Translate

BISNIS ONLINE

Rabu, 09 April 2014

Hentikan Vandalisme Elit Politik

Hentikan Vandalisme Elit Politik - Kritik tajam dari masyarakat kian mengalir deras ditujukan kepada lembaga publik, baik di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pasalnya, lembaga-lembaga tersebut sudah tak ada gunanya lagi di mata publik, bahkan kinerjanya sudah dianggap nol. Lembaga yang seharusnya bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat, yang diharapkan mampu mengentaskan persoalan publik, justru menjadi lembaga yang mendustai rakyat.

Seakan euphoria rakyat akan didapatkan apabila tak ada lembaga-lembaga tersebut. Sebab, hak-hak rakyat yang seharusnya dimaksimalkan justru dinafikan, dan amanah yang telah diberikan rakyat justru disalahgunakan. Fakta demikian sudah sejak lama dilakoni oleh para elit politik. Kekuasan hanya dijadikan sebagai alat pemuas diri dan kepentingan individu elit politik. Kekuasaan tak didistribusikan secara menyeluruh ke berbagai penjuru negeri, akan tetapi hanya diberikan kepada segelintir orang-orang terdekatnya saja.

Sungguh ironis, demokrasi yang telah berjalan lebih dari sepuluh tahun, tetapi hanya menghasilkan elit politik abal-abal yang tidak bertanggung jawab. Ya, memang benar jika dikatakan demokrasi Indonesia tersumbat, atau tak berjalan dengan maksimal. Sebab, proses demokrasi yang ada hanya berkutat pada pergantian birokrasi administratif dan rutinitas sirkulasi kekuasaan. Sementara, kesejahteraan rakyat tak mendapatkan jawaban dari pejabat publik, dan tak sesuai harapan. Ibarat aksi vandalisme yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, kini justru menyertai jiwa elit politik.

Vandalisme Politik

Hentikan Vandalisme Elit PolitikSebenarnya, vandalisme lebih diidentikan dengan kegiatan mencoret-coret papan, tembok atau fasilitas umum lainnya yang dapat mengganggu ketertiban dan kenyamanan orang lain. Aksi vandalisme juga mencakup kegiatan penempelan liflet, brosur, dan stiker yang tidak sesuai pada tempatnya. Bahkan, kegiatan vandalisme juga mencakup pada perusakan fasilitas umum yang mengakibatkan terganggunya masyarakat, termasuk pula kegiatan penghancuran dan kekerasan.

Pada awalnya, vandalisme berasal dari zaman Romawi Kuno, yaitu bangsa Vandal yang sikap kebiasaannya melakukan perusakan dan penistaan secara kejam terhadap sesuatu yang terpuji dan indah. Tindakan yang termasuk di dalamnya adalah tindakan criminal, gravity, pencacatan, dan hal lain yang dapat merusak sistem kehidupan bermasyarakat.

Namun, makna vandalisme tersebut kini telah menyertai setiap karakter elit politik. Aksi criminal, gravity, dan pencacatan sudah menjadi hal yang biasa dalam kehidupan para elit politik. Komunikasi politik sudah tak berjalan antara elit politik dengan rakyat awam. Praktek KKN masih merajalela, penyalahgunaan wewenang masih berlanjut, peradilan dan mafia hukum masih sulit ditebak dan kasat mata, dan masih banyak hal-hal lainnya.

Sedangkan vandalisme elit politik berupa gravity juga sudah membudaya dalam negeri. Mereka melakukan penempelan poster, baliho, spanduk secara serampangan di berbagai tempat. Akhirnya, lingkungan pun tercemari dan menjadi kumuh dan jorok. Dan itupun, isi yang dicantumkan di dalamnya hanya berorientasi untuk menggelembungkan citranya (image oriented) saja, tak berorientasi pada isu (issues oriented), dan atau berorientasi pada ideologi politis yang akan digunakan untuk menyelesaikan berbagai persoalan (problem solving) dalam masyarakat nantinya.

Makna politik indah, yaitu kegiatan menata kota. Politik berarti kegiatan mengurusi kepentingan umum warga Negara suatu bangsa. Politik juga merupakan rangkaian asas, jalan, keadaan, prinsip, cara atau alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu. Jadi, politik adalah segala kegiatan yang menyangkut suatu proses penentuan tujuan Negara dan upaya-upaya yang digunakan untuk mewujudkan tujuan tersebut, dan juga pengambilan keputusan (disicionmaking) yang tepat untuk dapat mendistribusikan kekuasaan secara menyeluruh.

Namun, makna politik yang sebenarnya indah tersebut justru ternodai oleh para elit politik yang tidak berwawasan politis. Yang diindahkan hanya jiwa materialistik dan hedonism yang mengakar pada dirinya saja. Kekuasaan hanya dijadikan alat pemuas diri, tak dijadikan sebagai sarana untuk mensejahterakan rakyatnya, justru dijadikan sebagai lahan aksi vandalisme elit politik. Akibatnya, banyak rakyat yang sudah tak percaya lagi kepada politik dan pejabat publik yang ada di dalamnya. Sebab, makna politik sudah berubah arah, yakni menghancurkan kota. Sungguh sangat ironis.

Menyelamatkan Politik

Praktek politik kini sudah tidak memperhatikan rambu-rambu etika dalam kehidupan bernegara. Akibatnya, berbagai cara dilakukan para elit politik untuk mengejawantahkan keinginannya untuk berkuasa, tanpa dibarengi sikap kepemimpinan yang apik di dalamnya. Penyebabnya tak lain juga karena kompetisi dalam berpolitik yang cacat moral. Sehingga, etika politik sudah menjadi sesuatu yang tak diindahkan lagi dalam kehidupan berpolitik.

Dalam hal ini, untuk menyelamatkan politik dari aksi vandalisme politisi yang ada di Indonesia perlu dilakukan berbagai tindakan futuristik. Pertama, elit politik yang cacat moral harus dilenyapkan. Sebab, elit politik yang demikian akan lebih mudah dicontoh generasi penerusnya dibanding dengan elit politik yang bermoral apik. Selain itu, elit politik juga harus meneladani para “founding father”, karena saat ini jarang ditemui elit politik yang mewarisi jiwa tersebut.

Kedua, hukum harus ditegakkan dengan lebih tegas tanpa pandang bulu. Namun, masalahnya budaya “ewuh pakewuh” juga masih dimiliki lembaga penegak hukum. Maka, untuk menegakkan hukum sebenar-benarnya, yang harus dilakukan oleh lembaga hukum adalah membakar budaya “ewuh pakewuh” terdahulu. Setelah itu baru memberikan hukum kepada elit politik yang melakukan tindak pidana dengan seadil-adilnya.

Ketiga, melahirkan sikap kedewasaan politik dan kebijaksanaan pola pikir para politisi. Sebab, kebebasan yang diberikan alam demokrasi sangat mendukung ke dalam hal-hal yang tak menguntungkan rakyat. Selama ini para politisi hanya berpikir untuk dirinya sendiri dan orang-orang terdekatnya saja.

Keempat, penyegaran demokrasi dengan gerakan restorasi politik. Yaitu menghiasi perilaku politisi yang sesuai dengan seni komunikasi politik, dan mengisi janji-janji politik dengan lebih mementingkan nasib rakyat. Sebab, kini aksi vandalisme politik semakin terlihat menggurita dalam tubuh demokrasi yang kerdil dan tak mempunyai arah yang jelas ini.

Kontrol demokrasi saat ini masih dikuasai pasar politik. Dengan begitu perlu dilakukan proses terapi secara maksimal terhadap demokrasi yang kerdil ini. Sehingga, bangunan demokrasi Indonesia akan menjadi labil dan tak salah arah lagi.
--------- Muhammad Ali Fuadi 
(Peneliti di Lembaga Studi Agama dan Nasionalisme (LeSAN) Monash Institute dan Aktivis HMI Komisariat Iqbal IAIN Walisongo Semarang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar