Biografi Dzu Al-Nun Al-Misri Peletak Dasar-Dasar Tasawwuf - Dzu al-Nun al-Misri adalah nama julukan bagi seorang sufi yang tinggal di sekitar pertengahan abad ketiga Hijriah. Nama lengkapnya adalah Abu al-Faidh Tsauban bin Ibrahim. Beliau dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir pada tahun 180 H/796 M dan wafat pada tahun 246 H/856 M [1]. Julukan Dzu al-Nun diberikan kepadanya sehubungan dengan berbagai kekeramatannya yang Allah berikan kepadanya. Di antaranya beliau pernah mengeluarkan seorang anak dari perut buaya di sungai Nil dalam keadaan selamat atas permintaan ibu dari anak tersebut.
Asal mula al-Misri tidak banyak diketahui, tetapi riwayatnya sebagai seorang sufi banyak diutarakan. Dalam perjalanan hidupnya al-Misri selalu berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Beliau pernah menjelajahi berbagai daerah di Mesir, mengunjungi Bait al-Maqdis, Baghdad, Makkah, Hijaz, Syria, Pegunungan Libanon, Anthokiah, dan Lembah Kan’an [2]. Hal ini memungkinkannya untuk memperoleh pengalaman yang banyak dan mendalam. Beliau hidup pada masa munculnya sejumlah ulama terkemuka dalam bidang ilmu fiqih, ilmu hadits, dan guru sufi sehingga beliau dapat berhubungan dan mengambil pelajaran dari mereka. Beliau pernah mengikuti pengajian Ahmad bin Hanbal. Beliau mengambil riwayat hadits dari Malik, al-Laits, dan lain-lainnya. Adapun yang pernah mengambil riwayat darinya, antara lain al-Hasan bin Mush’ib al-Nakha’i. Gurunya dalam bidang tasawwuf adalah Syaqran al-‘Abd atau Israfil al-Maghribiy. Ini memungkinkan baginya untuk menjadi seorang yang alim, baik dalam ilmu syari’at maupun tasawwuf [3].
Sebelum al-Misri, sebenarnya sudah ada guru sufi, tetapi beliau adalah orang pertama yang member tafsiran terhadap isyarat-isyarat tasawwuf. Beliau pun merupakan orang pertama di Mesir yang berbicara tentang ahwal dan maqamat para wali dan orang yang pertama yang memberi definisi tauhid dengan pengertian yang bercorak sufistik. Beliau mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan pemikiran tasawwuf. Tidaklah mengherankan kalau sejumlah penulis menyebutnya sebagai peletak dasar-dasar tasawwuf [4].
Pendapat tersebut cukup beralasan mengingat al-Misri hidup pada masa awal pertumbuhan ilmu tasawwuf. Lagi pula, beliau seorang sufi pengembara yang memiliki kemampuan dan keberanian untuk menyatakan pendapatnya. Keberaniannya itulah yang menyebabkan beliau harus berhadapan dengan gelombang protes yang disertai dengan tuduhan zindiq. Akibatnya, beliau dipanggil menghadap Khalifah al-Mutawakkil. Namun, beliau dibebaskan dan dipulangkan ke Mesir dengan penuh penghormatan. Kedudukannya sebagai wali diakui secara umum ketika beliau meninggalkan dunia yang fana ini [5].
Dalam ajaran-ajaran tasawwufnya, al-Misri membagi pengetahuan Tuhan menjadi tiga macam. Yaitu, (a) Pengetahuan untuk seluruh muslim; (b) Pengetahuan khusus untuk para filosof dan ulama; dan (c) Pengetahuan khusus untuk para wali Allah [6]. Menurut pengalamannya, sebelum sampai pada maqam al-Ma'rifat, al-Misri melihat Tuhan melalui tanda-tanda kebesaran-Nya yang terdapat di alam semesta. Suatu ungkapan puitisnya berbunyi:
".... Ya Rabbi, aku mengenal-Mu melalui bukti-bukti karya-Mu dan tindakan-Mu. Tolonglah daku. Ya Rabbi, dalam mencari ridha-Mu dengan ridhaku dengan semangat Engkau dalam kecintaan-Mu, dengan kesentosaan dan niat teguh".
Ketika ditanya tentang memperoleh ma'rifat, al-Misri menjawab:
"Saya mengenal Tuhan dengan (pertolongan) Tuhan, kalau bukan karena pertolongan-Nya, saya tidak mungkin mengenal-Nya ('Araftu rabbi bi rabbi wa laula rabbi lama 'araftu rabbi)".
Ungkapannya itu menunjukkan bahwa Ma'rifat tidak diperoleh begitu saja, tetapi merupakan pemberian Tuhan, rahmat, dan nikmat-Nya [7].
Reff:
[1] The Encyclopedia of Islam, E. J. Brill, Leiden, 1933, hal. 242
[2] Muhammad Syafiq Gharib, Al-Mausu’ah Al-‘Arabiyyah Al-Muyassarah, Dar al-Qalam, Mesir, t.t, hal. 848.
[3] Abd al-Mun’im al-Hafani, al-Mausu’ah al-Shufiyyah, Dar al-Rasyad, Kairo, 1992, hal. 165
[4] Annemarie Schimmel, Mystical Dimention of Islam, The University of California Press, Chapell Hill, 1981, hal. 6
[5] Abd al-Mun’im al-Hafani, al-Mausu’ah al-Shufiyyah, hal. 165
[6] Abd Halim Mahmud, Qadhiyat al-Tasawwuf al-Munqidz min al-Dhalal, Dar al-Ma'arif, Kairo, 1119 H, hal. 66-67
[7] Ahmad bin 'Athaillah, al-Hawash li Tahazib al-Nafs, t.t, hal 20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar