Biografi Imam Al-Ghazali Si Bahr Mu'riq (Lautan yang Menghanyutkan) - Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Secara singkat dipanggil Al-Ghazali atau Abu Hamid Al-Ghazali [1]. Beliau dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan di Ghazlah, suatu kota di Khurasan Iran pada tahun 450 H/1058 M, tiga tahun setelah kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad[2].
Ayah Al-Ghazali adalah seorang pemintal kain wol yang taat, menyenangi ulama dan aktif menghadiri majlis-majlis pengajian. Ketika menjelang wafatnya, ayahnya menitipkan Al-Ghazali dan adiknya yang bernama Ahmad kepada seorang sufi. Beliau menitipkan sedikit bekal kepada seorang sufi tersebut seraya berkata dalam wasiatnya [3]:
Ayah Al-Ghazali adalah seorang pemintal kain wol yang taat, menyenangi ulama dan aktif menghadiri majlis-majlis pengajian. Ketika menjelang wafatnya, ayahnya menitipkan Al-Ghazali dan adiknya yang bernama Ahmad kepada seorang sufi. Beliau menitipkan sedikit bekal kepada seorang sufi tersebut seraya berkata dalam wasiatnya [3]:
“Aku menyesal sekali
karena aku tidak belajar menulis,
aku berharap untuk mendapatkan apa yang
tidak kuperoleh itu melalui putraku ini”
karena aku tidak belajar menulis,
aku berharap untuk mendapatkan apa yang
tidak kuperoleh itu melalui putraku ini”
Sufi tersebut mendidik dan mengajar keduanya sampai suatu hari bekal titipannya habis dan sufi tersebut tidak mampu lagi memberi makan keduanya. Selanjutnya sufi tersebut menyarankan kedua anaknya untuk belajar kepada pengelola sebuah madrasah sekaligus untuk menyambung hidup mereka [4].
Di madrasah tersebut Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqh kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian Al-Ghazali memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah di Naisabur, dan di sinilah beliau berguru kepada Imam Haramain (Al-Juwaini, wafat 478 H/1086 M) hingga menguasai ilmu mantiq, ilmu kalam, fiqh-ushul fiqh, filsafat, tasawwuf, dan retorika perdebatan [5]. Selama di Naisabur Al-Ghazali juga menimba ilmu kepada Yusuf An-Nasaj. Dan ternyata ilmu-ilmu yang didapatkannya dari Al-Juwaini benar-benar dikuasai oleh Al-Ghazali, termasuk perbedaan pendapat dari para ahli ilmu tersebut. Beliau pun mampu memberikan sanggahan-sanggahan kepada para penentangnya. Karena kemahirannya dalam masalah ini, maka Al-Juwaini menjuluki Al-Ghazali dengan sebutan “Bahr Mu’riq” (lautan yang menghanyutkan). Kecerdasan dan keluasan wawasan berpikir yang dimiliki Al-Ghazali menjadikannya semakin popular. Bahkan ada riwayat yang menyebutkan bahwa secara diam-diam di hati Imam Haramain timbul rasa iri yang mendorongnya untuk mengatakan [6]:
“Engkau telah memudarkan ketenaranku
padahal aku masih hidup,
apakah aku mesti menahan diri
padahal ketenaranku telah mati”
padahal aku masih hidup,
apakah aku mesti menahan diri
padahal ketenaranku telah mati”
Setelah Imam Haramain wafat, Al-Ghazali pergi ke Baghdad tempat berkuasanya PM Nizham Al-Muluk (wafat 485 H/1091 M). Kota ini merupakan tempat berkumpul sekaligus tempat diselenggarakannya perdebatan antara ulama-ulama terkenal. Beliaupun ikut melibatkan diri dalam perdebatan tersebut dan sering mengalahkan ulama-ulama ternama, sehingga mereka pun tidak segan-segan mengakui keunggulan Al-Ghazali. Sejak itulah nama beliau menjadi termasyhur di kawasan kerajaan Saljuk. Pada usia 30 tahun beliau diangkat sebagai guru besar Universitas Nizhamiyah oleh Nizham Al-Muluk karena kemasyhurannya tersebut. Ternyata kegiatan perdebatan itu menimbulkan pergolakkan dalam diri Al-Ghazali karena tidak ada yang memberikan kepuasan batinnya. Beliaupun memutuskan untuk meninggalkan jabatannya dan meninggalkan Baghdad dan menuju Syiria, Palestina dan Makkah untuk mencari kebenaran. Tidak lama setelah memperoleh kebenaran yang hakiki beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir di Thus pada tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H [7].
Reff:
[1] Sa’id Basil, Manhaj Al-Bashi ‘an Al-Ma’rifat ‘Inda Al’Ghazali, Dar Al-Kitab Al-Banani, Beirut, tt, hal. 16
[2] Annemarie Schiemel, Mystical Dimension of Islam. The University of North Carolina Press, Chapel Hill, 1975, hal. 93
[3] Al-Subki, Thabaqat Asy-Syafi’iyat Al-Kubra. Musthafa Babi Al-Halabi Juz IV tt. Mesir, hal. 102
[4] Abd Halim Mahmud, Qadhiyat At-Thasawwuf Al-Munqidz min Adh-Dhalal, Dar Al-Ma’arif, Kairo, 1119 H, hal. 40
[5] MM. Syarif, History of Muslim Philosophy, Vol II, Wiesbaden, Otto Harrasspwitz, 1963, hal. 583-584
[6] Abd Karim Usman, Sirat Al-Ghazali, Maktabah Al-Nahdhah, Mesir, 1964, hal. 20
[7] As-Sayyid Abu Bakar Ibn Muhammad Syata, Kafayat Al-Atqiya wa Minhaj Asy-Syifa, Trans: Menapak Jejak Kaum Sufi, Dunia Ilmu Ofset, Surabaya, 1997, hal. 272
Tidak ada komentar:
Posting Komentar