Biografi Abu Mansur Al-Hallaj Si Pemintal Wol - Nama lengkapnya adalah Abu al-Mughist al-Husain bin Manshur bin Muhammad al-Baidhawi. Lahir di Baida sebuah kota kecil di wilayah Persia pada tahun 244 H/855 M. Ia tumbuh dewasa di kota Wasith, dekat Baghdad. Pada usia 16 tahun ia belajar pada seorang sufi terkenal saat itu, yaitu Sahl bin Abdullah al-Tasturi di Ahwaz. Dua tahun kemudian ia pergi ke Bashrah dan berguru kepada ‘Amr al-Makki yang juga seorang sufi, dan pada tahun 878 M, ia memasuki kota Baghdad dan belajar kepada al-Junaid. Setelah itu, ia pergi mengembara dari satu negeri ke negeri yang lain untuk menambah pengetahuan dan pengalaman dalam ilmu tasawwuf. Ia mendapat gelar “al-Hallaj” karena penghidupannya yang diperoleh dari memintal wol [1].
Dalam semua perjalanannya dan pengembaraannya ke berbagai kawasan Islam seperti Khurasan, Ahwaz, India, Turkistan, dan Makkah, al-Hallaj telah banyak memperoleh pengikut. Ia kemudian kembali ke Baghdad pada tahun 296 H/909 M [2]. Di kota ini, pengikutnya semakin bertambah banyak karena kecaman kecamannya terhadap kebobrokan pemerintah yang berkuasa pada waktu itu. Secara kebetulan ia bersahabat dengan kepala rumah tangga istana, Nasr al-Qusyairi, yang mengingatkan sistem tata usaha yang baik dan pemerintahan yang bersih.
Al-Hallaj selalu mendorong sahabatnya melakukan perbaiakan dalam pemerintahan dan selalu melontarkan kritik terhadap penyelewengan-penyelewengan yang terjadi. Pada waktu yang sama, aliran-aliran keagamaan dan tasawwuf tumbuh dengan subur. Hal itu membuat pemerintah sangat khawatir terhadap kecaman kecaman yang sangat keras dan pengaruh sufi ke dalam struktur politik.
Oleh karena itu, ucapan al-Hallaj “Ana al-Haqq” yang tidak dapat dimaafkan ulama fiqh dan dianggap sebagai ucapan kemurtadan, dijadikan alasan untuk menangkapnya dan memenjarakannya. Setahun kemudian ia dapat meloloskan diri dari penjara berkat pertolongan sipir penjara, tetapi empat tahun kemudian ia tertangkap lagi di kota Sus [3].
Setelah dipenjara selama delapan tahun, al-Hallaj dihukum gantung. Sebelum digantung, ia dicambuk seribu kali tanpa mengaduh kesakitan, lalu dipenggal kepalanya. Namun, sebelum dipancung, ia meminta sholat dua rakaat. Setelah selesai sholat, kaki dan tangannya dipotong, badannya digulung dalam tikar bambu lalu dibakar dan abunya dibuang ke sungai, sedangkan kepalanya di bawa ke Khurasan untuk dipertontonkan. Dan akhirnya al-Hallaj wafat pada tahun 922 M. Kematian tragis al-Hallaj yang tampak seperti dongeng tidak membuat gentar para pengikutnya. Ajarannya masih tetap berkembang. Terbukti setelah satu abad dari kematiannya, di Irak ada 4000 orang yang menamakan diri hallajiah [4]. Di sisi lain, pengaruhnya sangat besar terhadap para pengikutnya. Ia dianggap mempunyai hubungan dengan gerakan Qaramitah.
Di antara ajaran tasawwuf al-Hallaj yang paling terkenal adalah al-Hulul dan Wahdat al-Syuhud, yang kemudian melahirkan paham kesatuan wujud yang dikembangkan Ibn ‘Arabi. Al-Hallaj memang pernah mengaku bersatu dengan Tuhan (hulul). Al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat ketuhanan. Ia mentakwilkan QS. Al-Baqarah ayat 34, bahwa Allah member perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam. Karena yang berhak untuk diberi sujud hanya Allah, al-Hallaj memahami bahwa dalam diri Adam sebenarnya ada unsur ketuhanan [5].
Harun Nasution mengemukakan pendapat al-Hallaj demikian, karena sebelum menjadikan makhluk, Tuhan melihat Dzat-Nya sendiri, cinta yang tidak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia mengeluarkan sesuatu dari tiada dalam bentuk “copy” diri-Nya yang mempunyai segala sifat dan nama. Bentuk “copy” ini adalah Adam. Pada diri Adam-lah, Allah muncul [6]. Hal ini tampak dalam Syi’irnya:
“Maha Suci Dzat yang sifat kemanusiaan-Nya
membuka rahasia ketuhanan-Nya yang gemilang.
Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata
dalam bentuk manusia yang makan dan minum”.
Melalui syi’ir di atas, tampaknya al-Hallaj memperlihatkan bahwa Tuhan mempunyai dua sifat dasar, yaitu sifat ketuhanan-Nya sendiri (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut). Jika “nasut” Allah mengandung tabiat seperti manusia yang terdiri atas roh dan jasad, “lahut” tidak dapat bersatu dengan manusia kecuali dengan cara menempati tubuh setelah sifat-sifat kemanusiaannya hilang, seperti yang terjadi pada diri Isa As.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa “hulul” yang terjadi pada al-Hallaj tidaklah nyata karena memberi pengertian secara jelas adanya perbedaan antara hamba dan Tuhan. Dengan demikian, “hulul” yang terjadi hanya sekedar kesadaran psikis yang berlangsung pada kondisi “fana”, atau menurut ungkapnya sekedar terlebarnya “nasut” dalam “lahut”, atau dapat dikatakan antara keduanya tetap ada perbedaan, seperti dalam Syi’irnya:
“Air tidak dapat menjadi,
meskipun keduanya telah bercampur aduk”.
Reff:
[1]Saleh Abdul Sabur, Tragedi al-Hallaj, Pustaka, Bandung, 1976, hal. viii.
[2] Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani, Pustaka, Bandung, 1985, hal. 86.
[3] Hamka, Tasawwuf Perkembangan dan Pemurniannya, Yayasan Nurul Islam, Jakarta, 1980, hal. 112.
[4] Kamil Mushthafa al-Syibli, al-Shillah bain al-Tasawwuf wa al-Tasyayyu, Dar al-Ma’arif, Mesir, t.t, hal. 376.
[5] Abdul Qadir Mahmud, al-Fikr al-Islami wa al-Falsafah al-Mu’aridhah fi al-Qadim wa al-Hadits, Ha’iah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1986, hal. 77-78.
[6] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hal. 79.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar