Kritik terhadap Pendidikan ala Barat - Orientasi pengembangan gagasan dan praksis pendidikan oleh Ki Hadjar Dewantara bukanlah upaya pengembangan yang asal-asalan tanpa telaah historis dan kritik atas gagasan dan praksis pendidikan lain. Salah satu gagasan dan praksis pendidikan yang menjadi sasaran kritik Ki Hadjar adalah dari Barat, yaitu sebagaimana yang dipraktikkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda waktu itu. Ki Hadjar menyatakan: "Akan dasar-dasarnya saja, di situlah sudah terdapat hal-hal yang ganjil. Adapun dasar-dasarnya pendidikan Barat itu, yakni: regering, tucht, dan orde (perintah, hukuman, dan ketertiban). Terutama dalam prakteknya maka didikan yang sedemikian itu lalu berlaku sebagai perkosaan atas kehidupan batin anak-anak. Apa yang jadi buahnya? Anak-anak rusak budi pekertinya, disebabkan selalu hidup di bawah paksaan dan hukuman, yang biasanya tiada setimpal dengan kesalahannya. Kalau menjadi orang tua, ia tiada akan dapat bekerja, kalau tiada dipaksa, kalau tidak ada perintah."
"Kalau kita meniru saja cara yang semacam itu, tiadalah kita akan bisa membentuk orang yang punya kepribadian."
Paragraf di atas menunjukkan bahwa secara eksplisit/jelas Ki Hadjar tidak sepakat dengan dasar-dasar pendidikan Barat waktu itu, yaitu regering (perintah), tucht (hukuman), dan orde (ketertiban). Menurut Ki Hadjar penerapan konsep dasar pendidikan yang menekankan pada perintah, hukuman, dan ketertiban telah „memerkosa kehidupan batin‟ anak-anak. Mengapa? Mari kita ulas lebih lanjut soal reger ing dan tucht dengan mengkesampingkan lebih dulu orde, karena dalam beberapa ulasan Ki Hadjar tampak juga menerapkan orde atau ketertiban dalam mengelola Taman Siswa. [1]
Perintah
Praktik pembelajaran yang menekankan pada perintah jika kita kontekstualisasikan pada masa sekarang, agaknya dapat cukup dijelaskan melalui pembelajaran yang tidak banyak memberi ruang bagi siswa untuk mengasah daya kritis dan kreativitasnya. Melainkan didominasi oleh sekian banyak perintah yang ditujukan untuk para siswa. Perintah-perintah tersebut lahir sebagai bagian dari desain pembelajaran yang diarahkan untuk membentuk siswa-siswi menjadi manusia-manusia yang memiliki cara pandang, pola pikir, nilai-nilai, budaya, dan ideologi tertentu. Perintah, pada hakikatnya adalah cara langsung untuk menenggelamkan siswa-siswi dalam aktivitas tertentu yang akan pengetahuan, nilai-nilai, budaya, dan ideologi tertentu terinternalisasi dengan baik, optimal, dan efektif.
Dengan meniadakan ruang bagi siswa-siswi untuk berpikir kritis dan kreatif, dan sebaliknya, mengisi praksis pembelajaran dengan sekian banyak perintah, maka ruang-ruang bagi ekspresi para siswa menjadi sempit dan akhirnya hilang. Inilah yang disebut oleh Ki Hadjar sebagai telah memerkosa "kehidupan batin" anak-anak. Sebagaimana saya telah menafsirkan konsep „batin‟ dari Ki Hadjar dalam konteks sosio-kultural waktu itu sebagai dimensi psikis, spiritual, dan intelektual manusia, maka bagi Ki Hadjar praktik pembelajaran yang terlalu dominan memberi perintah pada siswa ibarat memaksa siswa untuk belajar hal-hal yang belum tentu mereka suka dan perlu. Atau dengan kata lain: pemerkosaan! Yakni memaksa anak-anak untuk melakukan tugas atau terlibat dalam aktivitas tertentu, yang di sisi lain membatasi dan memangkas bertumbuhkembangnya bakat dan minat mereka.
Perintah yang dilakukan terus menerus, baik perintahnya sama atau tidak, juga dapat dipahami sebagai bagian dari teknik untuk internalisasi pengetahuan dan mengasah keterampilan teknis secara ketat, hingga siswa-siswi menjadi ahli dan praktisi dalam bidang tertentu. Jika kita telaah konteks historis waktu itu, di mana modernisasi yang diarahkan untuk spesialisasi kerja, maka proses belajar-pembelajaran dengan perintah-perintah atau tugas-tugas adalah tepat. Spesialisasi kerja ini penting dalam tatanan sosial masyarakat modern di Barat. Selain itu spesialisasi kerja ini juga penting ketika diterapkan pada tatanan sosial masyarakat Hindia Belanda waktu itu yang dibuat strata antara penguasa kolonial Hindia Belanda, pendatang/asing dari Timur Tengah dan Asia (China), dan kaum pribumi. Spesialisasi kerja yang dipadu oleh diferensiasi ras/etnis mempermudah mekanisme kontrol penguasa agar tidak terjadi gejolak dan konflik sosial.
Spesialisasi kerja menjadikan orang fokus pada rutinitas kerjanya, menguasai betul detil pekerjaannya, dan abai atau tidak punya wawasan luas di luar bidang yang ia geluti. Dalam konteks kolonialisme Hindia Belanda, maka hal-hal yang sekiranya akan melahirkan bibit-bibit kesadaran kritis, kreativitas, dan akhirnya perlawanan terhadap penguasa jelas dijauhkan dari struktur kurikulum resmi. Di sinilah pemberangusan ruang-ruang ekspresi yang sejatinya adalah lahan subur bagi pengejawantahan ekspresi anak didik untuk mengasah daya kritis, kreativitas, intelektualitas, dan lainnya mendapatkan argumentasi penguatnya, bahwa: (1) daya kritis dan kreativitas memang harus dibunuh dengan memberi banyak perintah/tugas terstruktur; (2) hal tersebut karena daya kritis dan kreativitas adalah mula dari kesadaran kritis untuk melawan kuasa kolonial; (3) dengan fokus pada perintah-perintah teknis dan non-teknis maka daya kritis dan kreativitas anak-anak dimatikan sejak awal dan diarahkan pada menguasai hal-hal tertentu yang “tidak berbahaya” bagi penguasa.
Tentu saja Ki Hadjar dalam mengkritik konsep “perintah” (regering) sebagai pembunuhan terhadap bakat, minat, daya kritis, dan kreativitas siswa, tidak hanya dimaksudkan untuk dimensi yang sifatnya personal saja. Lebih dari itu juga kita dapat perluas lokus analisisnya pada dimensi sosial, yaitu konteks kolonialisme Hindia Belanda waktu itu. Mengapa? Karena substansi “perintah” memiliki substansi kekerasan (violence) yang sama dan sebangun dengan kekerasan dan sekian banyak perintah-perintah yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Lebih lanjut, regering memang dominan dalam praksis pembelajaran yang bertumpu pada konsep kurikulum top down. Desain kurikulum jenis ini memang dirumuskan sejak awal untuk mengontrol secara ketat praksis pembelajaran yang akan dilaksanakan di kelas. Kontrol ketat tersebut dilakukan agar praksis pembelajaran tetap berada di rel atau pada jalur menuju pencapaian tujuan-tujuan pembelajaran yang sudah ditetapkan ketika kurikulum tersebut dibuat.
Namun jika kita telaah dimensi personal siswa dari kritik Ki Hadjar Dewantara tersebut, dapat kita petik pelajaran bahwa praksis pembelajaran/pedagogik yang menitikberatkan pada perintah tampak bertentangan dengan hakikat dasar dari belajar itu sendiri. Bukankah belajar mestinya didasari oleh kesukarelaan dan rasa senang hati untuk mempelajari suatu hal? Konsep dasar pendidikan ala Barat yang dikritik oleh Ki Hadjar karena menekankan pada “perintah” lebih tampak menonjolkan sisi “paksaan” dalam belajar. Pemaksaan yang dipahami sebagai bentuk “pemerkosaan” terhadap keinginan, bakat, daya kritis, dan kreativitas siswa tersebut dalam diskursus teori-teori belajar dapat ditelusuri akarnya adalah para paradigma psikologi behavioristik. Konsep dasar “hukuman” yang juga dikritik oleh Ki Hadjar akan menguatkan keabsahan tafsir mengenai ketidaksepakatan Ki Hadjar terhadap gagasan dan praksis pendidikan yang tidak humanis dan tidak memerdekakan.
Konsep dasar dari hukuman (tucht) dalam pendidikan dapat digambarkan dalam terminologi reward and punishment dan stick and carrot. Secara konseptual, hukuman diberikan pada siswa jika mereka melakukan hal yang tidak diinginkan oleh guru, dan hadiah diberikan pada siswa jika mereka melakukan hal yang diinginkan oleh guru dengan derajat mengagumkan alias berprestasi. Dengan demikian maka sebenarnya siswa lagi-lagi tidak punya ruang ekspresi. Mereka sekadar mengikuti perintah saja dari guru, jika berhasil mendapat hadiah, jika gagal mendapat hukuman. Jika kita perhatikan maka tak ada bedanya antara mendidik anak manusia dengan melatih hewan untuk dapat melakukan aksi akrobatik. Jika dikaitkan dengan perintah (regering), maka hukuman (tucht) adalah konsekuensi atau kelanjutan untuk tetap menjadikan anak-anak berada dalam kondisi dipaksa. Bukan sukarela dan senang hati dalam mempelajari suatu hal.
Konsep hadiah dan hukuman dalam teori pembelajaran memang bersandar pada logika stimulus-respon (S-R), yakni (1) perilaku seseorang adalah respon seseorang tersebut atas suatu hal, (2) agar seseorang berperilaku tertentu, maka ia harus diberi stimulus tertentu yang akan merangsang seseorang tersebut untuk berperilaku, bertindak, atau bersikap tertentu. Jika kita telaah lebih dalam lagi, maka logika stimulus-respons tersebut dibangun di atas asumsi dasar bahwa manusia tidak punya inisiatif untuk melakukan suatu hal tertentu tanpa stimulus. Atau, manusia tidak punya kehendak (will) untuk melakukan suatu hal jika tidak dirangsang melalui stimulus tertentu. Asumsi ini tentu problematik, mengingat bahwa manusia tidak sama dengan hewan yang memang perilakunya didasarkan pada stimulus yang datang dari luar, dan di sisi lain lebih didorong oleh naluri/insting dasar (basic instinct) hewaniah. Padahal manusia memiliki akal dan rasa yang menjadikan dirinya memiliki alur yang berbeda dibandingkan dengan hewan dalam melakukan suatu hal.
Pada hewan—sebagaimana riset awal psikologi behavioristik yang dilakukan oleh Ivan Pavlov pada anjing—memang relatif tepat jika agar dapat melakukan hal tertentu maka perlu diberi stimulus. Dalam beberapa hal, manusia juga demikian, terutama pada hal-hal yang bersifat fisik, biologis, dan psikomotorik. Namun untuk hal-hal atau dimensi afektif dan kognitif tentu berbeda. Di situlah sebenarnya asumsi bahwa manusia hanya akan melakukan sesuatu jika diperintah dan diberi stimulus (regering, tuch, S-R) perlu dikoreksi. Karena dalam ranah afektif dan kognitif, manusia bertindak atau melakukan suatu hal berdasarkan pada pengetahuan dan nilai-nilai atau bahkan ideologi yang ia yakini kebenarannya dan ia anut. Memang benar bahwa manusia bertindak juga berdasarkan stimulus tertentu. Problem sosial tertentu misalnya akan mendorong seseorang untuk melakukan hal tertentu. Namun sekali lagi sikap dan tindakan tersebut tidaklah murni insting dasar, melainkan didasari oleh pertimbangan akal budi.
Dengan demikian, praksis pembelajaran yang menekankan pada hukuman (tucht) atau lengkapnya hadiah dan hukuman, tidak akan banyak mengasah daya nalar kritis dan kreativitas serta inisiatif siswa. Insting insaniah berupa akal budi, daya kritis, kreativitas, dan imajinasi tidak diasah dengan baik. Pada akhirnya anak-anak tersebut di kala dewasa dan tua akan menjadi orang-orang yang tidak punya inisiatif dan kesadaran kritis. Mereka akan menjadi tenaga teknis yang—sebagaimana kata Ki Hadjar di atas—tiada akan dapat bekerja, kalau tiada dipaksa, kalau tidak ada perintah. Mengapa? Karena mereka sudah dibiasakan untuk melakukan sesuatu berdasarkan perintah-perintah tertentu dan juga stimulus langsung. Kembali pada apa yang dikatakan oleh Ki Hadjar, maka gagasan dan praksis pendidikan yang menekankan pada perintah dan hukuman tersebut tidak akan dapat membangun kepribadian/karakter siswa-siswi menjadi pribadi-pribadi yang unggul. Yakni mereka yang punya daya cipta, daya kritis, daya imajinasi, keberanian, kemandirian, kedaulatan, dan kemerdekaan.
Kritik Ki Hadjar Dewantara pada gagasan dan praksis pendidikan yang menekankan pada perintah dan hukuman adalah sama dan sebangun dengan kritiknya pada praksis kolonialisme pemerintah Hindia Belanda di Bumi Nusantara. Anasir kekerasan, paksaan, dan hukuman yang terdapat dalam substansi pendidikan ala Barat—pada waktu itu— dianggap oleh Ki Hadjar tidak ada bedanya dengan praksis kolonialisme yang juga penuh dengna kekerasan, paksaan, dan hukuman. Ketidakmandirian dan ketidakberdaulatan anak- anak terhadap diri mereka sendiri sama dengan ketidakmandirian dan ketidakberdaulatan anak-anak pribumi Nusantara dalam belenggu penjajahan pemerintah Hindia Belanda. [2]
Ref :
[1] Salah satu tulisan Ki Hadjar Dewantara dalam buku “Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan” (2004) yang harus dirujuk sebagai pelengkap untuk bahasan pendidikan ala Barat yang menekankan pada perintah dan paksaan adalah sub-bab yang berjudul “Ketertiban, perintah dan paksaan: Faham tua dan faham baru”, hal. 399-403.
[2] Beberapa ulasan mengenai konsep ketertiban dalam Taman Siswa antara lain adalah ulasan Kenji Tsuhicya mengenai konsep Ki Hadjar tentang “Keluarga Suci” (1992), hal. 242-248.
--------------- Edi Subkhan
Dosen di Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang (Unnes), pegiat pedagogi kritis.
Dosen di Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang (Unnes), pegiat pedagogi kritis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar