Pentingnya Pendidikan Multikultural di Sekolah - Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Kondisi yang demikian memungkinkan terjadinya benturan antar budaya, ras, etnik, agama dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Kasus Ambon, Sampit, konflik antara kelompok FPI dan Ahmadiyah dan sebagainya telah menyadarkan kepada kita bahwa kalau hal ini terus dibiarkan maka sangat memungkinkan untuk terciptanya disintegrasi bangsa.
Untuk itu, dipandang sangat penting memberikan porsi pendidikan multikultural sebagai wacana baru dalam sistem pendidikan di sekolah terutama agar peserta didik memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan karena suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya. Hal ini dapat diimplementasi baik pada substansi maupun model pembelajaran yang mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya.
Wacana Multikulturalisme di Indonesia
Wacana multikulturalisme untuk konteks di Indonesia menemukan momentumnya ketika sistem nasional yang otoriter-militeristik tumbang seiring dengan jatuhnya rezim Soeharto (1998). Saat itu keadaan negara menjadi kacau balau dengan berbagai konflik antar suku bangsa dan antar golongan, yang menimbulkan keterkejutan dan kengerian para anggota masyarakat. Kondisi yang demikian membuat berbagai pihak semakin mempertanyakan kembali sistem nasional seperti apa yang cocok bagi Indonesia yang sedang berubah, serta sistem apa yang bisa membuat masyarakat Indonesia bisa hidup damai dengan meminimalisir potensi konflik.
Menurut Sosiolog UI Parsudi Suparlan, multikulturalisme adalah konsep yang mampu menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme merupakan sebuah ideologi yang mengagungkan perbedaan budaya, atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat. Multikulturalisme akan menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang multikultural. Perbedaan itu dapat terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial.
Implementasi Pendidikan Multikultural di Sekolah
Dalam suatu dekade belakangan ini, nurani kita tercabik-cabik dan terharu biru oleh maraknya aksi kekerasan yang brutal dan sadis berkedok agama. Kasus yang dengan telanjang menampilkan ulah barbar dan premanisme sebagaimana yang tertayang dalam layar kaca bukanlah karakter bangsa kita yang sesungguhnya. Kekerasan yang terjadi di Cikeusik atau Temanggung beberapa waktu yang silam, misalnya makin membuka mata kita bahwa sakralitas makna "Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa", diakui atau tidak sudah mulai luntur. Dan ini, jelas menjadi masalah serius yang perlu segera dituntaskan sebelum akhirnya mewabah menjadi "penyakit sosial" yang bisa meluluhlantakan basis ke-Indonesia-an kita yang sejak dulu amat toleran terhadap perbedaan.
Apalagi, kasus-kasus yang mencuat di permukaan terkait langsung dengan masalah keyakinan, kepercayaan atau agama yang menjadi salah satu hak dasar dan asasi setiap warga bangsa. Ini artinya, tak seorangpun berhak untuk mencampuri atau mengintervensi hak-hak setiap warga negara yang mendasar dan asasi itu. Taruhlah keyakinan perorangan atau sekelompok orang dianggap menyimpang atau bertentangan dengan "keyakinan" mainstream yang ada di negeri ini, tetapi tidak lantas berarti harus dituntaskan dengan cara-cara kekerasan yang justru sangat bertentangan secara diametral dengan keyakinan agama apa pun. Bukankah setiap agama selalu mengajarkan nilai-nilai cinta dan kasih sayang kepada sesama secara universal? Sungguh tidak bisa dipahami kalau pada akhirnya muncul "perilaku sesat" lewat tampilan preman dengan menenteng pentungan atau senjata tajam di ruang-ruang publik. Sungguh tidak bisa dimengerti kalau ada sekelompok orang yang berteriak di jalanan dengan menyebut-nyebut nama Tuhan ALLAHU AKBAR, tetapi wajah mereka menunjukkan keangkuhan dan kegarangan dengan tangan menenteng senjata tajam berlumuran darah segar.
Dalam kondisi seperti itu, idealnya negara harus "hadir" di tengah kecamuk kekerasan yang membadai semacam itu. Namun, sayang sekali, negara melalui aparat yang berwenang dinilai selalu hadir terlambat sehingga kekerasan demi kekerasan terus berlangsung tanpa ada upaya untuk mencegah sejak dini. Sejak peristiwa berdarah Mei 1998, entah sudah berapa nyawa yang melayang sia-sia akibat praktek premanisme dan vandalisme berbau SARA. Mungkin ada benarnya kalau ada yang bilang bahwa kekerasan berbau SARA yang sering terjadi di negeri ini merupakan manifestasi kesalahpahaman akibat lemahnya pemaknaan terhadap perbedaan. Perbedaan belum dipahami secara utuh sebagai sebuah "rahmat", tetapi justru dipersempit hingga menimbulkan pemaknaan eksklusif yang memicu tumbuhnya sikap fanatisme sempit. Mereka yang tidak sepaham dianggap sebagai pihak lain yang harus dimusuhi yang tidak jarang diikuti dengan aksi-aksi agitasi dan provokasi. Imbas yang muncul dari situasi seperti itu adalah banyaknya orang yang tidak tahu apa-apa, tetapi terlibat secara masif dalam aksi-aksi premanisme yang tidak mereka sadari.
Dalam konteks demikian, dibutuhkan pemaknaan secara utuh terhadap nilai-nilai multikultural sejak dini, sehingga generasi masa depan negeri ini bisa memandang perbedaan sebagai sebuah rahmat, melihat keberagaman sebagai pola perilaku yang khas di tengah-tengah negeri yang secara "sunatullah" memang telah ditakdirkan sebagai bangsa yang multibudaya. Sampai kapan pun, akar kekerasan akan menjadi ancaman laten selama nilai-nilai primordialisme dipahami secara naif dan sempit. Salah satu upaya strategis yang bisa dilakukan untuk membangun generasi masa depan yang "SADAR BUDAYA" semacam itu adalah penanaman nilai keberagaman melalui pendidikan multikultural di sekolah. Di tengah kompleksnya persoalan-persoalan pendidikan seperti saat ini, memang bukan hal yang mudah untuk merevitalisasi dan mengokohkan pendidikan multikultural dalam dunia persekolahan kita. Banyak kalangan menilai, generasi Indonesia saat ini merupakan generasi yang tengah mengalami "GEGAR BUDAYA". Pada satu sisi, anak-anak muda yang tengah gencar memburu ilmu di bangku pendidikan tak pernah berhenti mendapatkan asupan "gizi" tentang nilai-nilai keluhuran budi dan akhlakul karimah. Tetapi pada sisi yang lain, mereka juga tidak bisa menutup mata terhadap maraknya berbagai perilaku anomali sosial, kerusuhan, dan kekerasan yang berlangsung vulgar dan telanjang di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Dalam situasi seperti itu, peserta didik mengalami kepribadian yang terbelah, sehingga tak jarang berada di persimpangan jalan ketika di hadapan pada situasi yang saling kontradiktif.
Meski demikian, tidak lantas berarti bahwa institusi pendidikan sebagai "Kawah Candradimuka Peradaban" boleh bersikap abai dan melakukan pembiaran secara terus menerus dan berkelanjutan terhadap perilaku generasi yang "GEGAR BUDAYA" semacam itu. Melalui berbagai pendekatan dan model-model pembelajaran yang menarik, peserta didik perlu diajak berdiskusi, bersimulasi, dan berdialog bagaiaman cara hidup saling menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang ada di tengah-tengah masyarakat plural. Sekolah perlu di setting dan didesain sebagai wadah simulasi terhadap berbagai fenomena hidup dan kehidupan Indonesia yang serba plural. Pendidikan multikultural, dengan demikian tidak cukup menjadi tanggung jawab guru mata pelajaran tertentu, tetapi perlu diimplementasikan secara integral ke dalam berbagai materi pembelajaran yang relevan dengan mata pelajaran yang bersangkutan. Tidak ada salahnya, peserta didik diajak berdialog dan belajar menumbuhkan kepekaannya terhadap kasus kekerasan yang terjadi. Bagaimana respon dan sikap peserta didik terhadap aksi-aksi kekerasan yang terjadi bisa dijadikan sebagai masukan berharga dalam proses pembelajaran berbasis pendidikan multikultural.
Guru perlu memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk merespon dan menyikapinya, sehingga mereka merasa dihargai dan diperlakukan sebagai sosok yang sangat dibutuhkan kehadirannya dalam proses pembelajaran. Meskipun demikian, guru dalam fungsinya sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran perlu memberikan penguatan agar pengalaman belajar yang mereka peroleh bisa dikonstruksi menjadi pengetahuan baru tentang nilai-nilai multikultural itu. Jika dikemas dalam proses pembelajaran yang menarik dan menyenangkan, bukan mustahil kelak mereka akan menjadi generasi yang "SADAR BUDAYA", sehingga mampu menyandingkan keberagaman sebagai kekayaan budaya bangsa yang perlu dihormati dengan sikap toleran, tulus, dan jujur. Paradigma pendidikan multikulturalisme sangat bermanfaat untuk membangun kohesifitas, soliditas, dan intimitas di antara keberagamannya etnik, ras, agama, budaya dan kebutuhan di antara kita.
Paparan di atas juga memberi dorongan dan spirit bagi lembaga pendidikan nasional untuk mau menanamkan sikap kepada peserta didik untuk menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain. Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya, dan nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis, dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Agar proses ini berjalan sesuai harapan, maka seyogyanya kita mau menerima jika pendidikan multikultural disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga pendidikan, serta, jika mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan diberbagai jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. Apalagi, paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari pasal 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Sisdiknas. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
----------- Slamet Saefurochman, S.Ag.M.Si
(Guru dan Anggota Risbang MTsN Margadana Kota Tegal)
Menurut Sosiolog UI Parsudi Suparlan, multikulturalisme adalah konsep yang mampu menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme merupakan sebuah ideologi yang mengagungkan perbedaan budaya, atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat. Multikulturalisme akan menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang multikultural. Perbedaan itu dapat terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial.
Implementasi Pendidikan Multikultural di Sekolah
Dalam suatu dekade belakangan ini, nurani kita tercabik-cabik dan terharu biru oleh maraknya aksi kekerasan yang brutal dan sadis berkedok agama. Kasus yang dengan telanjang menampilkan ulah barbar dan premanisme sebagaimana yang tertayang dalam layar kaca bukanlah karakter bangsa kita yang sesungguhnya. Kekerasan yang terjadi di Cikeusik atau Temanggung beberapa waktu yang silam, misalnya makin membuka mata kita bahwa sakralitas makna "Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa", diakui atau tidak sudah mulai luntur. Dan ini, jelas menjadi masalah serius yang perlu segera dituntaskan sebelum akhirnya mewabah menjadi "penyakit sosial" yang bisa meluluhlantakan basis ke-Indonesia-an kita yang sejak dulu amat toleran terhadap perbedaan.
Apalagi, kasus-kasus yang mencuat di permukaan terkait langsung dengan masalah keyakinan, kepercayaan atau agama yang menjadi salah satu hak dasar dan asasi setiap warga bangsa. Ini artinya, tak seorangpun berhak untuk mencampuri atau mengintervensi hak-hak setiap warga negara yang mendasar dan asasi itu. Taruhlah keyakinan perorangan atau sekelompok orang dianggap menyimpang atau bertentangan dengan "keyakinan" mainstream yang ada di negeri ini, tetapi tidak lantas berarti harus dituntaskan dengan cara-cara kekerasan yang justru sangat bertentangan secara diametral dengan keyakinan agama apa pun. Bukankah setiap agama selalu mengajarkan nilai-nilai cinta dan kasih sayang kepada sesama secara universal? Sungguh tidak bisa dipahami kalau pada akhirnya muncul "perilaku sesat" lewat tampilan preman dengan menenteng pentungan atau senjata tajam di ruang-ruang publik. Sungguh tidak bisa dimengerti kalau ada sekelompok orang yang berteriak di jalanan dengan menyebut-nyebut nama Tuhan ALLAHU AKBAR, tetapi wajah mereka menunjukkan keangkuhan dan kegarangan dengan tangan menenteng senjata tajam berlumuran darah segar.
Dalam kondisi seperti itu, idealnya negara harus "hadir" di tengah kecamuk kekerasan yang membadai semacam itu. Namun, sayang sekali, negara melalui aparat yang berwenang dinilai selalu hadir terlambat sehingga kekerasan demi kekerasan terus berlangsung tanpa ada upaya untuk mencegah sejak dini. Sejak peristiwa berdarah Mei 1998, entah sudah berapa nyawa yang melayang sia-sia akibat praktek premanisme dan vandalisme berbau SARA. Mungkin ada benarnya kalau ada yang bilang bahwa kekerasan berbau SARA yang sering terjadi di negeri ini merupakan manifestasi kesalahpahaman akibat lemahnya pemaknaan terhadap perbedaan. Perbedaan belum dipahami secara utuh sebagai sebuah "rahmat", tetapi justru dipersempit hingga menimbulkan pemaknaan eksklusif yang memicu tumbuhnya sikap fanatisme sempit. Mereka yang tidak sepaham dianggap sebagai pihak lain yang harus dimusuhi yang tidak jarang diikuti dengan aksi-aksi agitasi dan provokasi. Imbas yang muncul dari situasi seperti itu adalah banyaknya orang yang tidak tahu apa-apa, tetapi terlibat secara masif dalam aksi-aksi premanisme yang tidak mereka sadari.
Dalam konteks demikian, dibutuhkan pemaknaan secara utuh terhadap nilai-nilai multikultural sejak dini, sehingga generasi masa depan negeri ini bisa memandang perbedaan sebagai sebuah rahmat, melihat keberagaman sebagai pola perilaku yang khas di tengah-tengah negeri yang secara "sunatullah" memang telah ditakdirkan sebagai bangsa yang multibudaya. Sampai kapan pun, akar kekerasan akan menjadi ancaman laten selama nilai-nilai primordialisme dipahami secara naif dan sempit. Salah satu upaya strategis yang bisa dilakukan untuk membangun generasi masa depan yang "SADAR BUDAYA" semacam itu adalah penanaman nilai keberagaman melalui pendidikan multikultural di sekolah. Di tengah kompleksnya persoalan-persoalan pendidikan seperti saat ini, memang bukan hal yang mudah untuk merevitalisasi dan mengokohkan pendidikan multikultural dalam dunia persekolahan kita. Banyak kalangan menilai, generasi Indonesia saat ini merupakan generasi yang tengah mengalami "GEGAR BUDAYA". Pada satu sisi, anak-anak muda yang tengah gencar memburu ilmu di bangku pendidikan tak pernah berhenti mendapatkan asupan "gizi" tentang nilai-nilai keluhuran budi dan akhlakul karimah. Tetapi pada sisi yang lain, mereka juga tidak bisa menutup mata terhadap maraknya berbagai perilaku anomali sosial, kerusuhan, dan kekerasan yang berlangsung vulgar dan telanjang di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Dalam situasi seperti itu, peserta didik mengalami kepribadian yang terbelah, sehingga tak jarang berada di persimpangan jalan ketika di hadapan pada situasi yang saling kontradiktif.
Meski demikian, tidak lantas berarti bahwa institusi pendidikan sebagai "Kawah Candradimuka Peradaban" boleh bersikap abai dan melakukan pembiaran secara terus menerus dan berkelanjutan terhadap perilaku generasi yang "GEGAR BUDAYA" semacam itu. Melalui berbagai pendekatan dan model-model pembelajaran yang menarik, peserta didik perlu diajak berdiskusi, bersimulasi, dan berdialog bagaiaman cara hidup saling menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang ada di tengah-tengah masyarakat plural. Sekolah perlu di setting dan didesain sebagai wadah simulasi terhadap berbagai fenomena hidup dan kehidupan Indonesia yang serba plural. Pendidikan multikultural, dengan demikian tidak cukup menjadi tanggung jawab guru mata pelajaran tertentu, tetapi perlu diimplementasikan secara integral ke dalam berbagai materi pembelajaran yang relevan dengan mata pelajaran yang bersangkutan. Tidak ada salahnya, peserta didik diajak berdialog dan belajar menumbuhkan kepekaannya terhadap kasus kekerasan yang terjadi. Bagaimana respon dan sikap peserta didik terhadap aksi-aksi kekerasan yang terjadi bisa dijadikan sebagai masukan berharga dalam proses pembelajaran berbasis pendidikan multikultural.
Guru perlu memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk merespon dan menyikapinya, sehingga mereka merasa dihargai dan diperlakukan sebagai sosok yang sangat dibutuhkan kehadirannya dalam proses pembelajaran. Meskipun demikian, guru dalam fungsinya sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran perlu memberikan penguatan agar pengalaman belajar yang mereka peroleh bisa dikonstruksi menjadi pengetahuan baru tentang nilai-nilai multikultural itu. Jika dikemas dalam proses pembelajaran yang menarik dan menyenangkan, bukan mustahil kelak mereka akan menjadi generasi yang "SADAR BUDAYA", sehingga mampu menyandingkan keberagaman sebagai kekayaan budaya bangsa yang perlu dihormati dengan sikap toleran, tulus, dan jujur. Paradigma pendidikan multikulturalisme sangat bermanfaat untuk membangun kohesifitas, soliditas, dan intimitas di antara keberagamannya etnik, ras, agama, budaya dan kebutuhan di antara kita.
Paparan di atas juga memberi dorongan dan spirit bagi lembaga pendidikan nasional untuk mau menanamkan sikap kepada peserta didik untuk menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain. Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya, dan nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis, dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Agar proses ini berjalan sesuai harapan, maka seyogyanya kita mau menerima jika pendidikan multikultural disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga pendidikan, serta, jika mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan diberbagai jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. Apalagi, paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari pasal 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Sisdiknas. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
----------- Slamet Saefurochman, S.Ag.M.Si
(Guru dan Anggota Risbang MTsN Margadana Kota Tegal)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar