Sejarah Pendidikan: Hakikat Pendidikan - Pendidikan sebagai proses upaya meningkatkan nilai peradaban individu atau masyarakat dari suatu keadaan tertentu menjadi suatu suatu keadaan yang lebih baik. Secara instutisional peranan dan fungsinya semakin dirasakan oleh sebagian besar masyarakat. Karena itu keberadaan suatu lembaga pendidikan di suatu daerah merupakan salah satu faktor penentu dalam upaya peningkatan kualitas masyarakat di daerah tersebut. Sebab melalui lembaga pendidikan akan dapat diketahui berkualitas atau tidaknya masyarakat, melalui lembaga pendidikan juga akan dapat diketahui kemampuan dalam menilai dan kemauan masyarakat dalam memanfaatkan produk-produk ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Untuk jangka waktu tertentu, akan dapat diketahui bahwa bagi suatu bangsa yang dikendalikan oleh orang-orang yang berpendidikan, maka program pembangunannya akan berjalan sesuai dengan yang direncanakan begitu juga sebaliknya. Inilah yang dimaksud betapa pentingnya peranan pendidikan dalam membangun tatanan kehidupan masyarakat pada suatu bangsa, baik pendidikan dalam bentuk institusional maupun pendidikan dalam bentuk moral maupun spiritual.
Kata Pendidikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994) diartikan sebagai, "Proses perubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan". W. J. S. Purwa Darminta (1985) menjelaskan bahwa kata pendidikan berasal dari kata dasar "didik" yang artinya memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan. Setelah kata "didik" ini diberi awalan "pe-" dan akhiran "-an" kemudian menjadi kata pendidikan, maka artinya berkembang menjadi "perbuatan (hal, cara, dsb) tentang mendidik".
Di lingkungan masyarakat Yunani Kuno (baca juga postingan: Sejarah Pendidikan 1: Proses Terbentuknya Pendidikan), terdapat dua kata yang memiliki fungsi yang berbeda yaitu kata "Paedagogie" dan kata "Andragogi". Kata paedagogie pada awalnya berarti "pergaulan bersama anak-anak". Arti ini bermula dari cerita yang berkembang bahwa konon di lingkungan masyarakat Yunani Kuno terdapat seseorang atau sekelompok orang yang pekerjaan utamanya adalah mengantar dan menjemput anak-anak majikan yang sekolah. Dari hasil interaksi yang berulang-ulang itulah mereka dapat memahami karakter anak-anak tersebut, lama kelamaan menjadi dekat dan cenderung menjadi orang tua kedua (second parent) baik di sekolah maupun di rumah. Karena hal demikian, yaitu mereka mengetahui banyak tentang dunia anak-anak, maka dalam bahasa Yunani Kuno disebut "agogos". Karena itulah sistem pendidikan bagi anak-anak pada zaman Yunani Kuno ditangani oleh paedagog.
Perkembangan selanjutnya, pekerjaan ini tidak hanya bermanfaat bagi anak-anak, tetapi juga bagi orang yang telah lanjut usia (adult). Dalam bahasa Yunani Kuno, orang yang telah lanjut usia atau lansia disebut "andra". Oleh karena itu, bimbingan yang diberikan kepada orang dewasa disebut dengan "andragogos". Kedua istilah tadi semakna dengan istilah "education" dalam bahasa Inggris yang berarti memberi peningkatan (to give rise to) dan mengembangkan (to develop). Istilah education dalam arti sempit adalah suatu bentuk proses perbuatan untuk memperoleh pengetahuan.
Berdasarkan pada uraian di atas, maka dapat dikemukakan bahwa pendidikan adalah usaha yang dilakukan orang dewasa dalam situasi pergaulan dengan anak-anak melalui proses perubahan (pemikiran, perasaan, dan keterampilan) yang dialami oleh anak-anak dalam bentuk pembelajaran atau pelatihan.
Crow & Crow yang pendapatnya dikutip oleh Wasti Sumanto dan Hendyat Soetopo, menuliskan bahwa pendidikan adalah proses pengalaman yang memberikan pengertian, pandangan (insight) dan penyesuaian bagi seseorang yang menyebabkan ia menjadi semakin berkembang. Pandangan ini lebih terinci lagi bagi bangsa Indonesia melalui UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, dinyatakan bahwa:
"Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dalam pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara".
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa, pembangunan nasional pada sektor pendidikan berusah dan menekankan kepada pentinya pembinaan SDM. Melalui lembaga pendidikan diharapkan SDM mampu mengelola dan memanfaatkan kekayaan alam yang berlimpah ruah dan masih banyak yang belum dikendalikan.
Bagi sebagian besae masyarakat Arab, khusunya masyarakat muslim. Kata pendidikan identik dengan kata "tarbiyah" dan "ta'dib" yang juga berarti pendidikan dan pembimbingan. Tapi pakar pendidikan Islam Nuquib al-Attas (1984) menuliskan bahwa, kata ta'dib memiliki perbedaan yang sangat mencolok dengan kata tarbiyah. Kata tarbiyah secara semantik tidak khusus ditujukan untuk mendidik manusia, melainkan dapat digunakan juga kepada species tanaman dan hewan. Selain itu, tarbiyah juga mengandung makna mengasuh, mengembangkan, memelihara, memproduksi hasil-hasil yang sudah matang dan menjinakkan. Sedangkan kata ta'dib mengacu pada pengertian ('Ilm), pengajaran (ta'lim), dan pengasuhan yang baik (tarbiyah). Dengan demikian, al-Attas berpendapat bahwa kata ta'dib merupakan istilah yang paling tepat dan cermat menunjukkan sebuah sistem pendidikan dalam Islam yang di dalamnya ada tiga sub sistem yaitu pengetahuan, pengajaran, dan pengasuhan.
Namun, ketika para pakar muslim memilih pembidangan ilmu sesuai dengan keahliannya, maka pengertian ta'dib dipergunakan hanya untuk merujuk pada kesusastraan dan etika (akhlaq). Sebagai konsekuensinya adalah kata ta'dib sebagai konsep pendidikan Islam mulai memudar dari peredaran dan tidak dikenal lagi sampai suatu saat para ahli pendidikan Islam itu bertemu dan lebih cenderung menggunakan kata education untuk terjemahan kata tarbiyah.
Berdasarkan pada pengertian dan makna pendidikan di atas, inti dari pendidikan adalah kegiatan yang dilakukan orang dewasa dalam upaya mempengaruhi peserta didik melalui pembelajaran, pembinaan, pembimbingan, pelatihan, dan pembiasaan agar mereka menjadi dewasa. Dewasa dalam arti dapat mempertanggung jawabkan dirinya sendiri secara biologis, psikologis, pedagogis, dan sosiologis. Dewasa secara biologis berarti jika peserta didik telah aqil baligh. Dewasa secara psikologis yaitu fungsi-fungsi kejiwaan telah berkembang secara matang. Dewasa secara pedagogis berarti jika peserta didik telah menyadari dan mengenal dirinya sendiri serta bertanggung jawab atas perilaku yang dilakukannya. Dan sewasa secara sosiologis berarti jika peserta didik telah mampu hidup bersama-sama dengan orang lain di tengah-tengah masyarakat yakni saling menghargai, saling membantu, saling menghormati dan mau membela kepentingan bersama.
Reff:
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta; 2003
Wasti Sumanto dan Hendyat Soetopo, Sosiologi Pendidikan, Jakarta; 1982
Tidak ada komentar:
Posting Komentar