Translate

BISNIS ONLINE

Senin, 03 Maret 2014

Kecerdasan itu Multidimensional dan Proses Discovering Ability

Kecerdasan itu Multidimensional dan Proses Discovering Ability - Mengapa Multiple Intelligences menyita perhatian masyarakat sebagai alternatif mengembangkan kecerdasan anak? Ada tiga paradigma yang dibangun, pertama Kecerdasan Tidak Dibatasi Tes Formal yang sudah dibahas pada postingan terdahulu. Dan sekarang kita akan bahas yang selanjutnya, yaitu:

[2] Kecerdasan itu Multidimensional
Kecerdasan seseorang dapat dilihat dari banyak dimensi, tidak hanya kecerdasan verbal (berbahasa) atau kecerdasan logika. Gardner dengan cerdas memberi label "MULTIPLE" (baca: jamak atau majemuk) pada luasnya makna kecerdasan. Gardner sepertinya sengaja tidak memberikan label tertentu pada makna kecerdasan seperti yang dilakukan oleh para penemu teori kecerdasan lain, misalnya Alferd Binet dengan IQ, Emotional Quotient (EQ) oleh Daniel Goleman, dan Adversity Quotient oleh Paul Scholtz. Namun Gardner menggunakan istilah "Multiple" sehingga memungkinkan ranah kecerdasan tersebut terus berkembang. Dan ini terbukti ranah-ranah yang ditemukan Gardner terus berkembang, mulai dari 6 kecerdasan (ketika pertama kali konsep dimunculkan) hingga 9 kecerdasan.

Kecerdasan itu Multidimensional dan Proses Discovering Ability

Kecerdasan itu berkembang dan masih banyak lagi kecerdasan yang belum ditemukan oleh Gardner dan ahli lain. Kecerdasan yang beragam ini lebih mudah disederhanakan dengan sebuah analisis sebagai berikut:

"Kecerdasan seseorang adalah proses kerja otak seseorang sampai orang tersebut menemukan kondisi akhir terbaiknya. Terkadang, kondisi akhir terbaik seseorang ini tidak terbatas pada satu kondisi saja. Penulis novel terlaris dunia, J.K. Rowling, menemukan kondisi akhir terbaik sebagai penulis pada usia 43 tahun dan terus berkembang. Sementara itu, Stevie Wonder, menemukan kondisi akhir terbaiknya sebagai pemusik pada usia 10 tahun dan terus berkembang".

Oleh karena itu, dengan mengetahui Multiple Intelligences seawal mungkin, seseorang dapat menemukan kondisi akhir terbaiknya lebih cepat. Selain itu, pengetahuan tentang Multiple Intelligences dapat mendorong orang itu untuk bergerak dan menemukan kondisi akhir terbaik berikutnya.

[3] Kecerdasan, Proses Discovering Ability

J.K. Rowling adalah seorang penulis yang cerdas dan berhasil. Dia menemukan kondisi akhir terbaiknya pada usia 43 tahun ketika berhasil menulis novel Harry Potter pertama kali. Menurutnya, perubahan besar terjadi dalam hidupnya saat ia mengalami proses menuangkan ide gilanya ke dalam tulisan Fiksi Harry Potter. Dengan kata lain, proses penulisan tersebut sebenarnya adalah hakikat kecerdasan yang sedang berjalan. Sedangkan bentuk yang berhasil diwujudkan merupakan kondisi akhir terbaik yang muncul akibat proses kecerdasan tersebut.

Kecerdasan lebih dititik beratkan pada proses untuk mencapai kondisi akhir terbaik. Dan Mulitiple Intelligences punya metode Discovering Ability, artinya proses menemukan kemampuan seseorang. Metode ini meyakini bahwa setiap orang pasti memiliki kecenderungan jenis kecerdasan tertentu. Kecenderungan tersebut harus ditemukan melalui pencarian kecerdasan. Jika yang ditemukan adalah kelemahan dalam satu jenis kecerdasan, kelemahan itu harus dimasukan ke laci dan dikunci rapat-rapat.

Multiple Intelligences menyarankan kepada kita untuk mempromosikan kemampuan atau kelebihan anak dan mengubur ketidak mampuan atau kelemahan anak. Proses inilah yang menjadi kecerdasan seorang anak. Tentu, dalam menemukan kecerdasannya, seorang anak harus dibantu oleh lingkungannya, baik itu orangtua, guru, sekolah, maupun sistem pendidikan yang diimplementasikan di suatu negara. Dan betapa banyak contoh tokoh-tokoh yang cerdas, terkenal, dan bermanfaat bagi masyarakatnya ternyata banyak memiliki kelemahan.

Kesimpulannya, apabila kondisi lingkungan seseorang kondusif dan selaras dengan kecenderungan kecerdasan yang dimilikinya, orang tersebut akan dengan cepat menemukan kondisi akhir terbaik akibat dipicu oleh kondisi lingkungan tersebut dan sebaliknya.






Sumber: Munif Chatib, Sekolahnya Manusia, Kaifa: Bandung, 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar