Dinamika Pesantren Mendefinisi Kyai, Santri dan Ngaji (Pengajian) - Dalam dunia pesantren, jika seorang ulama disebut dengan “kyai”, maka muridnya dikenal dengan panggilan “santri”. Dan setelah ditelisik lebih jauh, kedua panggilan ini ternyata berasal dari masa pra Islam di Jawa [1]. Tentang istilah santri, Cak Nur menyebutkan dua pendapat yang bisa dijadikan acuan. Pertama, kata santri berasal dari perkataan “sastri”, sebuah kata dari bahasa sansekerta yang artinya “melek huruf”. Cak Nur menduga bahwa pada awal pertumbuhan kekuasaan politik Islam Demak, kaum santri adalah kelas literary bagi orang Jawa. Ini disebabkan pengetahua mereka tentang agama mengenai kitab-kitab bertuliskan dan berbahasa Arab. Kedua, kata santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, persisnya dari kata “cantrik” yang artinya “seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru ini pergi menetap”. Tentunya dengan tujuan dapat belajar darinya mengenai suatu keahlian [2].
Pola hubungan guru-cantrik kemudian diteruskan di masa Islam. Pada proses evolusi selanjutnya, “guru-cantrik” menjadi “guru-santri”. Di pondok pesantren, penyebutan guru diganti dengan perkataan “kyai” untuk laki-laki dan “nyai” untuk wanita. Jika hal ini dihubungkan dengan panggilan orang Jawa sehari-hari, tampaknya perkataan kyai tidak beda dengan panggilan terhadap seorang kakek (orang yang dianggap berumur tua). Orang Jawa sering memanggil kakek mereka dengan panggilan yai yang sebenarnya singkatan dari kata kyai.
Dalam hal ini, penyebutan kyai pada seorang guru pesantren walaupun masih berusia muda, tidaklah disebut sebagai sebuah ambiguitas. Karena penyebutan tersebut lebih mengarah pada sakralitas, penyucian terhadap ilmu yang dimiliki guru tersebut. Beberapa santri berkeyakinan bahwa, yang dimaksud dengan panggilan kyai kepada guru mereka, lebih pada penuaan ilmu yang dimiliki gurunya. Selain istilah kyai yang digunakan seorang guru yang mengajar di pondok, kata tersebut seringkali digunakan untuk menyebut benda-benda pusaka bertuah. Benda-benda yang mengandung kekuatan gaib yang dipercaya masyarakat dapat menentramkan dan memulihkan kekuasaan dan ketentraman suatu daerah atau bangsa. Benda ini diyakini mampu menambah kekuatan sang pemakainya [3].
Demikianlah istilah kyai untuk guru pesantren, kyai untuk seorang kakek, dan kyai untuk benda bertuah, memiliki makna korelasi yang disucikan dan yang mendapat penghormatan. Seorang kakek dihormati karena usianya; sebuah benda pusaka, dihormati karena kesaktiannya; dan seorang guru, dihormati serta disucikan karena ilmu dan perilaku kesehariannya.
Selain menelusuri akar kata dari dua istilah santri dan kyai di atas, Cak Nur juga mengurai satu akar kata yang tidak kalah pentingnya dalam dunia pesantren. Istilah tersebut adalah proses bergurunya seorang santri terhadap kyai yang sering disebut “ngaji” atau pengajian. Menurut Cak Nur, “ngaji” adalah bentuk kata kerja aktif dari perkataan “kaji”, yang berarti “mengikuti jejak haji”. Yaitu belajar agama dengan bahasa Arab. Tampaknya, karena keadaan pada abad-abad lalu memaksa orang untuk tinggal lama di tanah suci, sehingga memberi kesempatan padanya untuk belajar agama di Makkah, yang kelak diajarkan pada orang lain ketika pulang. Yang perlu dicatat di sini adalah hampir rata-rata orang yang menjadi pengasuh di pondok pesanren, dulunya adalah orang yang pernah mengenyam pendidikan di kota suci. Tokoh utama pesantren seperti KH. Kholil Bangkalan, KH. Nawawi al-Bantani, KH. Mahfudz al-Tirmasi, bahkan Hadrotus Syaikh Hasyim Asy’ari, mereka semua adalah orang-orang yang mengenyam pendidikan di Makkah dalam kurun waktu yang lama.
Selain itu, Cak Nur juga menduga bahwa “ngaji” berasal dari bentuk kata kerja aktif “aji” yang berarti “terhormat”, “mahal” atau “kadang-kadang”. Keterkaitan itu bisa dibuktikan dengan adanya kata “aji-aji” yang berarti “jimat”. Jadi, “ngaji” dalam hal ini berarti mencari sesuatu yang berharga, atau menjadikan diri terhormat atau berharga. Memang untuk memutuskan mana pernyataan yang lebih benar, kedua-duanya tidak memiliki data sejarah yang pasti. Namun demikian, seluruh alasan yang diungkapkan sangat logis dan mengarah kepada kemuliaan pesantren, kyai, santri, dan pengajian. Dan sebagai pembenaran terhadap semua pernyataan tadi adalah diposisikannya pesantren sebagai lembaga yang terhormat di kalangan masyarakat sampai saat ini.
Sebelum melangkah lebih jauh berbicara mengenai dunia pesantren, tentunya hal yang paling esensial adalah mengenal pesantren itu sendiri. Apa itu pesantren? Dan bagaimana sebuah model pendidikan bisa disebut dengan pesantren? Ini semua adalah pertanyaan-pertanyaan yang harus dicarikan jawabannya.
Mengacu dari definisi yang diberikan Zamakhsyari Dhofier, bahwa untuk membedakan antara pendidikan pesantren (baca juga postingan: Dinamika Pesantren Menjawab tantangan Zaman) dengan yang tidak, perlu mengetahui elemen-elemen yang harus dipenuhi.
Pertama, adanya masjid. Masjid merupakan elemen yang tidak bisa dipisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek shalat lima waktu, khutbah, shalat jama’ah dan pengajian kitab kuning. Kedudukan masjid sebagai pusat dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan nasional.
Kedua, pembelajaran kitab kuning. Pada masa lalu pembelajaran kitab kuning, terutama di kalangan ulama-ulama bermadzhab Syafi’i merupakan satu-satunya pengajian formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren. Tujuan utamanya adalah mendidik calon ulama yang disebut kyai tadi.
Ketiga, santri. Menurut pengertian yang dipakai dalam lingkungan pesantren, orang ‘alim baru dipanggil kyai kalau sudah memiliki pesantren lengkap dengan santri-santrinya yang tinggal di sana untuk mempelajari kitab kuning. Oleh karena itu, santri merupakan elemen penting dalam suatu lembaga pesantren.
Keempat, kyai. Kyai merupakan elemen yang paling esensial dari suatu pesantren. Ia bahkan bisa disebut orang yang mendirikan pesantren, memilikinya, dan menguasai pengetahuan agama. Ia secara konsisten menjalankan ajaran-ajaran agama. Maka sudah sewajarnya kalau tumbuh dan berkembangnya suatu pesantren diukur oleh kyainya [4].
Reff:
[1] Sudjoko, dkk, “Profil Pesantren: Laporan Hasil Penelitian Pesantren Al-Falah dan delapan pesantren lainnya di Bogor”, Jakarta: LP3ES, 1982, hal. 11
[2]Nurcholis Madjid, “Bilik-Bilik Pesantren”, Jakarta: Paramadina, 1997, hal. 19
[3] Sukamto, "Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren", Jakarta: LP3ES, 1999, hal. 85
[4] Zamakhsyari Dhofier, “Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai”, Jakarta: LP3ES, 1984, hal. 49.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar