Ujian Nasional dan Runtuhnya Pendidikan Karakter - Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) di tahun ini membuat anggota Komisi X DPR mencecar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan karena UN dianggap sebagai musibah. Satu sisi, kita patut mengapresiasi wakil rakyat di Komisi X ini yang dengan tegas telah mempertanyakan pelaksanaan UN kepada penanggung jawab, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Namun di sisi lain, sangat disayangkan kritik anggota dewan terhormat itu tidak kepada hal yang lebih substantif; yaitu pelanggaran atau kecurangan yang sering terjadi dalam pelaksanaan UN saban tahun.
Bahkan, terkesan kritik itu lebih pada persoalan proyek yang ujung-ujungnya adalah tentang keuangan yang disalahgunakan. Padahal di balik itu, praktek kecurangan yang banyak terjadi di lapangan jauh lebih merugikan dari sekedar uang ratusan juta rupiah. Sebab, dampak dari praktek kecurangan yang dilakukan akan berimbas pada karakter generasi bangsa ini sepuluh-dua puluh tahun ke depan, ketika mereka menjadi pemimpin di negeri ini.
Memang di tahun ini, UN banyak disoroti lebih kepada persoalan terlambatnya kedatangan soal sehingga diundurnya beberapa sekolah dalam melaksanakan ujian tahunan tersebut. Akibatnya, berita yang menghebohkan itu menutupi terjadinya praktek kecurangan yang biasa terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Mungkin sebagian orang menyangka praktek kecurangan itu di tahun ini sudah dapat dihilangkan karena paket soal yang berbeda setiap siswa pada lokal yang sama. Namun kenyataannya, silahkan tanya anak, kemenakan atau anak-anak dari keluarga dekat kita yang menjadi peserta ujian nasional di tahun ini. Tidak jarang di antara mereka, dengan lugunya menjawab, mereka mendapat kunci jawaban sehingga dengan mudah menyelesaikan soal yang diberikan.
Beragam modus yang dilakukan, mulai dari jual beli kunci jawaban yang tak jelas sumbernya, atau memang diperoleh dari orang yang sangat mereka percayai sendiri. Ada yang mencontek kunci jawaban dalam kelas. Ada pula yang silih berganti ke toilet siswa untuk mencocokkan kunci jawaban sesuai dengan paket soal yang diperoleh. Parahnya, ada pula "Oknum Guru" yang merevisi kunci jawaban siswanya sehingga siswa yang bersangkutan tetap yakin bahwa nilai yang ia diperoleh semata-mata hasil jerih payahnya.
Modus di atas sudah sering terdengar dari tahun ke tahun. Tampaknya, di tahun ini praktek kecurangan itu masih berlangsung di beberapa sekolah berdasarkan informasi beberapa siswa yang menjadi peserta UN. Anehnya, para penentu kebijakan (Staekholder) di negeri ini hanya diam bergeming: tidak tahu, pura-pura tidak tahu, atau memang tidak mau tahu? Ironisnya, tiga tahun terakhir pemerintah telah mengkampanyekan pentingnya pengembangan pendidikan karakter di sekolah. Sejumlah kegiatan sosialisasi/pelatihan/training/workshop pendidikan karakter pun sudah dan tampaknya terus akan digelar.
Munculnya program pendidikan karakter tidak terlepas dari kesadaran pemerintah, tokoh dan praktisi pendidikan terhadap kasus penyimpangan moral yang kerap terjadi, baik di kalangan pelajar, maupun orang-orang yang dipandang terdidik. Karena itu, pendidikan karakter dirumuskan dan dikembangkan dengan melakukan internalisasi nilai-nilai karakter di sekolah, termasuk nilai kejujuran. Sayang, kebijakan UN yang menjadi salah satu syarat kelulusan siswa sering kali bertolak belakang (kontradiktif) dengan semangat pendidikan karakter. Meskipun UN tidak lagi satu-satunya penentu kelulusan, tetapi sadar atau tidak sadar siswa dan sekolah tetap menganggapnya sebagai program yang menakutkan (baca juga: Cara Mengurangi Stress Siswa dalam Menghadapi UN) sehingga memotivasi pihak-pihak tertentu melakukan praktek kecurangan. Kondisi ini semakin diperparah dengan upaya pemerintah menjaga kerahasiaan UN. Naskah soal UN dikawal dan diamankan secara ketat dan pihak keamanan pun ikut masuk dalam lingkungan sekolah. Seakan-akan naskah soal UN layaknya "BOM TERORIS" yang siap meledak kapan saja.
Kita memang tidak menyalahkan keterlibatan pihak keamanan dalam suksesi UN ini. Sebab, dengan keamanan super ketat itu masih saja ada oknum yang berupaya untuk membocorkannya. Yang pasti, kepercayaan dan kejujuran di negeri ini memang sangat mahal harganya. Anehnya, sudah tahu praktek kecurangan itu kerap terjadi, kenapa pemerintah seolah menutup mata dan telinga? Lalu pemerintahpun menghimbau "Jangan terkecoh bocoran UN yang beredar", bagaimana kalau peredaran itu dikondisikan oleh oknum guru? Kemudian pemerintah juga berkata, jika masyarakat mengetahui ada praktek kecurangan seperti itu, silahkan laporkan. Persoalannya:
[1] Siapa yang mau melaporkan? Jika dilaporkan,[2] Apakah pelaku mau menjadi saksi? dan,[3] Bagaimana pula mengumpulkan alat buktinya?
Jika memang praktek kecurangan itu benar-benar terjadi, apalagi diorganisir secara sengaja oleh oknum guru, sebusuk itukah hati mereka menanamkan benih-benih ketidakjujuran bagi peserta didik? Tanpa harus membela perilaku menyimpang itu, yang jelas perbuatan itu bertentangan dengan hati nurani mereka. Mereka berani mengorbankan harga dirinya di hadapan murid-muridnya sendiri, pasti terasa menyakitkan.
[1] Pernahkah pemerintah selaku pemangku kebijakan merasakan penderitaan mereka?[2] Sadarkah pula pemerintah pusat tekanan-tekanan yang kerap terjadi di sekolah?
Kepala sekolah merasa tertekan jika siswanya banyak yang tidak lulus. Bisa jadi tekana itu datang dari atasan dengan target yang harus dicapai, atau dari masyarakat sendiri. Masih ingatkah kasus tahun lalu, siswa SD bernama Alief, di Surabaya yang menolak praktek kecurangan, justru akhirnya "DIMUSUHI" bahkan "DIUSIR" oleh masyarakat setempat dari tempat tinggalnya.
--------------- Muhammad Kosim
(Penggiat Pendidikan Karakter)
(Penggiat Pendidikan Karakter)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar