Perubahan Kurikulum dan Ideal Guru Transformatif - Kurikulum adalah hal penting dalam praktik pendidikan, namun faktor yang juga tidak kalah penting adalah guru. Pro dan kontra mengenai kurikulum 2013 yang melibatkan banyak para pakar dan praktisi pendidikan dapat dikatakan sebagai fakta bahwa bisa jadi ada hal yang belum ideal dan tepat dari desain kurikulum 2013. Terlepas dari isu bagaimana idealnya kurikulum resmi (official curriculum) yang akan dilegitimasi oleh pemerintah tersebut guru berada memiliki peran kunci yang cukup urgen. Artikel ini mengulas secara singkat konsepsi guru ideal sebagai guru transformatif yang mendasarkan gagasan dan praktik pembelajarannya pada riset aksi di kelas (classroom action research). Dengan demikian guru bukan sekadar teknisi dan/atau operator kurikulum yang sudah jadi, melainkan peramu/pengolah pengetahuan dan keterampilan hidup untuk dipelajari bersama di kelas, guru juga peneliti aktif yang sekaligus mengarahkan praktik pembelajarannya ke arah transformasi sosial, bukan sekadar pencapaian presetasi akademik semata.
Gegap gempita kurikulum 2013 yang dikembangkan oleh pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menjadi isu paling seksi di dunia pendidikan di akhir tahun 2013 dan tahun 2013 sekarang ini. Banyak pro dan kontra terjadi di masyarakat, bahkan pada medio Maret 2013 pada musyawarah guru besar Institut Teknologi Bandung (ITB) menyatakan sikapnya agar kurikulum 2013 ditunda. Banyak kritik yang mengemuka, antara lain adalah: (1) terkesan kompetensi dasar (KD) dipaksa untuk dikaitkan dengan nilai-nilai religiusitas; (2) hilangnya posisi kerja guru Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK); (3) belum jelasnya konsep dan praktik tematik-integratif pada jenjang Sekolah Dasar (SD), (4) pengembangan kurikulum 2013 tidak didasari oleh riset-riest yang serius dan mendalam terhadap pelaksanaan kurikulum yang sedang berjalan, dan lainnya. Walau banyak kritik dilontarkan namun pemerintah tetap bersikukuh bahwa kurikulum 2013 yang didesain sebagai kurikulum nasional akan dilaksanakan pada tengah tahun 2013 ini. Oleh karena itu, mau tidak mau pihak sekolah dan para guru harus “siap” menghadapi implementasi kurikulum 2013.
Satu hal yang ingin dikemukakan dalam artikel pendek ini adalah: kata “siap” tidak bermakna pasif menerima kurikulum 2013 begitu saja. Lebih dari itu “siap” diwujudkan dalam bentuk daya kritis, analitis, dan evaluatif terhadap kurikulum 2013. Dengan demikian, guru harus siap untuk tidak sekadar menerima begitu saja kurikulum 2013, melainkan selalu berupaya untuk jeli dan kritis terhadap kurikulum 2013 sebagai produk yang dibuat dengan kewenangan “mutlak” oleh pemerintah pusat sampai pada publikasi buku pegangan guru dan anak didik. Sebelum kita mengkaji lebih jauh konsep “ideal” guru yang siap terhadap segala macam perubahan kurikulum—bahkan juga perubahan sosial, budaya, politik, dan lainnya—mari kita identifikasi hal-hal apa yang dapat kita petik pelajaran dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebagai kurikulum resmi (official curriculum) yang resmi dilegitimasi oleh pemerintah sebagai kurikulum nasional berlaku untuk semua jenjang pendidikan dasar dan menengah di Indonesia.
Refleksi pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Salah satu argumen dari pemerintah ketika merumuskan kurikulum 2013 adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tidak dapat berjalan dengan baik. Hal tersebut ditunjukkan dengan fakta di lapangan bahwa sebagian besar guru dan sekolah tidak dapat menyusun dokumen kurikulum yang akan dijadikan panduan praktik pembelajarannya sendiri. Agaknya dengan melihat kenyataan tersebut pemerintah kemudian mengambil alih kewenangan dalam perumusan kurikulum, hal tersebut sebagaimana terdapat dalam dokumen kurikulum 2013 yang menyatakan bahwa pemerintah pusat (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kemdikbud) secara mutlak menyusun kurikulum dari Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) sampai pada silabus dan lesson plan (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, RPP), bahkan juga buku pegangan guru dan anak didik.
Berdasarkan pada fakta tersebut, kami punya analisis yang berbeda dan juga solusi yang berbeda. Analoginya: kalau ada seorang ibu rumahtangga idealnya ia harus dapat memasak berbagai macam resep sesuai dengan selera dari anggota keluarga; si Bapak suka sayur ase, si anak suka nasi goreng, si anak kedua suka roti bakar, dan si ibu sendiri suka pecel lele. Kalau solusi dari pemerintah kira-kira: maka ibu rumah tangga tersebut cukup berdiam diri, pemerintah akan menyediakan cheff, koki handal, sayangnya koki handal tersebut hanya punya satu resep (baca: satu desain tunggal kurikulum nasional) masakan, sebut saja roti bakar. Roti bakar itulah yang dipaksa oleh sang cheff untuk disantap oleh semua anggota keluarga, padahal roti bakar hanya selera dari si anak kedua, bukan selera dari semua anggota keluarga. Kalau dari kami agaknya akan lebih tepat jika sang ibu rumah tangga dilatih oleh sang cheff handal agar ia dapat memasak beragam resep kuliner sesuai dengan selera dari anggota keluarganya.
Jadi, mestinya guru dilatih dan didampingi serius untuk dapat meramu berbagai realitas, beragam ilmu pengetahuan, dan juga keterampilan hidup agar dapat menjadi menu belajar yang enak, menyenangkan, “bergizi”, untuk dipelajari bersama anak didik di kelas. Dengan kata lain, guru harus punya ruang gerak yang luas untuk dan demi kepentingan anak didiknya, konsep inilah yang familiar disebut sebagai student centered atau pembelajaran yang berpusat pada siswa/anak didik. Dari perspektif pedagogi kritis (critical pedagogy) dengan demikian bahan/materi pembelajaran mesti berangkat dari pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki dan dibawa oleh masing- masing anak didik ke kelas. Salah seorang pemikir dan aktivitas pedagogi kritis, Henry Giroux (1997: 109) ketika menulis mengenai “otoritas dan intelektual di sekolah” menyatakan:
A curriculum based on an emancipatory notion of authority is one in which the particular forms of life, culture, and interaction that students bring to school are honored in such a way that students can begin to view such knowledge in both a critical and a useful way. [...] That is, instead of a stress on the individualistic and competitive approach to learning, student are encouraged to work together on project....
Lebih kurang Giroux menggambarkan bahwa praktik pembelajaran mestinya berangkat setidaknya dari kehidupan dan budaya anak didik yang dibawa ke kelas/sekolah. Konsep dan praktik inilah yang disebut oleh Giroux sebagai kurikulum yang berbasis pada gagasan pembebasan (emancipatory). Dengan demikian kurikulum harus bernuansa membebaskan agar klop/sesuai setidaknya dengan konsep pendidikan yang berpusat siswa. Adakah desain kurikulum 2013 bernuansa membebaskan? Pemahaman “membebaskan” tentu saja bukan sama sekali tanpa aturan dan tujuan, melainkan sebagaimana lahirnya konsep “pembebasan” (emancipatory, liberation) dalam bidang kajian ilmu dan teori-teori sosial kritis, melainkan artinya adalah: membebaskan dari ketertindasan, keterkungkungan, ketidakadilan, dan semua hal yang berbuah dan mengarahkan pada praktik dehumanisasi. Dengan pemahaman seperti itu, menurut kami dalam konteks Indonesia tidak akan banyak yang menolak, karena konsep dan ideologi pembebasan itu sendiri juga sudah menjadi basis dan praksis pembebasan Indonesia dari penjajahan oleh kolonial Belanda dan Jepang.
Kita bisa saja menelaah lebih jauh secara serius dan kritis konsep dan substansi kurikulum 2013, namun di sini kami akan lebih fokus pada mengulas ulang konsep ideal guru bagaimana yang “siap” menghadapi kurikulum apa saja, termasuk kurikulum 2013. Konsep guru yang “siap” ini penting diulas mengingat pro dan kontra yang masih terjadi mengenai kurikulum 2013, kalaupun kurikulum 2013 setelah final dan diketok palu oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) hasilnya bagus maka guru “siap” untuk mengelaborasi dan mengembangkannya di konteks lokal dengan mempertimbangkan keragaman bakat & minat anak didik, di sisi lain kalau hasilnya tidak atau kurang bagus—dalam arti tidak banyak perubahan yang terjadi dari desain sekarang (Maret 2013)—maka para guru harus “siap” untuk melakukan improvisasi dan inovasi yang diperlukan dan dibutuhkan serta sesuai dengan konteks dan ragam anak didik tersebut.
---------- Edi Subkhan & Nurussa’adah
Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang
Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar