Aliran-Aliran Utama dalam Pemikiran Pendidikan Islam - Aliran-aliran utama pemikiran pendidikan Islam dapat dibedakan menjadi 3, yaitu: Aliran Agamis-konservatif; aliran religius-rasional; dan aliran pragmatis-instrumental.
Aliran Konservatif. Pendidikan dalam aliran ini cenderung bersikap murni keagamaan. Ilmu dimaknai dengan pengertian sempit, hanya mencakup ilmu-ilmu yang dibutuhkan saat ini (hidup di dunia) hanya yang jelas membawa manfaat di akhirat. Untuk penuntut ilmu harus mengawali belajarnya dengan kitab suci Al-Quran, dengan menghafal dan menafsirkan. Setelah itu dilanjutkan dengan belajar al-Hadist. Tokoh-tokoh aliran ini adalah al-Ghazali, Nasirudin al-Thusi, Ibnu Jama’ah, Sahnun, Ibnu Hajar al-Haitami, dan al-Qabisi. Menurut aliran ini, ragam ilmu diklasifikasikan menjadi:
- Ilmu yang wajib dipelajari setiap individu, yaitu ilmu tentang kewajiban-kewajiban agama;
- Ilmu yang wajib kifayahuntuk dipelajari (apabila sebagian warga suatu masyarakat telah mempelajarinya maka warga yang lain tidak wajib lagi mempelajari), contoh: ilmu kedokteran, ilmu hitung.
Sedangkan menurut al-Ghazali sendiri ilmu-ilmu pelengkap, termasuk di dalamnya filsafat dibagi menjadi 4:
- Ilmu ukur dan ilmu hitung, diperbolehkan dipelajari dan dilarang hanya jika jelas-jelas dapat mengantarkannya ke ilmu yang tercela;
- Ilmu mantik (logika), ilmu yang berkenaan dengan bentuk dalil (argumentasi);
- Ilmu ketuhanan (teologi), ilmu yang berisi kajian tentang dzat Tuhan; dan
- Ilmu kealaman.
Aliran Religius-Rasional. Beberapa tokoh dari aliran ini adalah: Ikhwan al-Shafa, al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Miskawaih. Ikhwan al-Shafa merumuskan ilmu sebagai gambaran tentang sesuatu yang diketahui pada jiwanya. Lawan dari ilmu adalah kebodohan, yaitu tiadanya gambaran yang diketahui pada jiwanya. Belajar dan mengajar adalah mengaktualisasikan hal-hal potensial, melahirkan hal-hal yang “terpendam” dalam jiwa. Aktivitas tersebut bagi guru (orang berilmu) dinamakan dengan mengajar, dan bagi pelajar dinamakan dengan belajar.
Jiwa pelajar adalah berilmu (mengetahui) secara potensial. Artinya, siap untuk belajar, atau menurut istilah pendidikan sekarang educable (kesiapan ajar). Proses pengajaran adalah usaha transformatif terhadap kesiapan ajar agar benar-benar menjadi riil, atau dengan kata lain, upaya transformatif terhadap jiwa pelajar yang semula berilmu (mengathui) secara potensial agar menjadi berilmu (secara riil-aktual. Dengan demikian inti proses pendidikan adalah pada kiat transformasi potensi-potensi manusia agar menjadi kemampuan "psikomotorik". Aliran religius-rasional banyak membangun konsep-konsepnya dari pemikiran filsafat Yunani dan berusaha menyelaraskan pemikiran filsafat Yunani dengan pandangan-pandangan dasar dari orientasi keagamaan mereka.
Hal penting dari pemikiran Ikhwan al-Shafa dan tokoh sealiran lainnya adalah ijtihad (perenungan intelektual) mereka dalam menafsirkan fenomena pendidikan secara sosiologis, bahwa pendidikan pada tahap pertama merupakan sosialisasi atau proses “adaptasi” sosial. Mereka membedakan antara “pengetahuan” dan “pendidikan”. Pengetahuan adalah cahaya batin yang melimpah dari dalam jiwa; pendidikan adalah proses tumbuh kembang yang berada dalam kerangka sosial, yakni pendidikan merupakan aktivitas sosial di mana tata nilai dan ideologi yang terbangun secara sosial mempunyai peran nyata. Para ahli pendidikan rasionalis muslim mengakui akan kebutuhan manusia terhadap kehidupan bermasyarakat atau kebutuhan manusia terhadap pembentukan tatanan sosial-kemasyarakatan dalam istilah kita sekarang. Mereka membagi ragam disiplin ilmu secara hirarkis sebagai berikut:
- Ilmu-ilmu syar’iyah (keagamaan);
- Ilmu-ilmu filsafat;
- ilmu-ilmu riyadliyyat (pelatihan jiwa dan akal).
Dalam aliran ini pendidikan harus dipandang sebagai fenomena sosial yang tidak bisa dimengerti dengan baik tanpa dikaitkan dengan perilaku manusia (masyarakat) dan hal- hal yang mempengaruhinya: cita-cita, kepentingan dan distribusi potensi/kekuatan di masyarakat.
Aliran Pragmatis. Ibnu Khaldun adalah satu-satunya tokoh dari aliran ini. Pemikirannya meskipun tidak kurang komprehensifnya dibanding kalangan rasionalis, dilihat dari sudut pandang tujuan pendidikan, lebih banyak bersifat pragmatis dan lebih berorientasi pada aplikatif- praktis. Ia membagi ragam ilmu yang perlu dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan menjadi dua bagian:
- Ilmu-ilmu yang bernilai intrinsik, seperti ilmu-ilmu syar’iyyat (keagamaan): tafsir, hadis, fikih, kalam, ontologi dan teologi dari cabang filsafat;
- Ilmu-ilmu yang bernilai ekstrinsik-instrumental bagi ilmu-ilmu jenis pertama, seperti bahasa Arab, ilmu hitung, dan sejenisnya bagi ilmu syar’iy, logika bagi filsafat.
Aliran pragmatis yang digulirkan Ibnu khaldun merupakan wacana baru dalam pemikiran pendidikan Islam. Ia mengakomodir ragam keilmuan yang nyata terkait dengan kebutuhan langsung manusia, baik berupa kebutuhan spiritual-rohaniah maupun kebutuhan material.
Semoga dapat menambah wawasan kita mengenai pendidikan islam berikut paradigma-paradigma tokoh pendidikan islam dalam memaknai pendidikan islam dan tentunya semoga bisa bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar