Translate

BISNIS ONLINE

Jumat, 11 April 2014

Dinamika Pesantren Menjawab Tantangan Zaman

Dinamika Pesantren Menjawab Tantangan Zaman - Dalam salah satu tulisan Abdurrahman Wahid [1], bahwa ada tiga elemen dasar yang mampu membentuk pondok pesantren sebagai sebuah subkultur. Pertama, pola kepemimpinan pondok pesantren yang mandiri tidak terkooptasi oleh Negara. Kedua, kitab-kitab rujukan umum yang selalu digunakan dari berbagai abad. Dan yang ketiga, sistem nilai (value system) yang digunakan adalah bagian dari masyarakat luas.

Dengan bermodal elemen yang ketiga tadi, siapa pun akan menerima dan pasrah jika dikatakan kepadanya bahwa pondok pesantren memiliki hubungan yang sangat erat dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Juga bukanlah berlebihan jika kita menyebutnya sebagai salah satu penopang pilar utama pendidikan di bumi Nusantara ini. Pun dalam catatan sejarah telah membuktikan bahwa ribuan pondok pesantren –sampai saat ini– telah berdiri, tumbuh dan berkembang. Tentu, fenomena ini telah menunjukkan bahwa puluhan ribu bahkan ratusan lebih orang Indonesia yang ikut merasakan pola pembelajaran pondok pesantren.

Di pulau Jawa sendiri misalnya, sebagaimana yang dituturkan oleh seorang Antropolog kenamaan, Clifford Geertz, bahwa santri yang berasal dari golongan pesantren, dimasukkan sebagai salah satu tipe dari tiga tipe klasifikasi jenis masyarakat Jawa di Mojokuto [2], bersanding dengan tipe Abangan dan Priyayi. Terlepas dari kejanggalan klasifikasi yang diberikan oleh ilmuan ini, jelas bukanlah sesuatu yang asal “comot” saja mencantumkan kata Santri di antara dua tipe orang Jawa lainnya.

Keberadaan pondok pesantren sebagai basis penyebaran agama Islam di Indonesia telah berjalan selama berabad-abad lamanya. Secara pasti tidak pernah diketahui kapan pertama kali pola pendidikan macam pesantren ini dimulai. Memang, banyak ilmuan yang bersilang pendapat tentang hal ini. Namun demikian, beberapa penelitian telah menduga bahwa benih-benih kemunculan pondok pesantren sebagai pusat penyebaran dakwah sekaligus sebagai pusat penggodokan kader, sudah ada jauh sejak keberadaan para Walisongo, yaitu sekitar abad 15.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdurrahman Mas’ud bahwa dari oral history yang berkembang, mengindikasikan bahwa pondok-pondok tua dan besar di luar pulau Jawa juga memperoleh inspirasi dari ajaran Walisongo. Masih menurut pemaparan Abdurrahman Mas’ud, –dia mencontohkan– bahwa ajaran dakwah Islamiyah yang dilakukan oleh Maulana Malik Ibrahim sebagai “Spiritual Father” Walisongo, ternyata menjadi inspirasi bagi berdirinya pondok pesantren Nahdlatul Wathon di daerah Pancoran Lombok Timur [3].

Dinamika Pesantren Menjawab Tantangan Zaman
Analisis lebih jauh, bahwa keberadaan sebuah pondok pesantren secara utuh –dengan memnuhi criteria adanya Kyai, Santri, gedung tempat tinggal dan kitab yang dibacakan– baru ditemukan sekitar abad 18, tepatnya pada masa Pemerintahan Pakubuwono II. Senada dengan Abdurrahman Mas’ud, ada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hanun Asrohah bahwa pondok pesantren yang pertama kali di Jawa adalah pondok pesantren Tegalsari, Ponorogo, Jawa Timur. Pondok ini didirikan oleh Ki Agung Muhammad Besari, kakek guru seorang sastrawan Jawa, Ronggowarsito yang juga adalah tokoh penyebar aliran Sattariyah [4].

Pun pada masa awal kelahirannya, pondok pesantren tidaklah selengkap saat ini. Dimana ada local-lokal khusus tempat para santri tinggal, ada tim pengurus, ada sistem administrasi lengkap dengan jadual pembacaan kitab, juga lengkap dengan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh para santri.

Diduga, tumbuhnya suatu pesantren di masa dahulu, terutama di masyarakat pedesaan, dimulai dengan adanya pengakuan suatu lingkungan masyarakat tertentu terhadap kelebihan di bidang ilmu agama (Islam) dan keshalihan seorang ulama, sehingga penduduk lingkungan itu banyak yang datang untuk belajar menuntut ilmu pada sang ulama. Di masyarakat Jawa, ulama tersebut dipanggil dengan sebutan “kyai” bukan “ulama”. Tentu, panggilan seperti ini bukan tanpa alasan. Bagi Zamakhsyari Dhofier, realitas ini didasarkan pada kenyataan bahwa para kyai di samping mengajar masalah keimanan Islam (tauhid) dan hukum Islam (fiqih), juga mengajarkan tasawwuf (sufi). Kecenderungan yang seperti inilah menyebabkan “ulama” cenderung dipanggil “kyai” [5]. Menurut Horikhosi, sebagaimana yang dikutip oleh Sukamto, perbedaan ulama dan kyai terletak pada fungsi sosialnya. Seorang ulama lebih berperan pada komunitas berskala kecil, seperti di pedesaan. Sedangkan fungsi sosial seorang kyai lebih besar dari ulama, karena ditopang oleh kekuatan-kekuatan kharismatik. Jangkauan kyai lebih besar dibanding ulama [6].








Reff:

[1] Abdurrahman Wahid, “Pesantren sebagai Subkultur”, dalam M. Dawam Rahardjo (ed.), “Pesantren dan Pembaharuan”, Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), 1988, cet. IV.
[2] Clifford Geertz, “Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa”, Jakarta: Pustaka Jaya, 1983.
[3] Abdurrahman Mas’ud, “Sejarah Pesantren dan Walisongo hingga Kini”, Majalah-Jurnal Justisia, edisi 18, tahun VII/2000, hal. 32.
[4] Hanun Asrohah, “Pelembagaan Pesantren, Asal-Usul dan Perkembangan Pesantren di Jawa”, Jakarta: Disertasi Perpustakaan UIN Jakarta, 2002. 
[5] Zamakhsyari Dhofier, “Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai”, Jakarta, LP3ES, 1984, hal. 34
[6] Sukamto, “Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren”, Jakarta, LP3ES, 1999, hal. 87.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar