendidikan yang dikembangkan Phenix, tujuan pendidikan adalah menciptakan individu yang memiliki kemampuan dalam mengaktualisasikan makna-makna simbolik dan empirik dari materi pendidikan agama, yakni manusia mampu mengenali dan memahami symbol-simbol dan kenyataan-kenyataan yang berlaku sesuai dengan aturan social yang berlaku berkaitan dengan bahasa dan aspek yang bisa dicerna berdasarkan akal sehat. Individu mampu mengenali dan memahami estetik, yakni makna-makna yang terdapat dalam harmonisasi suara dan gerak yang berlaku secara umum. Kemudian individu memiliki kemampuan dalam mengaktualisasikan pengetahuan relasional atau kesadaran langsung. Dan akhirnya makna sinoptik, individu mampu mengaktualisasikan potensinya untuk menangkap makna sejarah agama dan filsafat.

Dengan kata lain, pendidikan akan memproduksi manusia yang rasional, sosial, dan spiritual. Integrasi yang sempurna dari wujud manusia ini menjadi tujuan akhir dari pendidikan yang ideal. 


Reff:
[1] Mian Muhammad Tufail, Iqbal’s Philoshopy and Education, Lahore; Din Muhammadin Press, 1996, hal. 102-103.
[2] Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2004, hal. 367.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar