Translate

BISNIS ONLINE

Rabu, 26 Maret 2014

Pendidikan Masyarakat dalam Perspektif Al-Qur’an Surat Al-Taubat Ayat 122

Pendidikan Masyarakat dalam Perspektif Al-Qur’an Surat Al-Taubat Ayat 122 - Sebagai makhluk yang telah diciptakan oleh Allah sebagai Khalifah di muka bumi. Manusia mengemban amanat untuk membina masyarakat, memelihara alam lingkungan hidup bersama. Bahkan terutama bertanggung jawab atas martabat kemanusiaannya (human dignity). Jadi manusia sebagai makhluk individu berperan aktif bahkan wajib dalam menyelenggarakan pendidikan baik secara formal atau non formal. Pada postingan kali ini akan sedikit memaparkan tentang bagaimana pendidikan masyarakat dalam perspektif al-Qur'an tepatnya Surat al-Taubat ayat 122. Langsung menuju ke TKP.

Teks Ayat

Terjemahan

Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.
(QS. al-Taubat: 122)

Asbab Al-Nuzul

Ada riwayat dari Ikrimah, bahwa orang-orang munafik dengan nada mencemooh, mengatakan: selaka orang-orang kampong yang tidak ikut berperang dengan Muhammad! Padahal kawan-kawan Muhammad yang lain keluar menuju perkampungan untuk tujuan mengajar masyarakat. Lalu, turunlah ayat ini. Memperhatikan latar belakang kronologis turunnya ayat tersebut dapat dikemukakan bahwa perang dan menyebarkan ilmu sama pentingnya, dan mengajarkan ilmu atau mencari ilmu merupakan bagian dari “Jihad fi Sabilillah”.

Menurut penuturan Ibnu Katsir, ayat ini me-nasakh ayat sebelumnya yaitu ayat 41 dan ayat 120 dalam surat yang sama, yang menjelaskan tentang hukum ikut berperang bersama Rasulullah. Dalam kedua ayat tersebut ditetapkan kewajiban berperang itu sifatnya “’ainy” yang mesti diikuti oleh segenap kaum muslimin. Dengan turunnya ayat 122 ini, kewajiban berperang menjadi hanya "Fardhu Kifayah".

Tafsir Mufradat

Kata “Liyanfiru”, dalam bahasa Arab “Nafara” diartikan pergi berperang. Sedangkan kata “Liyatafaqqahu fi al-Diin”, TafaqqahaYatafaqqahuTafaqquhan, secara bahasa artinya memahami dengan luas dan mendalam. Jadi, “Tafaqqahu fi al-Diin” berarti mendalami agama. Dengan demikian, pada zaman Nabi, yang disebut Mutafaqqih atau Faqih atau Fuqoha ialah arang-orang yang ahli dan menguasai persoalan-persoalan agama. Tentu saja pada masa itu, yang paling Mutafaqqih adalah Nabi Saw. Kemudian pada era Khulafaurrasyidin, pengertiannya mengalami penyempitan. Dari orang yang menguasai persoalan-persoalan agama, menjadi orang yang menguasai hanya di bidang fatwa-fatwa hukum yang bersifat amaliah praktis. Disebutlah ahli fatwa sebagai Faqih atau Mutafaqqih. Ketika banyak persoalan hukum amaliyah terutama masalah mu’amalah tidak tersedia ketetapan hukumnya secara gamblang dan jelas baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Maka, bermunculan ulama-ulama yang mengkonsentrasikan perhatiannya kepada upaya penggalian hukum dari nash-nash yang sudah ada tersebut. Dalam literatur Islam, ulama yang ahli dalam bidang penggalian hukum disebut Mujtahid. Maka, sejak saat itulah arti Faqih atau Fuqaha menjadi lebih sempit lagi, hanya dikhususkan bagi orang-orang yang ahli dalam bidang Ilmu Fiqih. Demikianlah perkembangan dari terminologi Fiqh atau Faqih dalam Islam.

Masyarakat sebagai Objek Pendidikan

Baik secara bertahap maupun simultan, pendidikan diri dan keluarga harus dibarengi dengan pendidikan masyarakat. Karena, pada dasarnya pendidikan diarahkan untuk mencerdaskan masyarakat sebagai sarana penting dalam pembangunan masyarakat, bangsa, dan Negara. Yang dapat ditangkap dari mantuq (eksplisitas) ayat di atas, bahwa yang dimaksud masyarakat itu adalah masyarakat dengan latar belakang agama tertentu, yang dalam hal ini adalah Islam. Ini dapat dipahami dari frasa “Qaumahum”, yang berarti kaum mereka. Diperkuat lagi oleh frasa “fi al-Diin”, yang menunjukkan arti khusus agama Islam. Dari pendekatan ilmu Ma’any, “alif lam” yang ada pada kata “al-Diin” menunjukkan “Lil’ahdidzdzihni”.

Masyarakat muslim tidak lain dari orang-orang yang terdiri dari individu-individu muslim yang secara sosiologis Islam terbagi menjadi dua kelompok besar. Ulama atau Fuqaha dalam arti luas, dan orang-orang ‘awwam. Ulama atau Fuqaha inilah yang berkewajiban menyebarkan dan memasyarakatkan ajaran Islam (al-Diin) kepada masyarakat ‘awwam (baca juga postingan: Kewajiban Belajar Mengajar dalam Perspektif al-Qur'an). Ayat 122 di atas menunjukkan betapa pentingnya pendidikan Islam kepada masyarakat, sehingga Nabi Saw (seolah-olah) melarang kaum muslimin ikut berperang semuanya. Tetapi harus ada sebagian dari mereka yang mendalami ilmu pengetahuan Islam. Apabila pendidikan pada masa Nabi Saw sudah demikian pentingnya, maka terlebih di masa sekarang yang kepemelukan orang-orang yang mengaku Islam kepada agama Islam lebih banyak karena faktor keturunan, bukan karena proses pencarian yang betul-betul dilatar belakangi oleh kebutuhan terhadap agama. Sehingga sangat wajar jika kemudian banyak orang-orang Islam yang belum menghayati apa dan bagaimana ajaran Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar